Sabtu, 14 Maret 2009

Menengok Wajah Otonomi Pendidikan Kita

Batam Pos, Selasa, 23 Desember 2008

Oleh : Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Membicarakan wajah pendidikan di Indonesia secara umum dan daerah secara khusus selalu menarik. Pendidikan adalah jantung terhadap kemajuan bangsa ke depan. Yang diharapkan tentu saja perubahan. Baik perubahan sikap, perilaku, mental, serta pola pikir.

Untuk mencapai perubahan tersebut dibutuhkan tekat kuat dari segenap elemen yang terkait dalam dunia pendidikan. Otonomi sekolah akhir-akhir ini menjadi pembicaraan luas. Karena ada harapan yang sangat prospektif apabila otonomi pendidikan betul-betul berjalan mulus.

Lahirnya otonomi pendidikan diharapkan setiap sekolah mampu memberikan kualitas pada proses belajar mengajar bagi anak didik. Kesempatan ini bukan hanya sebagai tantangan, melainkan bisa menjadi pemicu (trigger) serta terbukanya kesempatan luas bagi setiap sekolah untuk terus berkompetesi. Dalam arti, terus mengembangkan potensi demi menciptakan iklim dunia pendidikan yang bermutu.

Harus disadari, dalam otonomi pendidikan, terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi, karena kepala daerah dewasa ini, memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing melalui Sistem Rekruitmen Guru, Rekruitmen Siswa, Pembinaan Profesionalisme Guru, Rekruitmen Kepala Sekolah, Penentuan Sistem Evaluasi, dan sebagainya.

Jadi, dalam era otonomi berbicara dengan kualitas pendidikan dasar dan menengah tingggal bergantung bagaimana keinginan daerah. Jika kita meminjamkan terminologi School Based Manajemen, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing.

Jujur saja, jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan steackholder.

Jika pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengkedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah. Maka, dapat dipastikan pendidikan di daerah akan memiliki praksis yang baik. Dengan demikian kualitas pendidikan akan bisa ditegakkan.

Sebenarnya kalau mampu diterapkan dengan maksimal, kurikulum berbasis tingkat satuan pendidikan adalah angin segar dan pencerahan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Karena, penerapan KTSP memberi ruang kepada para pendidik untuk menggodok kurikulum sendiri seiring dengan otonomi daerah.

Tentu saja, sesuai dengan budaya, iklim lingkungan, serta serasi dengan kondisi sosial budaya masyarakat. KTSP juga memberi ruang kepada sekolah untuk menerapkan program unggulan serta karakteristik sekolah itu sendiri. Baik keunggulan dari sisi sains, religius, dan sebagainya.

KTSP mememiliki beberapa kelebihan. Pertama: Memberi ruang atau mendorong terwujudnya kemandirian atau otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kegagalan pendidikan yang selama ini terjadi di Indonesia salah satunya karena adanya penyeragaman kurikulum.

Sehingga yang terjadi, tidak adanya mengharagai potensi lokal. Dengan kata lain kurikulum terdahulu memaksakan kualitas pendidikan yang sama antara di daerah (hinterland) dengan perkotaan. Atau dengan kata lain, terjadinya penyeragaman di berbagai daerah berbeda. Misalnya, antara masyarakat nelayan, pertanian. Sehingga, potensi di daerah tidak terserap guna memberi input bagi anak.

Kedua: Mendorong setiap sekolah untuk menitik beratkan pengembangan terhadap mata pelajaran unggulan yang sesuai bagi kebutuhan itu sendiri di tengah masyarakatnya.

Ketiga: Mendorong para kepala sekolah, guru serta pihak manajemen sekolah untuk semakin kreatif dalam meningkatkan program-program pendidikan.

Keempat: Adanya kompetensi positif bagi penyelenggara pendidikan dalam memberi nilai-nilai postif.
Kelima: Memberi peluang kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Model pendidikan holistik ini adalah pendidikan yang secara eksplisit ditujukan untuk mengembangkan seluruh dimensi manusia. Yaitu, aspek akademik (kognitif), emosi (afektif), sosial, spiritual, motorik, dan kreatifitas.
Sebenarnya, konsep pendidikan ini sudah menjadi trend pembaruan sistem pendidikan yang dianggap cocok untuk abad ke 21. Tentu saja, ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan kita yang harus dijawab dengan bukti dan kerja keras untuk terus melakukan pembenahan.

Reformasi pendidikan di Jepang misalnya, ada tiga kalimat kunci yang sering disebut, yaitu kokoro-no-kyoiku (pendidikan untuk hati, jiwa, atau kedirian manusia), sogogakushyu (pembelajaran holistik), dan tokushyoku, koseika (keunikan masing-masing sekolah dan masing-masing individu).

Contoh lain yang tidak keliru kalau harus menjadi komparasi kita. Ministry of Education of British Columbia, Canada. Pada tahun 2000 juga mencanangkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, serta aspek tanggung jawab sosial.

Ternyata, perubahan ini telah membawa iklim perubahan baik dari segi manajemen sekolah (otonomi penuh), maupun kurikulum dan metode pembelajaran di kelas.

Lantas, bagaimana dengan wajah pendidikan kita, khususnya di Batam? Lagi-lagi kita harus menjawab dengan berpikir dan terus menganalisa dari kacamata logik dan objektif.

Kita tidak harus terlalu muluk-muluk melakukan revolusi pendidikan. Namun harus jujur, dalam melaksanakan perubahan memang dibutuhkan sebuah revolusi paradigma pendidikan. Karena memerlukan berbagai metode, strategi, dan teknik pembelajaran yang berbeda dengan sistem pendidikan sebelumnya.

Contoh ringan saja, dengan masih banyaknya sekolah-sekolah yang menerapkan metode klasik. Dengan kondisi kelas yang sunyi, anak duduk dengan pasif dan hanya menyimak serta mencatat. Padahal, kalau kita mau jujur, suasana proses belajar mengajar seperti itu sangat-sangat tidak efektif.

Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat meningkatkan semangat siswa adalah dengan berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan bermain (fun learning). Sehingga kemampuan verbal dan motoriknya berkembang, termasuk juga kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking).

Nah, inilah masalah yang sering kita hadapai ketika mengikutsertakan pelatihan para guru untuk mengubah metode pembelajaran di kelas. Yaitu berupa ketakutan dan keengganan para guru untuk memperbaiki metode pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teori-teori yang berlaku. ***


Selanjutnya......

Paradigma Ibnu Hajar dan Ponari

Batam Pos, Jum'at 13 Maret 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Antara Ibnu Hajar dan Ponari sama sekali tidak ada hubungan darah. Bahkan. Keduanya dipisahkan oleh tatanan sosial budaya dan waktu yang sangat jauh. Namun, mereka sama-sama mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dari batu.

Nasib keduanya berubah karena paradigma terhadap batu. Ibnu hajar mendapat motivasi yang luar biasa karena melihat fenomena batu. Sedangkan Ponari, terpola sugesti mistisnya setelah mendapat batu pada pertengahan Bulan Januari 2009 yang diyakini ajaib.

Mari kita sedikit bedah kisah keduanya. Ibnu Hajar Al-’Asqalani, lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Ketika masih belajar kepada seorang guru, dia dianggap nalarnya tidak bisa mengikuti pelajaran. Maka oleh Dewan Guru dikeluarkan dari sekolah.

Ditengah kesedihan, ketika ‘Asqalani sedang berjalan, ia melihat air yang menetes ke atas sebuah batu. Tetesan air yang sekali-sekali itu ternyata bisa membuat permukaan batu itu menjadi cekung dibuatnya. Ibnu Hajar berkata kepada dirinya sendiri “Batu saja bisa berlubang karena ditetesi air setiap hari. Berarti otak/kepala saya bisa juga kalau dimasuki ilmu setiap hari“.

Dia pun segera menemui gurunya dan menjelaskan peristiwa yang baru dilihatnya itu. Singkatnya, si Guru berkenan untuk menerimanya sebagai murid. Dengan semangat itu, As Qalani belajar terus dengan sabar dan kemauan yang kuat.

Sejarah mencatat berkat kemauan belajarnya yang membaja ia berhasil menjadi seorang ulama besar yang amat disegani pada zamannya. Ibnu Hajar yang bermakna “batu” di depan namanya, merupakan kenang-kenangan yang diperolehnya. Dan sekarang banyak dikenal orang sebagai Imam dan Ulama’ Ahlussunnah yang mensyarahkan Shohih Bukhori dengan Kitab Fatul Bari’nya.

Lain halnya dengan Ponari, saat ini namanya menjadi fenomena besar di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Bukan sekadar fenomena mistik. Tetapi sudah merembet kepada persoalan realitas sosial masyarakat miskin, pelayanan kesehatan, rendahnya pendidikan, serta kaitan mata rantai budaya.

Lantas, apa sebenarnya batu ajaib milik Ponari dukun cilik asal Megaluh Jombang sehingga menggegerkan Jawa Timur itu?

Sebagaimana diberitakan di berbagai media, kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak berwarna coklat kemerahan itu cukup dramatis dan bernuansa mistis. Dari cerita Ponari, batu itu ditemukan secara tidak sengaja. Yakni saat hujan deras mengguyur desanya.

Sebagaimana bocah-bocah seusianya, Ponari bermain-main di bawah guyuran hujan lebat yang sesekali diiringi suara geledek. Pada saat itu, lanjut Ponari, bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.

Sejurus kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari merasakan ada batu berada di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar warna merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang dan diletakkan di meja.

Menurut Ponari, batu ajaib itu ditunggu dua makhluk gaib, laki-laki dan perempuan bernama Rono dan Rani. Dua makhluk gaib itulah yang selama ini memberikan amanat kepada Ponari untuk menolong orang sakit melalui batu yang ditemukannya.

Dari pengalaman keduanya, ada hal penting yang menarik dikaji. Walau sama-sama belajar dari batu. Namun, tetap ada perbedaan mencolok, yaitu antara kekuatan motivasi (Ibnu Hajar) dan kekuatan sugesti. (Ponari).

Ibnu Hajar telah mendapatkan motivasi luar biasa setelah melihat fenomena batu. Motivasi merupakan energi positif yang terus bergerak dinamis dalam diri seseorang. Bukan bersifat insidential, prematur, instan, apalagi mistis. Tetapi terus berproses jangka panjang hingga menjadi kekuatan besar untuk melakukan perubahan.

Sehingga hasil yang didapat akan abadi dan terus melekat sepanjang hidupnya. Dalam motivasi biasanya muncul inferiority. Yaitu menantang dirinya untuk maju, membentuk kembali, atau bahkan mengubah hidupnya. Juga disertai trigger (pemicu) yang memberikan pencerahan. Misalnya memiliki keyakinan “Kalau orang lain bisa kenapa saya tidak!.” Dan pola pikir tersebut terus terpatri dalam dirinya. Makanya motivasi tidak mudah goyah, sebab di dalamnya tidak kropos.

Karena kekuatan motivasi itu pula, bagaimana seorang Ibnu Hajar yang oleh gurunya dinilai sebagai anak yang bodoh bisa menjelma menjadi ulama besar.

Nama Ibnu Hajar Al-Atsqolani adalah seorang ulama besar di abad sembilan, pakar hadits dan fikih. Pemimpin para penghafal di jamannya, ulama hebat di Mesir dan bahkan di seluruh dunia.

Kitab-kitab karangan beliau banyak sekali, diantaranya: Kitab Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minhaj (10 jilid besar), sebuah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i yang sampai saat ini dipakai dalam sekolah-sekolah Tinggi Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Luar biasa “si anak batu” ini !!

Lain halnya dengan Ponari. Fenomena yang terjadi pada dirinya sebagai kekuatan sugesti disebabkan kepercayaan pada mistis melalui batu. Ponari begitu yakin kalau batu yang diperolehnya memiliki kesaktian. Batu telah mensugesti pola pikirnya. Hingga akhirnya kekuatan sugesti betul-betul mengalir dan masuk ke jiwa masyarakat.

Mereka berbondong-bondong “tersihir” cerita dari mulut ke mulut dan pemberitaan di media secara besar-besaran. Kenapa sampai begitu besar kekuatan sugesti? Analogi yang sangat sederhana, karena ketika sakit yang diharapkan hanya kesembuhan. Tak peduli apakah itu mistis, tahayul, atau hanya sugesti belaka, yang penting sembuh! Karena beberapa orang sudah membuktikan, maka yang lain pasti ikut.

Namun, sugesti yang terjadi pada Ponari sangat begitu rapuh. Keyakinan secara instant seperti itu tidak akan berlangsung lama. Apalagi kalau sampai batu yang dipegangya dipandang tidak manjur lagi. Maka segala kekuatan mistis yang merasuk pada dirinya akan rontok secara otomatis. Sugesti juga akan pudar seiring terkikisnya kepercayaan. Hal ini terjadi, karena sugesti Ponari tidak memiliki fondasi trigger yang kokoh layaknya motivasi Ibnu Hajar.

Lihat saja akhir-akhir ini. Banyak pasien Ponari merasa kecewa karena airnya tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Akibatnya, mereka datang ke dukun lain yang diinilai memiliki batu lebih sakti lagi. Fenomena Ponari hanya akan menjadi cerita. Tidak akan meninggalkan jejak ilmiah apa-apa. Bahkan, bukan tidak mungkin pada suatu saat akan muncul cemoohan dari masyarakat yang merasa dibodohi.

Saat ini masyarakat Jawa Timur dan di Indonesia umumnya sedang belajar dari batu. Entah siapa lagi yang akan mendapat ”batu ajaib”. Bisa saja saya atau Anda akan memperoleh batu bertuah. Asal kekuatan sugesti mampu menembus keyakinan kita, kenapa tidak?!

Kita berharap masyarakat dan pemeritah bisa belajar dari batu Ponari. Sehingga batu si dukun cilik tersebut tidak sekadar menjadi sugesti belaka. Tetapi juga menjadi motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik lagi. Baik perubahan pada peningkatan pendidikan, peningkatan kesehatan, serta pola pikir ke depan.





Selanjutnya......

Selasa, 10 Maret 2009

Jangan Nilai Anak Hanya dari Ranking

Batam Pos, Selasa, 13 Januari 2009

Oleh: mahmud syaltut usfa s.psi
(Psikologi dan Praktis Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

”Aduh…anak saya cuma ranking sepuluh, bingung nih. Kalau anak ibu ranking berapa? Tanya seorang ibu kepada temannya. “Wah kalau anak saya hebat, dari dulu ranking satu terus,” jawabnya dengan rasa bangga.

Dialog seperti di atas sudah menjadi pemandangan rutin saat pembagiaan rapor seperti sekarang ini. Orangtua selalu menjadikan ranking sebagai patokan keberhasilan anak. Bahkan, cendrung menilai tingkat intelegensi anak hanya dari ranking. Lebih ironis lagi, ada orangtua yang merasa malu mengambil rapor bersama orangtua siswa lainnya. Alasannya, minder saat menyadari anaknya hanya akan mendapat ranking terakhir.

Ranking kadang menjadi momok yang mencemaskan orangtua. Saat pembagian rapor seharusnya anak merasa bangga dengan hasil belajarnya, bukan merasa tertekan. Akibatnya anak ada perasaan takut kalau tidak mendapat ranking satu atau masuk lima besar. Sebaiknya, orangtua menghargai dulu hasil jerih payah anak selama belajar. Apapun hasil yang diterima, itulah potensi yang harus dikembangkan.

Orangtua harus sangat bijak dalam hal ini. Jangan sampai membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Akan lebih bijak apabila membandingkan anaknya dengan anak itu sendiri. Misalnya dengan mengatakan, ”nilai semester ini lebih rendah dari semester sebelumnya, coba berusaha lagi pasti bisa lebih bagus.”


Anak akan lebih enak mendengarnya. Karena tidak ada tekanan untuk melampaui target. Minimal anak akan berpikir ”o iya...kalau semester lalu saya bisa meraih nilai bagus, kenapa sekarang tidak!” Sangat berbeda situasi jiwa anak apabila orangtua membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. ”Lihat tuh si Budi selalu ranking satu, kamu lima besar saja gak dapat.”. Tentu saja situasi jiwa anak akan muncul rasa cemas dan kurang percaya diri.

Orangtua tentunya bisa mengukur potensi anaknya. Silakan saja memberi motivasi dengan melihat ranking. Tapi jangan sampai menjadi patokan mutlak dalam mengukur potensi intelegensi dan pribadi anak. Lebih ironis lagi, apabila orangtua memberi label ”si bodoh” kepada anaknya hanya karena anaknya tidak meraih ranking yang diharapkan.

Memang dari hasil survei di salah satu sekolah banyak orangtua setuju sistem non ranking. Kenapa akhirnya sekolah setuju tidak memberi ranking yang ditulis resmi di rapor? Jelas, dari 150 murid dalam satu tingkatan kelas, tentu cuma 30-50 murid yang masuk 10 besar kan? Mayoritas adalah yang di luar 10 besar itu. Benar tidak?

Persepsi orangtua yang keliru soal ranking ini akan berdampak negatif bagi perkembangan prestasi anak. Anak menjadi stress, dikejar-kejar orangtua yang cuma berambisi menjadikan anaknya mendapat ranking. Jadi cuma mengejar nilai, kadang dengan cara yang salah: mencari bocoran bahan ujian. Mestinya, sekolah itu yang paling penting adalah mendidik anak supaya mengerti, memahami makna pelajaran, bukan tingkatan ranking yang utama.

Sekadar perbandingan, sekolah di Singapura juga mengenal ranking. Ini untuk memudahkan sistem penyaringan masuk ke jenjang sekolah berikutnya. Uniknya, makin bagus makin kecil total nilainya, mereka berhak mendapatkan sekolah lanjutannya dalam ranking yang tinggi juga.

Sekolah di sana diberi ranking sesuai prestasi murid-muridnya. Bisa berubah setiap saat sesuai hasil ujian akhir para muridnya. Jadi murid-murid dan guru-gurunya bersaing untuk menjadi paling baik.

Sistem mereka membuat nilai yang makin kecil justru makin baik. Tapi, kalau anak-anak Anda mendapat nilai bagus, jangan kuatir untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Semua sekolah saling terhubung. Jadi begitu nama anak Anda nilainya bagus, otomatis sekolah yang lain tahu. Mereka berlomba-lomba menawarkan anak Anda untuk gabung di sekolahnya, misal dari SD ke SMP, SMP ke SMA.

Sistem bersaing sesama sekolah begini dilakukan dengan fair, bukan dengan cara ‘katrol’ nilai supaya bisa membanggakan sekolahnya. Beasiswa juga diberikan kepada siswa dengan nilai bagus, tidak peduli berlatar belakang ekonomi rendah atau tinggi.

Ranking memang tidak bisa dipungkiri sebagai salah satu tolak ukur prestasi siswa di kelas. Tapi, ada aspek kecerdasan anak yang perlu dipahami orangtua. Hal ini sekolah harus meramu dengan cerdas bagaimana mengoptimalkan potensi anak. Yaitu, dengan cara bagaimana membuat anak mengerti dan orangtua paham serta proses pendidikan mendukung.

Kolaborasi ketiga aspek ini, akan mampu menghasilkan pendidikan yang baik.Sekolah harus mengedepankan inovasi dan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dalam belajar, anak tidak dibebani tetapi diajari untuk mengerti potensi yang dimilikinya.

Bentuk penghargaan terhadap potensi anak didik bukanlah hanya membuat peringkat (ranking) seperti yang dikenal di sekolah-sekolah selama ini Tiap musim terima rapor, orangtua selalu bertanya anaknya juara/peringkat berapa. Setelah itu tidak jarang orangtua memberi target-target juara/peringkat yang harus diperoleh anak pada semester selanjutnya. Akan lebih baik apabila tidak ada peringkat yang dinilai secara umum dalam satu kelas, melainkan tiap anak dihargai berdasarkan hasil karyanya.

Guru dan orangtua perlu menilai anak-anak berdasarkan delapan aspek kecerdasan yang terdiri atas cerdas matematika, cerdas cara (logis) bahasa, cerdas spasial/gambar, cerdas musikal, cerdas cinta alam, cerdas gerak atau fisik, kemampuan untuk mengerti orang lain/intrapersonal dan kecerdasan interpersonal/emosi. Tiap anak memiliki potensi berbeda.

Dari penilaian ini tiap anak dan orangtua akan mengerti kelebihan atau potensi/kecerdasan yang dimilikinya. Jelas di sini, kecerdasan anak tidak bisa dipatok dari rangking. Karena, sekalipun anak tersebut memperoleh rangking satu, tapi belum tentu memiliki potensi seperti temannya yang ranking terakhir sekalipun.

Sehingga, setiap penerimaan rapor akhir semester, sebenarnya anak mendapat predikat yang berbeda-beda sesuai potensinya. Seharusnya, potensi anak yang perlu diperhatikan. Sekecil apapun harus dihargai, karena potensi tetaplah potensi!

Dengan melihat potensi dan kecenderungan anak, maka akan memudahkan orangtua memahami kelebihan anak. Dengan demikian bisa diketahui pendidikan apa yang tepat buatnya kelak. Hal itu akan dapat meminimalisir kesalahan pemilihan pendidikan lebih lanjut demi masa depan anak-anak.

Saat penerimaan rapor, orangtua harus menjadi teman yang baik dalam memberi pemahaman dan motivasi. Jangan sampai sebaliknya, anak ditatar atau bahkan dimarahi karena gagal meraih ranking sesuai harapannya. Terlebih orangtua merasa malu. Akan lebih baik apabila orangtua memberi kejutan kecil usai menerima rapor, sekalipun anaknya tidak rangking satu atau masuk lima besar.

Kenapa memberi penghargaan jerih payah belajar anak hanya menunggu ranking? Justru motivasi terbaik adalah ketika anak mendapat kejutan. Anak akan merasa aman karena tidak dicekoki ranking lagi.

Orangtua harus bisa menjadi teman, guru, dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya. Orangtua harus tahu menempatkan diri, kapan menjadi salah satu peran itu. Nah, di saat-saat usai penerimaan rapor ini anak sangat membutuhkannya.

Kapan ia menjadi teman bagi anak, kapan menjadi gurunya dan kapan menjadi orangtua. Jika tiga peran ini mampu dijalankan dengan baik, maka bersiaplah mendapatkan generasi masa depan yang berkualitas.

Saat ini, bagi orangtua tua yang sudah menerima hasil evaluasi belajar (rapor) anaknya perhatikan dengan seksama per-mata pelajaran. Kemudian bandingkan dengan hasil semester sebelumnya. Mungkin ada beberapa mata pelajaran yang turun atau naik. Diskusikan kepada anak dengan suasana santai.

Kesampingkan dulu mengenai posisi ranking. Selanjutnya, kalau ada nilai yang tetap atau turun coba tanyakan apa kendalanya. Apabila nilainya lebih tinggi dari semester sebelumnya beri penghargaan, sekalipun hanya berupa senyuman atau menepuk pundaknya.

Seterusnya setiap penerimaan rapor semester lakukan seperti itu, anak akan lebih leluasa dalam belajar di sekolah. Dan tidak mustahil prestasi demi prestasi akan diraih. Begitu juga potensinya akan bisa berkembang tanpa adanya tekanan atau target dari orangtua.

Cara seperti ini merupakan apresiasi yang bagus dalam meberi motivasi anak, ketimbang sibuk dengan mengukur ranking. Tidak ada yang salah pada anak apabila tidak meraih ranking satu.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah pengembangan diri anak. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah.

Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling. Berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler.

Di samping itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir.

Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah.

Ada landasan filosofis dalam pembelajaran, yang sekarang menjadi landasan model pembelajaran tematik. Yaitu, tiga aliran filsafat: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3) humanisme.

Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman siswa.

Aliran konstruktivisme melihat pengalaman langsung siswa (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya.

Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing siswa. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.

Aliran humanisme melihat siswa dari segi keunikan/kekhasannya, potensinya, dan motivasi yang dimilikinya.
Pengembangan model belajar seperti itu merupakan upaya memberdayakan potensi anak. Maka, sangat tidak adil apabila orangtua hanya melihat ranking dalam menilai prestasi belajar dan potensi anaknya. ***


Selanjutnya......

Bahasa Cinta Ada di Rumah

(Menelaah Maraknya Kenakalan Remaja)
Batam Pos Tanggal 11 Februari 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Satu persatu kasus kenakalan remaja terkuak ke permukaan publik. Mulai dari aksi kebut-kebutan, pemerkosaan, aborsi, narkoba, pencurian. Sampai terang-terangan menjual diri karena alasan materi. Ada apa remaja kita ini?

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Berbagai analisa dari berbagai ahli sudah diterapkan. Tapi, ada saja celah dan alasan remaja melakukan perbutan tidak terpuji.

Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003).

Pada masa ini anak muncul gejolak dalam pencarian jati diri. Konsep diri mulai dihitung-hitung agar terserap dalam kehidupannya. Dalam masa pencarian tersebut anak butuh kompensasi. Ada keinginan yang kuat agar apa yang ada dalam dirinya mendapat pengakuan dari orangtua, teman sebaya dan masyarakat.

Kehangatan cinta dari adanya perhatian dari orangtua menjadi kebutuhan mutlak. Mereka butuh bahasa cinta saat-saat mengalami gejolak. Di saat seperti itu orangtua harus memberi bahasa cinta kepada anaknya.

Adakalanya ada rasa kekhawatiran bagi orangtua di saat anaknya memasuki masa remaja.
Namun satu sisi anak ingin bergerak dinamis, kreatif dan ekspansi serta ingin melakukan eksprimen. Menurut mereka, apabila mampu melakukan hal tersebut akan mendapat jati diri sebagai remaja. Namun sayang, rasa khawatir yang berlebihan dari orangtua dipandang oleh anak sebagai protek. Bahkan, dianggap sebagai pengekangan gerak dinamis mereka.

Misalnya, anak yang berbakat di bidang musik mereka setiap hari berkumpul dengan teman-temannya mengekspresikan bakatnya. Tapi, orangtua kadang mengkhawatirkan sisi negatifnya saja. Mereka cendrung mengatakan ”Jangan main musik nanti pasti terlibat narkoba dan pergaulan bebas”. Akibatnya anak mersa terkekang.

Sebaiknya sampaikan dengan bahasa cinta. Misalnya dengan mengatakan ”Silahkan kembangkan bakat musiknya tapi jangan ikut-ikutan menggunakan narkoba”. Yang harus diperhatikan adalah penghargaan dan perhatian atas bakat yang dimiliki anak. Apabila anak salah menangkap bahasa orangtua. Maka mereka akan menjadi bimbang, takut, dan mengalami kecemasan.

Akibatnya anak akan mencari kompensasi yang lain. Mereka menilai apa yang dilakukan adalah salah. Padahal satu sisi ingin menjadi remaja yang baik, dinamis, dan kreatif. Nah, dalam kondisi seperti itu remaja cendrung mencari kompensasi yang lain. Yang penting mendapat pengakuan dari masyarakat atau kelompok sebaya. Sekalipun itu harus melakukan perbuatan menyimpang.. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi teman yang baik dalam memberi pemahaman dan motivasi melalui bahasa cinta.

Munculnya kenakalan remaja sebaiknya menjadi bahan telaah bagi kalangan orangtua. Terlepasnya kontrol komunikasi keluarga bisa membuat jiwa anak merasa kosong. Remaja membutuhkan bahasa cinta yang terus ada dalam dirinya.

Bukan sekadar bahasa yang diungkapkan sepotong-sepotong. Tapi bahasa cinta yang utuh, mengalir secara ihlas di setiap detak kehidupannya. Bahasa cinta itu hanya bersumber dari keluarga.

Cinta adalah bahasa yang paling universal dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Sebab cinta merupakan amunisi jiwa yang sangat dahsyat. Atas nama cinta, banyak orang tua yang rela berkorban demi kemuliaan hidup anak-anaknya.

Cinta dalam perspektif psikologi, diidentifikasikan sebagai energi kehidupan positif yang bersifat afektif (emosi). Energi cinta akan membawa seseorang pada perilaku yang positip. Karena dalam cinta terkandung unsur-unsur positip. Seperti keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, ketabahan, kejujuran, kepercayaan dan kesunguh-sungguhan.

Apabila komunikasi orangtua dan anak penuh bahasa cinta. Keharmonisan akan terus berkembang. Sekecil apapaun konflik akan bisa diredam. Karena ketika energi cinta ini diimplemetasikan dalam mendidik anak-anak, maka orang tua harus berlaku ikhlas (lahir dan bathin), sabar dan penuh kasih sayang. Itu menjadi kunci utama ketika berkomunkasi dengan bahasa cinta.

Tentunya, kasih sayang dalam kontek ini tidak berarti harus selalu memberi atau menuruti semua kehendak anak. Tetapi mempertegas sikap. Untuk memberi pelajaran pada anak, bahwa tidak setiap keinginan atau kehendak itu harus terpenuhi.

Bahasa cinta memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam membentuk pola pikir dan kepribadian. Kesejukan bahasa cinta mampu menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Memelihara cinta sebagai amunisi jiwa, adalah merupakan kata kunci untuk membangun kejujuran, kepercayaan dalam mendidik anak.

Kalimat-kalimat dengan bahasa cinta tidak akan membuat jiwa anak terluka. Justru bahasa yang bernada celaan akan membuat anak belajar memaki. Dampaknya akan runyam. Anak akan merasa sensitif, serba salah, cendrung menyalahkan orang lain. Bahkan, gampang mencelah dirinya sendiri.

Begitu juga apabila bahasa yang disampaikan kepada anak ditafsirkan sebagai permusuhan, pastinya anak akan belajar berkelahi. Bahasa seperti itu tidak ubahnya mendidik anak menjadi jagoan. Akibatnya, pada jiwa anak akan tertanam sikap premanisme dan pribadi yang cendrung liar.
Jika bahasa kepada anak cendrung dengan cemoohan, Ia akan belajar menjadi rendah diri. Rasa minder kerap melekat pada pribadi anak. Anak akan merasa kikuk melakukan berbagai aktivitas karena terus dihinggapi rasa minder.

Terlebih jika bahasa kepada anak penuh dengan penghinaan. Anak akan gampang untuk menyesali diri. Ini sangat fatal, karena anak sangat gampang frustasi.

Tapi sebaliknya dengan bahasa cinta dan terus mengajari anak bertoleransi. Anak akan belajar menahan diri. Emosinya tidak gampang tersulut dan akan memiliki rasa empati yang tinggi. Berilah bahasa cinta dengan kalimat-kalimat dorongan. Niscaya anak akan terus belajar menjadi percaya diri

Siramilah jiwa anak dengan bahasa pujian agar bisa belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Tumbuhkan bahasa cinta dengan keihlasan dan niali-nilai kejujuran agar anak belajar hidup adil. Dengan bahasa cinta yang terus ada di keluarga, anak akan merasa aman. Sehingga pada pribadi anak akan terbentuk rasa hormat dan menaruh kepercayaan pada siapapun.

Tidak ada salahnya apabila orangtua terus memberi bahasa cinta dengan kalimat-kalimat motivasi. Karena anak akan relajar menyenangi dirinya sendiri. Sangat disayangkan apabila anak merasa bosan dengan dirinya.

Jika anak dibesarkan dengan bahasa cinta, kasih sayang dan persahabatan. Anak pasti belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Apabila anak sudah menemukan cinta di rumah, untuk apa lagi mencari cinta di tempat lain.



Selanjutnya......