Minggu, 19 April 2009

Kekuatan Sastra Al-Qur'an Menata Moral Jahiliah

BatamPos, Minggu, 19 April 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa (Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Ketika pertama kali al-Qur'an diturunkan, dalam hati masyarakat Arab ketika itu ada dua perasaan yang tidak bisa ditutupi. Pertama, harus mengingkari (gengsi) kalau al-Qur'an adalah firman Allah. Kedua, mereka tidak percaya bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa membuat syair seindah itu.

Sebagaimana dicatat oleh sejarah beliau seorang ”ummi” yang tidak bisa membaca, dan menulis. Tapi kemudian Allah SWT menganugerahkan kepada beliau sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur'an.

Kekuatan al-Qur'an bukan hanya dari keindahan ayat-ayatnya, melainkan juga makna yang teramat dalam namun gampang dicerna. Ketakjuban mereka pada al-Qur'an muncul karena adanya semacam gairah terhadap kesusastraan. Tolak ukur ilmiah sebuah syair saat itu adalah sastra. Oleh karena itu, ketika mereka menerima al-Qur'an pun senantiasa diuji dengan sastra, terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.

Sangat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mengisahkan tentang kehidupan para nabi dan rasul. Kisah-kisah tersebut terdapat muatan puisi dan prosa maha tinggi. Silahkan baca kisah nabi Adam dan Hawa. Bagaimana Adam ketika di syurga merasa kesepian. Adam memohon kepada Allah agar diberi teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuknya.

Di situlah Adam harus belajar memahami hati, perasaan dan jiwa seorang wanita yang tercipta dari tulang rusuknya. Sangat sulit bagi Adam, karena harus hati-hati, apabila terlalu dikerasi akan patah, namun apabila dibiarkan akan bengkok selamanya. Sehingga kisah berikutnya sampai Adam memakan buah khuldi, dan akhirnya diturunkan ke dunia dan berlanjut pada kisah anak-anaknya. Sungguh kisah yang menakjubkan bukan?

Begitu juga kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra'-Mi'raj, semua itu merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alqur’an yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.

Rasulullah membawa agama Islam merupakan berkah bagi umat manusia sedunia. Pada saat itu bangsa Arab hidup dalam kehidupan jahiliah. Di situlah Rasulullah membawa misi memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah.

Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak tertata. Mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut dan bersalah. Seperti mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya sudah menjadi kebiasaan mereka.

Padahal bangsa jahiliah bukan bangsa bodoh. Bahkan, tingkat kesusastraan mereka sudah sangat tinggi. Ketika itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair. Sehingga kekuatan sastra dalam al-Qur'an mampu menundukkan hati kaum jahiliah dan menata moral mereka.

Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika al-Qur'an yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad.

Atau kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap al-Qur'an hingga ia masuk Islam. Umar bin Khattab terkenal berhati baja dan kehidupannya terpola dengan arus jahiliah, harus mengendap-ngendap agar bisa mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an yang dilantunkan putrinya. Hati Umar sangat luluh dengan keindahan bahasa dan gaya dalam al-Qur'an.

Teramat luas apabila mengkaji nilai-nilai sastra dalam al-Qur'an. Namun, intinya belajar sastra bisa dijadikan pijakan untuk mengkaji kehidupan. Allah maha tahu terhadap apa yang sampaikan melalui ayat-ayatNya dengan nilai-nilai sastra maha dahsyat.

Allah Maha Indah, maka sudah tentu firmannya juga sangat indah. Sehingga memahami al-Qur'an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra, Insya Allah.

Sastra memuat nilai-nilai akhlak, moral, filsafat, budaya, politik, sosial dan pendidikan. Sangat tepat kalau Sayidinah Umar Bin Khathatab berpesan “Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani.” Karena sastra tidak hanya melembutkan hati tapi juga menumbuhkan rasa cinta kasih, motivator hidup, dan rasa cinta kepada sang pencipta.

Jadi sangat beralasan yang diterapkan di negara-negara maju, salah satu untuk membendung moralitas anak-anak muda adalah dengan sastra. Mungkin karena kekuatan sastra yang merasuk pada hati pelajar, sehingga moralitas mereka bisa tertata.

Sudah terbukti, di negara-negara maju tidak banyak siswa sekolah yang berperilaku barbarian seperti mencorat-coret baju seragamnya setelah dinyatakan lulus. Atau, tidak ada kasus perkelahian antar pelajar, karena hampir semua siswa di sekolah sudah memiliki etika dan budi pekerti yang diserapnya dari karya-karya sastra yang dibacanya.

Ini luar biasa, sastra mampu menata etika mereka. Padahal remaja yang hidup di negara-negara maju memiliki kebebasan tinggi. Ini mungkin salah satu rahasia Allah menurunkan al-Qur'an dengan nilai-nilai sastra maha dahsyat. Tak heran apabila masyarakat Arab yang dikenal jahiliah bisa ditaklukkan jiwanya dan bergetar hatinya mendengar ayat-ayat Allah. Pastinya, masyarakat jahiliah modern dewasa ini akan tertata ahlak dan moralnya jika terus menggali nilai-nilai al-Qur'an. ****



Selanjutnya......

Selasa, 07 April 2009

Abunawas Syndrome, Antara Refleksi Diri dan Kecemasan

By: Mahmud Syaltut Usfa

Ketika Abunawas mengikuti shalat jenazah dia berada di shaf paling depan, dengan khusuknya Abunawas mengikutinya. Tapi ada yang janggal apa yang dilakukan oleh Abunawas. Yang semestinya shalat jenazah hanya dilakukan dengan posisi berdiri saja atau tidak usah memakai sujud, rukuk, tahayyatul akhir layaknya shalat lima waktu umumnya, eh....malah Abunawas melakukannya.

Entah disengaja atau tidak atau barangkali karena memang ketololan Abunawas. Tapi yang jelas itu mengundang pertanyaan bagi jemaah yang lain "Kenapa engkau memakai sujud dan rukuk hai Abu..? kan mestinya cukup berdiri saja..?" tanya seseorang disebelahnya. Dasar Abunawas, dengan otak cerdiknya dia menjawab enteng "Orang yang mati ini banyak memiliki dosa, sehingga harus memakai rukuk dan sujud,".

Abunawas yang hidup pada zaman kerajaan Harun Ar-rasyid di Baghdat memang sangat terkenal memiliki otak cerdik dan tolol tapi dengan ketololannya itulah sang raja sering dibuat bulan-bulanan olehnya. Setiap orang yang mendengar atau membaca kisah-kisah Abunawas akan dibuat tertawa. Padahal, sebenarnya kisah-kisah ketololnnya adalah merupakan kisah perjalanan ketololan diri kita sendiri.

Orang yang menertawai si Abunawas layaknya proyeksi menertawakan ketololan diri kita sendiri. Apalagi hidup pada zaman yang serba harus berpacu dengan cepat untuk mendapatkan posisi, jabatan, dan lain-lain. Terkadang harus ada pemaksaan-pemaksaan diri yang sebenarnya diluar kompetensi kita. Semakin banyaknya keberhasilan-keberhasilan dan semakin tingginya kedudukan kita maka akan semakin kuat terhadap munculnya rasa gengsi,takut, malu yang terkadang menjadi tidak rasional.

Mengacu pada teori psikoanalisa Sigmund Freud, dimana dalam dinamika diri manusia memiliki "Ego Devent Mekanisme" yang sangat kuat untuk mampu memberikan alasan-alasan demi untuk membela "egonya". Kondisi seperti ini dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali termasuk dari berbagai usia anak-anak, dewasa atau orang tua.

Hanya yang paling rentan dan kerap menghantui untuk melakukan Ego Devent Mekanisme adalah dari kalangan-kalangan yang memiliki posisi, power atau jabatan. Karena mereka sangat rentan sekali untuk mendapat kritikan-kritikan bahkan ketakutan untuk dijatuhkan dari kursi empuknya.

Mereka harus memiliki senjata ampuh yaitu silat lidah dan seribu alasan layaknya Abunawas walau terkadang harus rela menjadi "lelucon publik" karena dipandangnya suatu ketololan dan sangat-sangat tidak masuk akal.

Seorang Abunawas hanyalah rakyat kecil yang tidak akan banyak memberikan pengaruh publik terhadap reputasinya walau terkadang selalau merepotkan sang raja. Berbeda apabila seorang raja yang selalu berpikir cerdik dan tolol untuk membela diri dengan argument-argument cerdiknya. Tentu akan menggoyangkan jabatan sang raja karena sudah berkurang reputasinya dimata rakyat.

Dalam teori psikoanalisa, Ego merupakan kesatuan inti manusia, maka ancaman terhadap ego ini merupakan ancaman pula terhadap eksistensi manusia. Karena itu, setiap individu perlahan-lahan telah belajar memakai berbagai Mekanisme pembelaan egonya. Apabila dialaminya suatu keadaan yang mengancam keutuhan integritas pribadinya. Mekanisme itu sangat penting sebab berfungsi untuk memperlunak kegagalan, menghilangkan kecemasan, mengurangi perasaan yang menyakitkan karena pengalaman yang tidak mengenakkan dan juga untuk mempertahankan perasaan layak dan harga diri.

Ego Devent Mekanisme merupakan kondisi jiwa yang normal, kecuali sudah terjadi sedemikian keras dan kebiasaan yang sudah tidak mampu untuk dikontrol. Sehingga bukan lagi membantu tetapi malah menganggu integritas pada pribadinya. Ego Devent Mekanisme ini sendiri sebenarnya tidak realistis dan mengandung unsur penipuan diri sendiri serta distorsi realitas. Karena itu ini mempunyai kelemahan dan dapat mempunyai akibat yang tidak baik. Dan sebagian Mekanisme ini bekerja dengan tidak disadarinya, sehingga memang sukar untuk dinilai dan dievaluai secara sadar.

Dari sekian banyak bentuk pembelaan ego ada beberapa bentuk pembelaan ego yang sering dilakukan oleh kita, yaitu Rasionalisasi, adalah berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang ia lakukan yang sebenarnya kurang baik adalah dirasionalkan adanya, dapat dibenarkan dan dapat diterima adanya. Misalnya, ketika sorang murid mengajukan pertanyaan kepada gurunya,akan tetapi karena guru tersebut tidak tahu jawabannya maka dengan enteng dia menjawab "badan kurang enak" atau "pertanyaan itu terlalau mudah", padahal intinya ada rasa ketakutan, gengsi yang ditimbulkan karena tidak bisa menjawab atau barangkali takut jawabnnya salah. Contoh lagi jawaban-jawaban pembenaran lainnya seperti "Bukan korupsi, hanya uang jasa" atau "toh tidak diminta" dan sebagainya. Rasional menurut dia tapi terkadang akan menjadi lelucon bagi orang lain.

Ada tanda-tanda bahwa ada rasionalisasi pada pernyataan orang tersebut seperti: Mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan atau kepercayaannya, kedua tidak sanggup mengenal hal-hal yang tetap atau bertentangan dan menjadi bingung atau malah marah bila alasannya diragukan orang. Sepertinya banyak dari kita yang telah belajar dari "lelucon" Abunawas hanya terkadang kita tidak tahu apa itu namanya, bahkan betapa kuatnya pembelaan ego kita apabila apa yang diyakininya sangat tidak rasional diterima oleh akal terlebih dari pandangan publik tetapi diri kita mengatakan "rasional dan mereka yang tolol".

Kita terkadang memang harus banyak belajar dari Abunawas sebagai referensi ego untuk mengoreksi diri kita. Apa yang kita pandang benar terkadang merupakan ketololan bagi orang lain. Kita sudah terlalu asyik menertawakan orang lain padahal pada hakekatnya kitalah yang semestinya terlebihdahulu harus ditertawakan.

Mungkin kita harus segera banyak-banyak mengoreksi diri dengan sedikit meluangkan waktu untuk berpikir bening, jujur pada segenap keterbatasan kita, kesahajaan serta tidak larut dalam kebohongan-kebohongan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakannya.

Semakin kuatnya rasa "anarki absolut" pada diri kita terlebih karena adanya kekuasaan, jabatan, dan tidak adanya rasa "Qanaah" maka akan melahirkan rasa ketakutan yang selalu menghantui diri kita, disitulah "Abunawas Syndrome" akan menjadi komuditas pembenaran bagi diri kita sampai melampaui batas sekala logika.

Nampaknya kita harus siap menertawakan diri kita sendiri bahkan seorang pemimpin sekalipun harus siap ditertawakan anak kecil apabila memunculkan kecerdikan, lelucon atau ketololan seperti layaknya Abunawas yang siap ditertawakan siapaun juga dalam kisah-kisah leluconnya.





Selanjutnya......