Minggu, 28 Juni 2009

Jangan Malu Belajar Do'a ke Anak

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Orangtua mana yang tidak senang anaknya pandai ilmu agama. Walaupun dia sendiri sangat dangkal tentang agama, tapi anaknya harus pandai. Mantap….!! memang orangtua harus berpikir gitu kok!. Akhirnya anaknya disekolahkan di salah satu SD Islam favorit di Batam.

Kurikulum agama Islamnya termasuk di atas standar. Semenjak kelas I (semester awal) sudah harus mengikuti berbagai pelajaran agama. Tidak hanya teori tapi juga praktek, atau lebih akrab dengan istilah pembiasaan.

Mulai pembiasaan bahasa Arab sampai membaca do’a - do’a pilihan. Apalagi praktek shalat, pembiasaan membaca al-qur’an dan hadis-hadis pilihan sudah menjadi keseharian mereka. Sampai-sampai orangtuanya sendiri kewalahan mengimbangi kemampuan ilmu agama anaknya.

Sehingga lama-lama kondisinya terbalik. Anak yang harus mengajari orangtuanya. Bahkan, saat ada tugas agama dari sekolah anak mulai malas bertanya ke orangtuanya. Alasannya, papa dan mama pasti gak ngerti. Akibatnya pada diri anak mulai muncul rasa kurang percaya ke orangtuanya. “Ah…percuma tanya, paling papa dan mama gak bisa jawab juga.” Begitu yang ada di pikiran anaknya.

Mau tak mau, orangtua harus (dituntut) untuk belajar berbagai pelajaran agama anaknya yang masih duduk di bangku kelas I SD. Kalau perlu harus lebih pandai. Akhirnya, setiap hari selalu membaca pelajaran agama di buku paket dan catatan anaknya. Hasilnya positif, orangtua jadi makin ngerti akan ilmu agama. Khususnya bagi sang ibu yang harus mengajari anaknya, menjadi persoalan serius.

Untuk pelajaran agama secara umum tidak ada masalah. Tapi ketika pelajaran bahasa Arab, tajwid, menulis Arab sangat menjadi kendala. Yang lebih merepotkan lagi pelajaran hafalan surat-surat pendek, hadis-hadis pilihan dan do’a – do’a pilihan. “Wah....mana mungkin bisa menghafal semuanya.” pikir ibunya. Apalagi kemampuan menghafalnya tidak setajam anak-anak. Tapi kalau bertanya ke anaknya langsung kuatir anaknya malah menertawakan. “Kok papa dan mama tidak tau sih...!!”

Nyerah...pasrah...akhirnya memutuskan “Saya harus belajar ke anak!!” Tapi sayangnya tidak mau terang-terangan, alias harus sembunyi-sembunyi. Caranya, setiap hari harus menyuruh anaknya membaca pembiasaan-pembiasaan tersebut. Misalnya, niat wudu’ dan doa setelah wudu’ sang ibu harus mendampingi anaknya yang lagi wudu’ dengan pura-pura membimbingnya. Padahal mulutnya sambil komat-kamit menirukan anaknya yang sedang baca do’a.

Seabrek hafalan do’a –do’a harus dihafalkan. Rasanya memori otak ibunya sudah penuh. Entah kenapa, untuk menghafal do’a sebelum makan kok terasa susah. “Wah...do’a – do’a dan hadis masih belum hafal ditambah lagi do’a sebelum makan.” pikirnya.

Makanya setiap anaknya mau makan sang ibu harus pasang kuping mendengarkan do’a anaknya. Tapi anaknya kadang malas-malasan membaca do’a. Pada suatu hari anak makan di ruang makan dan tidak mau diganggu ibunya. Sang ibu harus rela nguping sambil duduk di ruang tamu.

Sayang sekali, sang ibu tidak mendengar anaknya membaca do’a. Dengan penasaran dia menanyakan. “Apakah sudah membaca do’a?” tanyanya. Dengan suara enteng anaknya menjawab “Sudah membaca di dalam hati.” sahutnya. “Aduh...repot nih jadi gak kedengaran.” pikir ibunya, sambil melontarkan kalimat “Membaca do’a itu harus nyaring supaya kedengaran malaikat.” ujar ibunya setengah berteriak.

Akhirnya anaknya membaca do’a dengan keras. Sang ibu senang sambil menirukan. Tapi, sial....lagi-lagi masih belum hafal juga. Akhirnya menyuruh anaknya membaca lagi. “Ayo dibaca lagi yang keras.” Suruhnya. “Kan sudah mama.....” jawab anaknya. “Dibaca lagi yang keras supaya setannya lari gak ikut makan.” alasannya dengan suara agak keras.

Si anak menurut sambil mengulang bacaan do’a sebelum makan. Ibunya senang karena bisa menirukan. Tapi, lagi-lagi gak nyantol ke memorinya. Do’a yang sudah dihafalnya hilang lagi. Membacanya juga terbalaik-balik.

“Wah...harus menyuruh anak saya lagi nih.” Ucapnya dalam hati. “Ayo...do’a sebelum makannya diulang lagi, kayaknya setannya belum lari tuh...” suruhnya lagi. Dengan sedikit jengkel si anak menjawab “Aduh mama......kan makannya sudah selesai, kok disuruh membaca do’a sebelum makan terus sih....sekarang aku membaca do’a setelah makan ya ma...” sahut anaknya polos. “Ihhhh......do’a sebelum makan aja belum hafal malah ditambah do’a setelah makan.” ujar sang ibu agak sewot.

Belajar kepada anak kenapa harus gengsi. Apalagi untuk kebaikan anak dan diri sendiri. Gak ada salahnya terus terang, tapi terus berusaha belajar. Daripada ditahan-tahan malah hasilnya tak karuan tuh...!!



Selanjutnya......

Dangdut pun Berevolusi

Batam Pos, Minggu, 01 Pebruari 2009

Sonet 2 yang menggebrak pasar musik nasional dengan sentuhan baru musik dangdut, masih menjadi perhatian. Revolusi dangdut yang diusung oleh Rhoma Irama dan anaknya Ridho Rhoma (Sonet 2) menjadi pembicaraan di kalangan musisi. Revolusi dangdut dianggap membawa angin segar bagi pemusiknya.

HASANUL, Reporter Batam Pos

Di Batam ada Muhammad Syaltut Usfa, gitaris sebuah grup band yang kerap membawakan lagu-lagu berirama dangdut saat manggung. Revolusi dangdut yang dibawa oleh Sonet 2, menurutnya membawa kesegaran bagi industri musik dangdut tanah air, termasuk Batam.

Alasannya, stereotipe dangdut yang selama ini menjadi semacam ciri khas, bisa dibuang. Ciri khas dangdut yang menyolok adalah style dan cara berpakaian. Musisi dan penyanyi dangdut bisa dibedakan dengan musisi dan penyanyi pop/rock melalui penampilannya yang norak.

”Kalau manggung kami harus pakai seragam, padahal saya sangat tidak nyaman dengan seragam,” aku Syaltut, sapaannya, saat berdiskusi dengan wartawan koran ini.

Itu belum lagi dari penamaan grup musik dan penyanyi dangdut. Revolusi yang diusung oleh Raja Dangdut sekarang ini, dianggap membawa angin segar.

”Bila revolusi dangdut ini bisa berjalan dan diterima, suatu saat nanti kami manggung tidak lagi harus menggunakan seragam. Status musisi dangdut pun bisa disejajarkan dengan musisi pop atau lainnya,” komentar Syaltut.

Pandangan minus pada musisi dangdut, menurutnya bisa ditepis melalui revolusi tersebut. Syaltut mengaku, musisi dangdut kerap dipandang sebelah mata tanpa melihat latar belakang musisinya. Syaltut misalnya, walau sejak 1996 lalu sudah berkecimpung di musik dangdut dan koplo, tetapi dia justru berlatar belakang pendidikan musik klasik di Yasmi Music School, Surabaya.

”Saya terjun ke dangdut karena ada unsur akar budayanya,” katanya.

Dari membawakan musik-musik dangdut di pelosok tempat lah, Syaltut bisa mengenal karakter dari banyak orang, dari berbagai suku dan ras. Tak heran, temannya ada banyak dari berbagai latar belakang yang beragam.

Menghadapi revolusi dangdut sekarang ini, dia mengatakan dibutuhkan kreativitas dan kemampuan bermusik oleh musisi dangdut, lebih baik dari yang sebelumnya. Bila dulunya musisi dangdut Batam hanya sebatas bisa bermusik, setelah revolusi musisinya dituntut untuk berkemampuan lebih. Bila tak mampu mengikuti, bisa tergusur dan mati.

”Kalau saya lihat, musisi dangdut di Batam tidak begitu kreatif, hanya menunggu lagu-lagu dari Jakarta atau dari pop. Bila tetap seperti itu, musisi di Batam akan tetap menjadi musisi kampungan,” kritiknya.

Tradisi menunggu, menurutnya tidak bisa lagi dilakukan setelah revolusi dangdut. Musisi lokal harus bisa menciptakan nada-nada lagu baru untuk bisa eksis. Dampak dari keringnya kreatifitas itu, menurutnya baru terasa sekarang. Tetapi bila kering kreatifitas bisa diatasi, musisi dangdut akan naik pamor.

”Bukan tidak mungkin akan terbit pula grup Sonet 3 atau Sonet 4,” kelakarnya.

Syaltut dengan grup musiknya yang secara berkala mengadakan konser di beberapa tempat di Batam, mengatakan bahwa sejauh ini mereka masih menggunakan dangdut original dalam bermusik. Revolusi musik dangdut, masih belum diikuti sekarang ini, walaupun mau tidak mau mereka harus ikut dalam evolusi yang tercipta. Bagi Syaltut dan rekannya, revolusi dangdut lebih diharapkan ke arah persamaan derajat antara musisi dangdut dengan musisi lainnya.

”Kami harus mengikuti evolusi. Tidak ada lagi penyanyi yang bergaya norak dan bergaya seksi tidak pada tempatnya,” celetuknya.

Dengan revolusi, musisi Batam bisa membuat evolusi dan perubahan untuk menghadapinya. Revolusi yang dibawa itu, menurut Syaltut tidak hanya menyangkut revolusi pada musiknya saja, tetapi juga kelas pada pemain dan penikmat musik dangdut. Selama ini, walaupun dangdut telah merambah hotel dan tempat-tempat berkelas, tetapi penampilan musisinya tidak juga ada beda. ***




Selanjutnya......

Kamis, 11 Juni 2009

Bahasa Gaul, Budaya Gaul, Bangsa Gelo

Batam Pos, Minggu 7 Juni 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa
(Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School)

Tidak berlebihan apabila bahasa Indonesia sekarang dinilai sedang terkoyak-koyak. Munculnya bahasa gaul membuat ejaan bahasa Indonesia “kocar-kacir” tak beraturan. Lebih prihatin lagi, tidak hanya bahasa lisan yang morat-marit tapi juga bahasa tulisan. Bahasa-bahasa iklan yang terpampang di baliho-baliho besar sudah semakin salah kaprah penulisannya. Begitu juga yang dipublikasikan di telivisi, semakin menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia.

Redupnya penggunaan tata bagasa Indonesi yang benar justru diikuti maraknya bahasa gaul. Yang lebih memprihatinkan, bahasa gaul diangkat ke dalam bahasa tulisan. Kondisi ini tentu membuat bahasa kita terkontaminasi. Akibatnya, eksistensi bahasa sebagai bagian dari budaya malah terkikis.

Munculnya bahasa gaul disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, dipandang komunikatif. Bahasa gaul gampang menyebar melalui media, khususnya radio dan televisi. Bahasanya gampang dicerna dan tidak ribet (bertele-tele). Faktor lainnya karena trend. Anak muda yang menjadi sasaran. Penyebarannya bisa merambah mulai anak SD hingga Orangtua.

Wabah bahasa gaul sendiri memang lebih cendrung ”menyerang” kaum remaja. Mengapa? Secara psikologi memang berkaitan dengan perkembangan kognitif.

Menurut Piaget (ahli psikologi kognitif), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia.

Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosa kata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks.

Sangat bisa dipahami. Sebab kalau dilihat dari perkembangan, bahasa gaul ini berkembang seiring dengan situasi zaman. Sebenarnya sejak tahun 70-an sudah muncul bahasa gaul. Tapi tahapannya hanya sekadar istilah untuk merahasiakan. Misalnya dengan menggunakan kosa kata terbalik. Awalnya sebatas terjalin dalam komunitas tertentu saja. Tapi karena sering juga digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Dilihat dari sejarahnya, bahasa gaul ini sendiri berasal dari kaum waria dan anak-anak jalanan. Masih ingat bahasa prokem? Bahasa prokem sangat trend di kalangan anak muda tahun 70 dan 80-an. Salah satu bahasa prokem (okem) yang masih terdengar sampai sekarang adalah ”bokap”. Nah, bahasa prokem ini muncul dari kalangan preman jalanan.

Mari kita lihat sejarah kata-kata gaul secara singkat. Pada tahun 1980-an muncul istilah yang sangat populer, yaitu ”Nih Yee...” ucapan ini sangat merata di seantero negeri. Kemudian muncul istilah "Memble dan Kece"Ini adalah ciptaan khas Jaja Mihardja, di tahun1986. Selanjutnya "Booo........" Ini ucapan populer di pertengahan awal 90-an, pertama dipopulerkan oleh grup GSP.

Setelah kata-kata Boo... tak lama kemudian muncul kata-kata ”Nek...” bagi generasi yang SMA-nya di pertengahan 90-an. Setelah itu muncul lagi "Jayus" Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan Jayus sangat populer, kata ini artinya lawakan yang nggak lucu. Juga sempat populer istilah "Jaim" Ucapan Jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku.

Bagaiman dengan "Gitu Loooooooooohhh........(GL)" Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran.

Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (Psikolog, 1968), remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas.

Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.

Bahasa gaul sangat unik, nyentrik dan parktis. Beberapa perkataan disingkat menjadi akronim. Atau beberapa perkataan digambungkan menjadi bahasa baru. Misalnya singkatan seorang nama SBY, JK dll. Bahkan, pasangan Capres dan Cawapres saat ini juga “dipaksakan” menggunakan kata gaul agar lebih populer.

Hanya selanjutnya adalah pentingnya pengawalan terhadap bahasa Indonesia. Jangan sampai eksistensi bahasa Indoensia buram. Sudah seharusnya dalam bahasa resmi, atau di media lebih kritis menjaga tata bahasa yang benar. Bahasa gaul hanya ada sebatas musiman. Walau tidak semua penggunaannya merusak khazanah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa gaul sangat perlu pengawalan jika digunakan secara formal.

Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi belaka. Melainkan juga berisi nilai-nilai etika yang lahir dari budaya. Apabila bahasa gaul lepas dari pengawalan, konsekwensinya adalah terkikisnya etika. Kita adalah bangsa timur yang menjunjung tinggi moralitas. Dengan bahasa kita bisa memiliki etika. Cara berbahasa akan berpengaruh pada sikap, perilaku serta bertatakrama.

Lahirnya bahasa Indonesia sendiri melalui perjalanan sejarah. Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Apabila bahasa Indonesia makin tidak terjaga, taruhannya adalah jati diri bangsa.





Selanjutnya......

Senin, 08 Juni 2009

Sudah Cukupkah Usia Anak Anda Masuk SD?

Batam Pos, Senin, 08 Juni 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tahun ajaran baru sudah semakin dekat. Para orang tua yang anaknya lulus Taman Kanak-Kanak (TK) sudah sibuk mendaftar. Namun, juga banyak orang tua yang bingung menentukan sekolah. Sudah pasti, sekolah-sekolah negeri menjadi incaran. Banyak alasan yang dikemukakan, salah satunya karena biaya.

Hanya saja, kendalanya di usia. Karena SD negeri sudah mematok usia 7 tahun. Saat ini para orangtua sudah harus dipusingkan dengan hitung-hitungan usia anaknya. Jika di Bulan Juni nanti usianya 6,2 tahun belum cukup umur sekolah di negeri. Tapi menunggu tahun depan sudah memasuki usia 7 tahun lebih. Rasanya para orangtua tidak rela anaknya masuk SD usianya lebih, walau hanya dua bulan.

Bahkan, tidak sedikit para orangtua yang mensekolahkan anaknya di bawah usia 6 tahun. Incarannya pasti sekolah swasta. Ada juga yang terpaksa akal-akalan, tahun pertama sekolah di swasta, begitu naik kelas dipindahklan ke sekolah negeri. ”Anak saya kan sudah bisa berhitung, membaca, menulis bahkan komputer, kenapa harus menunggu usia 7 tahun?” Seperti itu rata-rata alasan yang dikemukakan para orangtua. Atau dengan alasan anaknya sudah bosan sekolah di TK.

Analogi seperti itu sebaiknya dipertimbangkan lagi. Karena penentuan usia ini bukan terkait kemampuan anak begitu saja. Yang lebih penting adalah usia kesiapan mental. Anak-anak TK sekarang sudah pandai macam-macam karena akibat perkembangan informasi dan kemajuan teknologi. Tetapi usia mental tetap harus berjalan sesuai dengan usianya. Dan tugas-tugas perkembangan anak harus dituntaskan. Apabila mentalnya dibonsai maka anak akan mengalami kejenuhan.

Sering ditemui perbincangan antar orangtua yang bangga karena anaknya sekolah SD di bawah usia 7 tahun. Bahkan lebih muda usia masuk sekolah merasa lebih bangga diceritakan. ”Wah kalau anak saya ini usianya baru 6 tahun kurang lho masuk SD.”

Tahan dulu berbangga diri, justru harus lebih kritis menyikapi perkembangan anak. Karena anak yang sekolah SD saat usia belum matang rentan mucul kejenuhan. Prestasi anak yang sebelumnya tinggi akan gampang jatuh, bahkan anak gampang drop.

Seorang anak siap secara fisik dan mental menerima pelajaran secara formal dimulai di usia 7 tahun, paling awal 6 tahun. Bisa jadi seorang anak secara kognitif sudah ”pandai” tapi belum tentu secara mental siap untuk sekolah.

Bila anak dipaksakan sekolah sebelum umurnya, yang terjadi adalah pada umur di atas 10 tahun. Di usia ini dimana seorang anak mulai mencari jati diri bisa mengalami semacam kebosanan. Dan bila ini terjadi, maka si anak bisa jadi malah malas belajar. Fatalnya adalah hal ini sama sekali tidak terlihat di awal dia sekolah. Bisa jadi tahun pertama bersekolah anak baik-baik aja, tapi setelah 5 tahun bersekolah tahu-tahu si anak mulai berulah, malas sekolah.

Kondisi ini sangat lumrah terjadi, karena tidak terjadinya keseimbangan mental dengan tugas-tugas sekolah formal yang sudah ditentukan oleh kurikulum. Satu sisi anak harus menuntaskan tugas-tugas perkembangan usia dini, tapi di sisi lain sudah dijejali dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran.

Anak usia TK masih berada pada fease trozalter. Artinya, mental anak masih sebagai ”raja kecil” di rumah. Kondisi seperti itu yang mempengaruhi emosi anak, sehingga masih terbawa ke sekolah. Akibatnya, tidak hanya teman-temannya yang merasa terganggu tetapi juga merepotkan guru.

Dalam pengendalian emosi, sikap anak akan cenderung semaunya. Misalnya, menangis hanya gara-gara rebutan penghapus dengan temannya, mengompol, main-main di kelas, berbicara sendiri ketika guru mengajar, konsentrasinya tidak fokus. Di sinilah guru harus lebih terampil dan sabar. Atau harus berperan ganda memposisikan sebagai guru TK dan SD. Sulit memang, karena satu sisi guru harus konsentrasi mencapai target sesuai dengan kurikulum.

Anak yang masih berada pada usia prasekolah umumnya aktif. Mereka sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Sedang ciri secara emosional cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut. Selain itu gampang muncul iri hati, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.

Sedangkan ciri kognitif umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya, anak butuh diberi kesempatan untuk berbicara. Guru dalam berkomunikasi dengan anak, harus dilakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.

Bandingkan dengan kondisi psikologis anak usia SD ( 7 tahun). Anak usia ini berada pada tahapan operasi konkret. Pada usia ini anak betul-betul sudah memasuki usia kesiapan mental dari sisi emosional, kognitif dan motoriknya. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa.

Secara umum tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung kepada objek-objek konkrit dan pengalaman yang dialami secara langsung. Anak sudah sangat siap menerima metode pembalajaran sesuai kurikulum SD. Guru juga tidak mengalami kesulitan dalam menerapkan pembelajaran terpadu melalui pendekatan pembelajaran tematik.

Perkembangan emosi anak usia 6-8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orangtua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah.

Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.

Mudah-mudahan tulisan ini menjadi referensi serta pertimbangan ketika mengambil keputusan. Apabila usianya masih kurang, pertimbangkan lagi mau terus atau menunda tahun depan. ***



Selanjutnya......