Minggu, 12 Juli 2009

Membangun Sastra Melalui Esai di Batam Pos

Batam Pos, Minggu 12 Juli 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa
(Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Adanya halaman sastra dan budaya di Batam Pos merupakan langkah sangat positif. Dalam jagad penulisan, esai sastra merupakan salah satu bentuk karya tulis yang marak diciptakan. Berbagai gaya penulisan terus mengalir setiap minggunya. Dan terbukti, di Batam Pos muncul penulis-penulis lokal yang produktif. Ini menunjukkan pamor esai sastra sudah cukup kuat.

Berbagai sudut pandang sastra menjadi kupasan menarik. Ini suatu bukti perhatian publik sastra sangat antusias. Selanjutnya yang diharapkan adalah esai dari pengkaji, sastrawan, pembaca, dan tentunya para penulis pemula.

Munculnya daya tarik tersebut tidak terlepas dari adanya keunikan esai sastra. Walaupun sebagai karangan subjektif, namun tetap memiliki karakteristik sangat menarik. Tentunya yang diharapkan adalah menjawab tantangan yang sudah tersedia ini. Karena, pada akhirnya tidak hanya pembaca yang pandai namun lebih khusus lagi para penulisnya.

Sangat diharapkan akan muncul para penulis kreatif yang mengulas sastra di jagad negeri ini. Lebih diharapkan lagi menggali sastra di bumi melayu sebagai “tanah air” sastra di Indonesia.

Sebab, bisa saja ada kemungkinan seorang penulis esai tidak paham pengertian esai sastra. Menulis esai memang dibutuhkan referensi yang kuat. Namun, yang menjadi dasar adalah pemahaman terlebih dahulu menganai esai itu sendiri. Karena ada beberapa pandangan dari para ahli di bidangnya.

Dalam tulisan ini akan sedikit dihadirkan beberapa pendapat para pakar tersebut. Diharapkan ini lebih memudahkan bagi para penulis, lebih khusus pemula yang tertarik menulis esai sastra. Ini hanya sekadar meneguhkan lagi bagi para penulis.

Pandangan yang pertama saya angkat dari Sang Paus Sastra H.B. Jassin. Menurutnya, esai adalah uraian yang membicarakan bermacam ragam, tidak tersusun secara teratur tetapi seperti dipetik dari bermacam jalan pikiran. Pengertian di atas lebih tegas lagi bahwa penulisan esai sangat luas, fleksibel. Kuncinya adalah fondasi referensi untuk mengokohkan jalan pikiran penulis.

Tak heran jika banyak bermunculan karya esai sederhana namun gampang dicerna. Karena dalam esai terlihat keinginan, sikap terhadap soal yang dibicarakan, kadang-kadang terhadap kehidupan secara universal.

Kontrol yang mungkin perlu dijaga adalah mengemas antara keinginan penulis dan kebutuhan pembaca. Sebab, jika mengikuti arah keinginan penulis bisa-bisa pembahasannya melebar. Sebaiknya pahami dulu kebutuhan pembaca. Ini disebabkan penulisan esai memang gamblang.

Sebagaimana pandangan Arief Budiman, pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.

Sementara itu pendapat dari Soetomo menyebut bahwa esai adalah sebagai karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan.

Esai lebih mengarah pada penulisan yang sedang menarik perhatian, dibahas secara datar, dan bukan bersifat kritik. Sebab kritik sudah memiliki penilaian baik-buruk, benar-salah. Kritik sastra juga lebih sistematis dibanding esai, oleh karena itu kritik sastra harus diurai panjang lebar, dan secara otomatis harus objektif.

Perbedaan dengan esai adalah sifat penulisannya subjektif. Uraiannya cukup pendek karena hanya menerangkan. Juga tidak teratur sistematikanya layaknya opini. Sepertinya ini sering rancu, karena penulis sering ”terlanjur” mengarah ke kritik. Hal ini disebabkan penulis sangat kokoh pada pemikirannya, sehingga tersandung pada ego dalam mengemukakannya.

Esai bisa diartikan sebagai karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dengan pendirian, pikiran, cita-cita, sikap penulisnya yang diutarakan secara tidak teratur. Tak heran, jika esai dikupas secara sederhana namun memiliki dasar pemikiran yang kokoh.

Pendapat yang lainnya muncul dari F.X. Surana yang menerangkan esai sebagai kupasan suatu ciptaan, tentang suatu soal, masalah pendapat, ideologi, dengan panjang lebar. Kupasan ini berdasarkan pandangan penulisnya dan diutarakan secara tidak teratur. Adakalanya esai terkesan menyajikan pemikiran-pemikiran yang liar.

Dari berbagai pandangan tersebut, bisa dikategorikan kalau tulisan esai memiliki ciri-ciri: Tulisan pendek, berbentuk prosa, bersifat subjektif, bersifat menerangkan saja, tidak teratur dibanding kritik.

Dari uraian di atas tak heran apabila esai bermunculan. Terlebih sastra dan budaya memiliki ruang lingkup sangat luas. Batam Pos sudah memberi ruang bagi para penulis. Suatu bentuk apresiasi yang sangat bagus dalam meningkatkan pemahaman sastra dan budaya.

Langkah ini merupakan membangun media edukatif bagi perkembangan sastra dan budaya di Kepri. Batam Pos sudah memiliki kepedulian yang tinggi. Dari halaman ini kita bisa belajar. Tidak sekadar belajar dari membaca, namun juga menuangkan pemikiran-pemikiran kita dalam tulisan. ***





Selanjutnya......

Dahsyatnya Sentuhan Meluluhkan Jiwa Anak

Batam Pos, Sabtu, 11 Juli 2009
Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tindak kekerasan guru terhadap siswa sering mewarnai lembar pendidikan kita. Termasuk di tingkat pendidikan dasar (SD). Banyak guru tidak sabar menghadapi ulah anak didiknya. Padahal, semua guru pasti ingin mendidik siswa-siswinya dengan baik. Tetapi menghadapi sikap, perilaku, dan kepribadian anak berbeda-beda membutuhkan kesabaran tinggi.

Kondisi yang merepotkan guru adalah ketika menghadapi anak kurang disiplin. Tapi mau ditegaskan malah tersandung dengan persepsi yang sudah melekat di pikiran kita “namanya saja anak-anak”. Pandangan seperti itu terkadang menjadi sebuah “toleransi” ketika akan menegakkan aturan kepada anak-anak. Akibatnya, sikap dan perilaku anak malah dalam posisi salah bentuk.

Terlebih menghadapi anak yang dicap sebagai “si nakal” di sekolah. Adakalanya orangtua serta guru serba salah ketika harus memberi sanksi atau hukuman. Karena khawatir mengarah kepada tindak kekerasan. Tapi jika secara lembut malah tidak membuat perilaku anak berubah.

Dalam mengendalikan perilaku anak ada dua figur penting yang mempengaruhi. Yaitu, figur orangtua dan guru. Keduanya saling mendukung dalam memberi energi postif terhadap emosi dan kognisi anak. Hal mendasar adalah menciptakan kepercayaan (trust) pada pribadi anak.

Cara yang paling sederhana membentuk kepercayaan adalah dengan sentuhan fisik. Ini sangat halus, lembut, sederhana tapi membutuhkan keihlasan. Melalui sentuhan akan tercipta ikatan emosional, sehingga terbentuklah trust. Dari kepercayaan akan timbul kelekatan emosional (attachment).

Orangtua sangat penting membiasakan sentuhan, minimal sebelum anak berangkat sekolah. Bersalaman kemudian memberi ciuman (kecupan) merupakan pembiasaan yang sangat bermakna.

Ada hasil penelitian yang spektakuler mengenai pengaruh ciuman seorang ibu. Seorang anak yang diberangkatkan ke sekolah oleh sang ibu dengan kecupan sayang, ternyata memberi dampak luar biasa terhadap prestasinya. Kecupan tersebut mampu meredam kemarahan untuk berkelahi di sekolah daripada mereka yang diberangkatkan oleh baby sitter (pembantu).

Sangat disayangkan apabila orangtua tidak sempat melakukan itu dengan alasan tidak ada waktu. Apalagi semuanya diserahkan kepada pembantu, dan di sekolah dipandang hanya menjadi tanggung jawab guru.

Begitu juga sebaliknya, guru harus intens memberi sentuhan kepada anak didiknya. Mulai menyambut dengan salaman ketika anak tiba di sekolah. Satu persatu kepada siswa. Bukan sebaliknya, siswa yang menyambut guru kerena sang guru datangnya terlambat. Anak pasti sangat senang menyambut guru tapi akan lebih bangga lagi apabila disambut guru dengan salaman.

Sentuhan akan mengalirkan ikatan emosional. Apabila setiap hari dilakukan, maka akan menyambungkan ikatan kepercayaan. Model sentuhan lain yang juga sangat sederhana tapi memiliki makna dalam adalah dengan mengelus-elus punggung anak. Sentuhan ini mampu memberi rasa percaya diri, tanggung jawab, ketenangan serta semangat ke anak.

Cara lain adalah dengan membelai kepala. Dengan melakukan belaian membuat anak merasa dihargai, mendapat kepercayaan dan tidak merasa dipersalahkan. Sentuhan yang juga sangat sederhana dilakukan ke anak adalah mendekap kepalanya ke dada sebelah kiri. Ketika anak merasa bersalah, menangis dan down, dekaplah erat-erat sampai merasakan dengup jantung. Seketika anak akan “bernostalgia” saat berada di dalam rahim ibunya. Akan merasa tenang dan aman. Sehingga mampu menghilangkan rasa cemas, takut dan marah.

Tidak musthail, jika sentuhan sederhana tersebut diterapkan mampu meredam tindak kekerasan guru terhadap siswa. Kekuatan sentuhan sangat dahsyat. Sudah banyak hasil penelitian membuktikan pengaruhnya.

Seorang psikolog Eropa pernah melakukan penelitan terhadap dua simpanse. Simpanse yang satu tidak penah dilus-elus, dibelai dan diajak berkomunikasi. Sedang satunya setiap hari dibelai, dielus-elus, diberi sentuhan fisik dan diajak ‘bicara”. Hasilnya, ada perbedaan sangat mencolok. Simpanse yang tidak pernah diberi sentuhan fisik menjadi liar, garang dan ganas. Tapi sebaliknya, yang diberi sentuhan dan kasih sayang menjadi sangat penurut dan patuh kepada pemiliknya.

Seorang Australia memiliki pengalaman lain yang cukup unik. Katanya, sapi yang diperah susunya dengan menggunakan tangan si peternak (diperah secara manual) lebih banyak mengeluarkan susu daripada sapi yang diperah dengan mesin pemerah.

Begitu dahsyatnya pengaruh sentuhan ini. Jangankan terhadap manusia yang memiliki elemen psikologis sempurna, kepada hewan saja pengaruhnya luar biasa!. Rasa percaya anak yang sangat besar membuat mereka gampang diarahkan.

Sekalipun diberi sanksi saat melakukan kesalahan tetap tidak akan menyalahkan guru. Dalam dirinya tidak akan muncul rasa benci, takut (trauma) kepada guru. Melainkan timbul kesadaran bahwa dirinya diberi sanksi karena kesalahannya, bukan karena guru membenci dirinya!.

Sangat berbeda dengan guru yang tidak memiliki ikatan emosional kepada anak didiknya. Kepercayaan sangat rapuh. Apabila guru memarahi akan dinilai sebagai guru yang galak. Jangan heran jika akhirnya anak menjadi bandel, selalu melawan. Bahkan, jika dimarahi akan mengulang lagi perbuatannya.

Ketika guru malarang anak dengan kalimat ”jangan” justru ditanggapi sebagai tantangan. Kalimat ”jangan” dijadikan kesempatan untuk mendapat perhatian. Contoh, ketika anak dilarang naik pohon ”jangan naiki pohon itu!” anak bukan turun, malah naik lebih tinggi lagi.

Di sinilah pentingnya membangun”trus” terlebih dahulu dengan fondasi ikatan emosional, selanjutnya baru diberi teguran atau sanksi apabila melakukan kesalahan agar perilakunya terarah.

Dalam membangun attachment tak perlu mengganggu pekerjaan di sekolah. Cukup dengan memanfaatkan sebaik mungkin waktu luang yang ada bersama anak didik. Memberi sentuhan bisa dilakukan setiap saat. Guru, yang tidak mau menyempatkan memberi sentuhan akan menciptakan jarak emosional. Apalagi jika anak dibuat merasa segan bertemu guru sama halnya menjauhkan rasa kepercayaan.

Sentuhan fisik adalah bahasa cinta yang paling mudah digunakan tanpa syarat, sebab orangtua atau guru tidak perlu mencari kesempatan khusus ataupun alasan apabila hendak melakukan kontak fisik. Bahasa sentuhan tidak terbatas pada pelukan dan ciuman saja, tetapi segala jenis kontak jasmani. Semoga bermanfaat.***


Selanjutnya......