Selasa, 23 Maret 2010

Alunan Ayat Al-Qur’an Anak Kecil Menyiram Hati

(Catatan Hati Mahmud Syaltut Usfa)
Sudah dua bulan ini aktifitas pekerjaan saya benar-benar intens. Terlebih dalam dua minggu ini. Biasa, tugas rutin di tempat kerja serta berbagai tetek bengek urusan di luar. Malam harus ‘nongkrong’ di studio musik. Sampai-sampai saya harus ketiduran di meja karena gak kuat nahan ngantuk.

Khusus hari ini (Selasa, 23 Maret 2010) bisa dikatakan full dari pagi sampai sore. Belum lagi harus bolak-balik urusan di luar. Wuih…lumayan capek. Maklum, pada Hari Kamis nanti, 25 Maret 2010 pembukaan Porseni tingkat kecamatan. Kebetulan saya wakil ketua (kadang posisinya gak jelas, kadang jadi ketua, kadang jadi sekretaris). Menjelang pembukaan, sudah pasti menjadi saat-saat yang menyibukkan. Banyak persiapan harus diselesaikan.

Menjelang gladi resik tadi sore, saya langsung ke kantor dewan guru SDN 008 dan mempersiapkan konsep acara. Badan masih terasa capek, otak juga terasa penuh pikiran. Apalagi cuaca panas membuat badan terasa gerah. Hanya hati yang terasa masih ada semangat. Kalau tenaga jangan ditanya, mungkin tinggal 5 watt.

Ketika sedang mengetik, saya mendengar suara anak SD melantunkan ayat suci al-Qur’an dari ruang kepala sekolah. Subhanallah…Allahuakbar merdu sekali. Seketika itu segala perasaan penat terasa rontok. Pikiran terasa ringan, hati rasanya adem. Saya berhenti mengetik, tertegun sejenak dan bertanya ke gurunya. “Merdu sekali suaranya, anak itu kelas berapa?” tanyaku masih dengan rasa tertegun. “Kelas IV pak, dia yang mau ikut Porseni nanti.” Jawab gurunya bangga.

Saya jadi teringat dengan nenek dan bapakku yang memang sangat senang mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Nenek punya radio kuno dan bentuknya antik betul. Nenekku biasa mendengarkan pangajian atau pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an lewat radio. Apalagi kebiasaan dia bertasbih, rasanya asyik betul bertasbih sambil mendengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Qur'an.

Begitu juga dengan bapak, selalu terlihat asyik mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi teringat masih kecil. Saya punya kakak (dua pupu) perempuan, dia juara qori'ah nasional. Saat mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat nasional, bapak selalu menunggu giliran dia. Bapak gak pernah ketinggalan, bahkan saat itu radio seharian hanya mendengarkan siaran langsung MTQ.

Saya juga teringat kisah WS. Rendra sebelum masuk Islam. Setiap sakit, dirinya merasa tenang, bersemangat dan sembuh ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dari jauh. Hingga akhirnya dia benar-benar mempelajari Islam dan menjadi muallaf.

Setelah gladi resik selesai, suara alunan ayat-ayat Al-Qur’an masih terngiang di telinga. Dalam perjalanan naik motor masih saya rasakan. Terbayang bagaimana Umar bin Khattab. Saat itu, seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur'an.

Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur'an.

Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya.

Saya bukan seperti nenek dan bapakku, juga tidak sesakral WS. Rendra. Apalagi laksana Umar bin Khattab hingga hati bergetar mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, yang pasti ayat-ayat Al-Qur’an dari mulut anak kecil itu telah merontokkan segala kepenatan pikiranku. Hati terasa adem menghempaskan suasana panas mentari.





Selanjutnya......

Jumat, 19 Maret 2010

“Bahavior-isme Ayam dan Wanita”

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Jenis-jenis ilmu sangat beragam. Ada ilmu yang membahas tentang tubuh manusia, hubungan antar manusia, kesehatan manusia, alam semesta, komunikasi antara individu, tumbuhan, binatang, spiritual, dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Dalam ilmu psikologi sendiri sudah pasti mempelajari ilmu perilaku (behavior).

Menariknya adalah kaitan yang erat antara ilmu tentang perilaku hewan (animal behavior) dan perilaku manusia (human behavior). Karena di dalam diri manusia ada sifat-sifat hewan yang kerap muncul. Kita pasti sering mendegar istilah-istilah perilaku manusia yang dikaitkan dengan hewan. Misalnya, “Jinak-Jinak Merpati” bermakna orang yang jatuh cinta tapi menunjukkan sikap malu-malu. Ada juga istilah untuk lelaki penggoda wanita dengan sikap gombalnya, yaitu “Buaya Darat”.

Bahkan pernah ada hasil penelitian, bahwa, harimau untuk membatasi area kekuasaannya dengan cara mengencingi area tersebut. Ternyata cara seperti itu juga sama yang dilakukan para gangster di perkotaan. Hanya bedanya, para gangster tidak dengan mengencingi, tapi dengan mencoret-coret dinding di sekitarnya (graffiti).

Istilah tak kalah sangat popular adalah bagi orang-orang yang sangat rakus. Mereka digambarkan seperti “Monyet”. Sedangkan bagi para pengutil, koruptor, dan sejenisnya disamakan dengan “Tikus”. Banyak istilah-istilah lain dari sikap manusia yang disamakan dengan binatang. Ini menjukkan kalau dalam diri manusia memiliki “nafsu” hewani.

Wah, jadi serius nih nulisnya. Padahal ingin nulis sederhana-sederhana saja. Nah, ada lagi istilah yang sangat menarik. Yaitu “Ayam”. Biasanya istilah ini dikhususkan bagi ‘perempuan-perempuan nakal’. Bisa diboking, pereks, dan sejenisnya. Kenapa ya? Saya kurang bisa menjelaskan secara rinci.

Tapi saya jadi teringat ketika masih kecil, saat di kampung. Sangat hobi memelihara ayam. Saking senangnya, setiap hari memperhatikan perilaku-perilakunya. Ada perilaku yang menarik. Sering sekali apabila ayam mau berhubungan seks, si jantan selalu mengejar si betina. Saat itu saya berpikir “kok maksa sekali”. Bahkan, tak jarang saya pukul si jantan karena kasihan si betina seperti mau diperkosa saja. Eh….ternyata pikiran saya meleset jauh.

Buktinya, setelah kejar-kejaran pasti si betina lari ke semak-semak atau ke tempat sepi. Setelah menemukan tempat yang nyaman si betina langsung nungging dengan pasrahnya. “Busyet” pikirku. Ternyata lari bukan tidak mau, tapi mencari tempat sepi.

Setelah banyak membaca buku-buku psikologi saya bisa mengkajinya. Hipotesa saat ini, berarti perempuan saat mengatakan “tidak” kepada laki-laki untuk diajak kencan, bukan berarti “kata mati”. Bisa saja karena belum menemukan tempat yang cocok. Si laki-laki berarti harus mengerti untuk berusaha menggiring ke tempat-tempat romantis. Setelah tempatnya cocok, sepertinya tidak usah bersusah payah lagi, tunggu saja reaksi si wanita. (Maaf saya tidak berani mengatakan si wanita akan nungging).

Hipotesa ini sangat beralasan. Sudah banyak kasus-kasus perselingkuhan. Bahkan, dilakukan terang-terangan kepada mereka yang sudah berkeluarga. Wah…sangat banyak kasus, panjang ceritanya jika diulas di sini. Apakah karena itu ‘perempuan nakal’ diistilahkan “Ayam”? Pastinya, jika tidak ingin disebut “Ayam” jaga kemuliaan diri.




Selanjutnya......

Kamis, 18 Maret 2010

Syair Hati - Mahmud Syaltut Usfa

“Sang Pemuji Cinta”

Mata hati terus menatap langit-langit pikiranku
Resah bila cinta berlalu tanpa kata
Rindu ini berjalan tanpa suara
Hanya detak langkah mendekat ke hulu gelisah

Di sisi hati cinta berdiri begitu angkuh
Bagai nafsu menerjang kelelakianku

Aku bukanlah Qais yang mampu menjadikanmu Laila
Aku bukanlah Romeo yang sanggup mewujudkanmu Juliet
Namun, hati ini setahta dengan sang legenda cinta itu

Ambillah hati ini dengan senyummu
Sekalipun cinta tak terukir di hatimu
………..Sayat-sayatlah hati ini dengan senyummu
………..Mataku akan terus menatap dengan keihlasan

Hati ini sudah kuserahkan pada pemilik-Nya
Cinta ini sudah kulebur dengan kekasih-Nya

Rasa benci hambar merapat pada keindahan
Rasa duka menyebar terangkai senyuman

Cinta adalah sejarah
Tersusun indah dalam prosa hati
………..Bentangkan layar kehidupan
………..Agar sejarah cinta terus ada di nafas zaman




Selanjutnya......

Senin, 15 Maret 2010

Rasulullah Saja Sahabatnya Empat

(Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa)

Kira-kira setahun lalu seorang anak kecil yang masih duduk di kelas I SD bertanya pada saya “Berapa temannya di facebook?”. Saya jawab, hanya sedikit gak sampai 30. “Hah….sedikit sekali, saya saja punya teman lebih seratus.” Jawabnya dengan nada polos.

Saya berpikir sejenak…”Apa susahnya cari teman di facebook, jangankan ratusan, ribuan juga gampang saya dapat.” Pikirku dalam hati sambil senyum-senyum. Tapi apalah artinya ribuan teman jika semuanya hanya dari kuantitas. Di facebook kan lebih banyak teman nempel daripada yang benar-benar berisi secara kualitas. Ya…itu hanya sekadar analogi ringan saja. Toh kenyataannya teman-teman di luar yang tidak tercatat di facebook lebih banyak.

Tentu kuantitas teman di facebook tidak bisa disamakan dengan sisi kualitas teman di pergaulan sehari-hari. Artinya, bukan berarti yang memiliki teman sedikit di facebook tidak pandai bergaul sehingga relasinya sedikit. Contoh ringan saja, dari sekian banyak saudara kandung, keponakan, sepupu, hanya sekitar 8 saja yang suka main facebook.

Pernah ada teman tanya juga sama saya “Sahabatmu pasti banyak, kan pergaulanmu luas.” Jujur saja, saya bingung menjawabnya. Dengan kata lain, saya tidak memiliki sahabat. Tapi kalau teman-teman berjubel. Mereka sangat baik, tidak pernah ada masalah serius. Teman-teman saya hampir dari berbagai lapisan masyarakat. Itu pun wajar-wajar saja karena saya pernah jadi jurnalis. Begitu juga kegiatan sehari-hari yang beragam membuat saya banyak kenalan. Mulai aktifitas di praktisi pendidikan, psikologi, musik, menulis, LSM dan lain-lain. Saya rasa semua orang juga sama, bahkan lebih, kecuali yang memang malas berinteraksi.

Kembali ke persoalan sahabat. Sempat membuat saya mikir-mikir “siapa ya sahabat saya? Pacar saja belum seratus persen bisa dijadikan sahabat.” Begitu pikiran saya saat itu. Tapi setelah dipikir-pikir Rasulullah saja yang begitu dicintai ummatnya, bahkan disegani musuh-musuhnya karena ahlaknya sangat luar biasa, ternyata sahabatnya hanya empat orang. Yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja sahabat-sahabat lainnya yang tidak sering kita dengar juga banyak. Begitu juga tokoh-tokoh dunia yang banyak ‘dikerumuni’ para relasi, ternyata sahabatnya juga bisa dihitung jari. Pimikiran itu yang membuat saya tenang.

Memang benar kata orang-orang, sahabat tidak sama dengan teman. Mencari teman sangat gampang apalagi saat kita senang dan sedang dibutuhkan. Tapi begitu kita susah, terpuruk, teman pada menghindar. Dalam perspektif psikologi sendiri dikatakan cinta sejati itu ada apabila sudah sampai kepada titik persahabatan. Suami istri belum mencapai cinta sejati jika belum sampai ke ruang cinta persahabatan.

Carilah teman sebanyak-banyaknya. Belajarlah terus memahami dengan cara menjadi pendengar yang baik. Jangan menoleh ke belakang saat berbuat baik agar keihlasan selalu menemani. Berusahalah untuk menjadi pemaaf dan pemberi maaf.

Dalam pergaulan merupakan hal yang lumrah jika terjadi perselisihan. Kata pepatah Melayu “Sepandai-pandainya lidah menguyah akan tergigit juga”. Redam sekuat-kuatnya jika terbesit rasa dendam. Teman selalu berarti. Kenanglah kebaikannya, buanglah prasangka negatif agar hati selalu lapang menerima segala fenomena pertemanan. Insya Allah kita bisa menemukan sahabat. Hal terberat yang saya rasakan, jika harus kehilangan teman di saat hati gelisah menunggu jawaban.





Selanjutnya......

Sabtu, 13 Maret 2010

Syair Lara - Mahmud Syaltut Usfa

KESAKSIAN HATI

Aku mendengar suara jiwa yang terluka
Menjerit syahdu di antara celah-celah pengharapan
Batinnya mulai galau menatap kebenaran

Luka…
Luka…
Ada lagi tentang luka..


Aku..
Mencoba memanah rembulan
Ketika matahari tersungkur di kelopak mata bumi

Ada sangsi yang harus dibangunkan
Di saat hati masih menunggu bening

Dia…
Hati beningnya harus keruh menunggu gelisah berlalu

Aku..
Terpanah menatap mata batinnya yang begitu kokoh
Kucoba mengumpulkan serpihan lara
Biarlah air mata menjadi perekat di hening hati
Agar duka tersingkir berganti rangkaian prosa hati

Kebenaran harus dikabarkan
Agar hati menjadi saksi
Sampai rembulan berjalan terang menuju ufuk hati




Selanjutnya......

Cantik Seharusnya Praktis

(Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Bung Karno adalah sosok yang selalu terang-terangan mengagumi kecantikan wanita. Jika lagi sakit, dirinya minta dirawat oleh perawat yang berwajah cantik. Alasannya, mensugesti dirinya cepat sembuh. Dia tidak hanya mengagumi kecantikan wanita dari segi lahir saja, namun juga dari sisi batin. Kagum di sini karena Bung Karno memandang perempuan sebagai sosok sempurna. Tak heran kalau akhirnya dia menulis buku Sarinah yang diambil dari figur pembantunya.

Jadi teringat cerita dosen saya. Ketika itu dia masih kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM). Pada saat acara peresmian UGM, langsung dipimpin oleh Bung Karno. Ketika mau menggunting pita, Bung Karno melihat wanita cantik (dosen) yang juga panitia di situ. Bung Karno berhenti sejenak dan memandang wanita tersebut. Kemudian dia bertanya “Siapa wanita itu?”. Tentu saja para panitia dan tamu di situ merasa kikuk, khususnya si wanita cantik itu.

Kamudian rektornya menjelaskan ke Bung Karno kalau wanita cantik itu adalah dosen di UGM dan suaminya juga dosen di situ. “Wah kebetulan, mana suaminya?” kata Bung Karno. Suami wanita itu langsung memperkenalkan diri ke Bung Karno. “Maaf, bolehkah saya berbicara sebentar dengan istri Anda?” tanyanya minta izin. “Baik pak presiden silahkan.” Jawab suaminya. Setelah mendapat izin, langsung Bung Karno menghampiri wanita cantik itu. Ternyata Bung Karno hanya berbicara sebentar dan bertanya biasa-biasa saja. Setelah itu dia merasa senang dan langsung melanjutkan pengguntingan pita.

Lain lagi dengan WS. Rendra. Dia sangat terinspirasi menulis puisi ketika melihat wanita cantik. Hal ini juga diakui mantan istrinya, Rr. Sito Resmi Prabuningrat. “Kalau melihat wanita cantik dia sangat terinspirasi menulis puisi, istri-istri dia semua dapat puisi, kecuali saya.” Ujar perempuan cantik itu saat wawancara dengan Metro TV ketika WS. Rendra meninggal.

Kalau Anda bertanya pada saya “apakah saya suka wanita cantik? “ Jawabnya sudah pasti tahu semua “Iya”. “Apakah perempuan cantik mampu mensugesti saya layaknya yang dialami Bung Karno?” Saya juga akan menjawab “Iya”. Apakah puisi-puisi saya juga terinspirasi oleh wanita-wanita cantik, seperti WS. Rendra?”. Jujur, dengan tegas saya katakan “Iya”.

Mungkin, saya memiliki sudut pandang berbeda dengan dua tokoh yang saya kagumi itu. Pandangan saya, perempuan cantik itu “praktis”. Orang cantik seharusnya praktis !!. Karena, sekali pun bangun tidur terus cuci muka, pakai daster, pergi ke pasar akan tetap cantik. Tidak perlu repot-repot wajahnya dipoles make up. Seharusnya begitu. Bahkan, tidak perlu repot-repot memakai pakaian mahal. Karena memakai pakaian seadanya juga akan tetap cantik kok.

Tapi, ada juga perempuan cantik malah tidak praktis? Nah, perempuan cantik jenis itu sangat kasihan. Seharusnya hidupnya praktis malah berubah menjadi rumit. Coba saja bayangkan, bangun tidur langsung bercermin, mau mandi bercermin dulu, saat mandi juga masih sempat bercermin, setelah mandi (apalagi) langsung menyodorkan wajahnya ke cermin, mau keluar rumah lagi-lagi harus bercermin. Ah…rumit sekali, padahal wajahnya itu-itu juga !!.

Belum lagi harus dandan, wajahnya dipoles mak up sana-sini dengan berbagai aneka corak dan merk. Huh…sangat rumit !! Masih ditambah balutan pakaian di tubuhnya. Memakai yang serasi dengan dandanan make up-nya. Memilih pakaian masih harus “cerewet”, alasannya menserasikan dengan bentuk tubuhnya. Aduh…rumit sekali !!. Seharusnya yang rumit itu bagi wanita yang kurang beruntung punya wajah cantik.

Sama halnya dengan orang kaya. Sebenarnya kekayaan untuk membuat hidupnya lebih praktis. Iya, orang kaya seharusnya hidupnya praktis. Mau jalan-jalan tinggal pesan tiket saja langsung berangkat. Keluar rumah tidak khawatir kepanasan dan kehujanan karena ada mobil. Jika ingin makan enak juga tinggal pesan bisa langsung diantar. Mau shoping tinggal tunjuk saja sesuai selera. Dan seabrek kepraktisan lainnya.

Malah yang kasihan itu jika ada orang kaya tapi hidupnya tidak praktis!! Mau makan enak saja harus rumit karena terlalu banyak hitung-hitungan. Punya mobil mewah tapi merasa sayang dipakai kuatir kotor. Tidur harus nahan-nahan kepanasan karena kalau pakai AC takut rekening listrik membengkak. Wah…mendingan gak usah kaya kalau hidupnya harus rumit. Hidup praktis bukan berarti harus boros, tapi justru memudahkan dari kelebihan yang kita miliki.

Begitu juga jika kita diberi kelebihan kepandaian atau ilmu pengetahuan. Juga seharusnya membuat praktis dalam menjalani kehidupan. Sangat kasihan jika orang pandai justru membuat hidupnya rumit. Semoga kita mampu menikmati kehidupan dengan segala kelebihannya secara praktis. Kalau bisa dibuat praktis kenapa harus menjadi rumit.





Selanjutnya......

Kejujuran Kunci Ketenangan Hidup

Opini Batam Pos, 5 Maret 2010

(Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW)
Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Bulan Februari ini bertepatan dengan bulan kelahiran Rasulullah (Maulid Nabi). Seluruh Ummat Islam menyambut suka cita. Bukan sekadar disambut dengan aktifitas seremonial. Melainkan sebagai refleksi akan kemuliaan ahlak, sifat, pribadi, dan ajarannya sebagai rahmatan lil- alamin.

Salah satu gelar terbesar Nabi Muhammad SAW adalah Al-Amin. Kenapa Nabiyullah bergelar Al-Amin? Sosok yang sangat tepercaya. Nabi Muhammad diberi predikat al-amin jauh sebelum diangkat sebagai Rasul, ketika berhasil mempersatukan elite dan kabilah Quraisy yang berselisih tatkala membangun Ka'bah. Putra Abdullah bin Abdul Muthalib itu telah menjadi figur baru yang memberikan harapan cerah bagi masyarakat Arab. Kendati sebelumnya harus berhadapan dengannya karena membawa agama baru, Islam.

Sejarah akhirnya mencatat, dengan sifat al-amin dan risalah kenabiannya, Muhammad berhasil membebaskan dan mencerahkan seluruh masyarakat di jazirah Arabia, sekaligus menjadi sosok panutan seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Nabi kekasih Tuhan ini benar-benar menjadi pribadi dan pemimpin dunia yang memancarkan uswah hasanah. Lebih dari itu, Muhammad SAW bahkan telah menorehkan Islam sebagai agama rahmatan lil-'alamin. Pembawa agama rahmat bagi semesta alam.

Kita akan menjadi sosok dipercaya apabila “berani” jujur. Maaf, sengaja ditegaskan dengan kata “berani”. Karena pada kenyataannya, banyak di antara kita yang takut jujur. Jujur kerap disalah artikan sebagai sosok yang lugu. Dan orang lugu cendrung dipresentasikan gampang ditipu. Padahal, lahirnya suatu kepercayaan dikarenakan adanya kejujuran yang ditunjukkan secara konsisten dan terus menerus.

“Aduh, kalau jujur susah cari kerja” kalimat itu sering terdengar di sekeliling kita. Padahal, justru perusahaan dan instansi banyak yang bingung mencari orang jujur untuk dijadikan karyawan. Lebih miris lagi memasyarakatnya istilah “Kalau jujur susah cari makan”. Sangat terlalu mengada-ada!!

Hiruk pikuk lingkungan dan budaya yang penuh kepalsuan, kedustaan, kemunafikan membuat orang menjadi berat menjadi jujur. Padahal kejujuran tidak hanya mencerminkan integritas kepribadian seseorang, tetapi juga menjadi pesona bagi sesama dan mengundang datangnya ketenangan bagi pelakunya.

Kejujuran adalah kunci keberhasilan. Tidak hanya itu, kejujuran merupakan kunci tetenangan hidup !! Salah satu dari sekian sifat dan moral utama seorang manusia adalah kejujuran. Karena kejujuran merupakan dasar fundamental dalam membangun pribadi dan jati diri yang kokoh.

Kejujuran yang dicontohkan Rasulullah bukan sekadar jujur secara situasional. Sudah jelas berbohong adalah dosa. Melainkan juga bagaimana memiliki mental jujur total dari berbagai aspek kehidupan yang dihadapi. Baik pada masa lalu, saat ini, dan yang akan datang.

Jika hanya kejujuran situasional rasanya gampang dilakukan selagi tidak berbuat kesalahan. Misalnya, ketika seorang pejabat ditanya megapa berambisi menjadi pejabat. Bisa saja dia berdalih “Karena ingin mengabdi untuk rakyat”. Anggap saja dia jujur, tapi apakah pada saat tidak memegang jabatan kelak bisakah jujur menerima keadaannya?.

Ketidak siapan mental tersebut yang membuat orang tidak berani jujur. Sehingga muncul kondisi-kondisi psikologis, seperti kecemasan, pos power sindrom, deperesi, stress dan sebagainya. Orang yang takut jujur tidak akan siap menerima transformasi mental. Terkait dengan hal tersebut Rasulullah mengingatkan secara tak langsung. Tak perlu terjerumus pada love of power apalagi ta'bid 'an siyasiyah: cinta kuasa dan menghambakan diri pada hasrat kuasa melebihi takaran. Bila perlu minimalisasi dan nihilkan hasrat kuasa itu hingga ke titik zero.

Tidak berani jujur membuat kehidupan orang rumit. Mentalnya merasa dihantui perasaan takut. Contoh sepele, banyak pemimpin yang merasa takut karena anak buahnya dinilai lebih pandai. Padahal, apa susahnya jujur mengatakan “Maaf, Anda dalam hal ini lebih paham dari saya”. Karena takut jujur, akhirnya sibuk jaga imej, mencari kesalahan anak buah, bahkan, niat untuk menyingkirkan. Sikap seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ada orang yang berani jujur secara situasional, tapi justru takut jujur secara mental. Misalnya tentang masa lalunya, kondisi keluarganya, dan sebagainya. Selagi tidak berani jujur, maka perasaan tersebut akan terus dibawa ke mana pun. Pikirannya selalu tidak tenang dan mental pun akan tersiksa, akibatnya akan menutup diri.

Kondisi sederhana, kita juga sering bertemu dengan orang-orang yang takut jujur dengan usianya. Ketika ditanya berapa usianya, jawabannya malah “diplomatis”. “Ah…masa gak bisa ngira-ngira, kurang lebih 30-an lah”. Lho, bukankah tanggal, bulan, tahun, bahkan detik kalahiran sudah pasti? kenapa harus menjadi rumit? Jelas karena mentalnya tidak berani jujur. Bagi yang takut jujur, siaplah-siaplah tidak tenang.

Saat kita berbohong gampang diketahui orang lain. Tetapi tidak berani jujur dengan diri sendiri, Anda lah yang lebih tahu. Dalam sebuah hadis ditegaskan: Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan, akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong (kadzdzab). (H.R. Bukhari).

Dalam siratan hadits-hadits Rasulullah SAW akan kita dapatkan petuah tentang betapa berartinya makna sebuah kejujuran. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk meninggalkan apa yang kita ragukan dan mengerjakan apa yang kita yakini. Dan bahwasanya kejujuran itu akan menimbulkan ketenangan jiwa sedangkan dusta selalu saja membuat jiwa pelakunya bimbang dan goncang.

Maka tidak aneh bila kita sering menjumpai orang yang memiliki harta benda; kekayaan yang melimpah namun sangat disayang ia tidak pernah menemui kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Hal ini boleh jadi dikarenakan harta benda yang melimpah ruah itu dihasilkan dari jalan yang tidak benar atau dari hasil ketidak-jujurannya.

Ada satu akhlaq yang sangat mendasar di dalam Islam yaitu As Siddqi (jujur), lawannya adalah al kadzibu (dusta atau bohong). Akhlaq dasar yang paling minimal yang kita miliki yang mengatakan aku beriman kepada Allah adalah jujur.

Munculnya Ego Divent Mekanisme (Pembelaan Ego) lahir dari rasa cemas. Sedangkan kecemasan itu sendiri disebabkan takut jujur pada dirinya sendiri. Rasulullah mengajarkan jujur secara total. Melalui kemuliaan ahlaknya beliau membangun nilai-niali kejujuran kepada umat manusia.

Jujur secara total bermakna menemukan titik keihlasan dari segala kondisi diri selama perjalanan hidupnya. Semoga Allah selalu membukaan pintu keihlasan dalam menerima segala perkara diri kita. Rasulullah melalui tuntutan ahlaknya membentuk kita menjadi pribadi yang jujur. ***






Selanjutnya......

Sekadar Mengusir Gelisah

WAJAH INDONESIA

Wahai jiwa-jiwa Indonesia berkumpullah
Bangsa kita sedang sekarat
Kocar-kacir diseret ambisi
Harga diri dipancung

Nasionalisme tai kucing
Kebangsaan air kencing
Demokrasi komat-kamit
Reformasi amit-amit

Berlarilah mencari kemerdekaan jiwa
Karena kemerdekaan adalah hak segala jiwa
Indonesia hanya tumpukan batu karang
Tak cocok bagi jiwa-jiwa lembut seperti kita



BUKAN PENYAIR

Para birokrat asyik bercengkrama di pentas rakyat
Pikirannya angin
Kata-katanya debu
Menebar pesona fatamorgana

Jilat saja kalimat-kalimat itu
Kami tidak butuh rangkaian kata-kata
Buanglah bersama sampah kemunafikan






Selanjutnya......

Menghitung Detik Perubahan

(Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa)

“Sang waktu akan terus menyeka perjalanan detik, perjuangan adalah kisah mengisi detik kehidupan. Nikmati kebahagiaan itu sebelum detik berlalu ke ujung risau”

Dari pandangan filsafat berpendapat “Dalam kehidupan tidak ada yang abadi, kecuali perubahan”. Tepat sekali, hidup adalah gerak perubahan. Eksistensi kita akan mati tanpa adanya perubahan. Benturan masalah membuat hati kita tegar menerima perubahan. Kadang berubah maju, tapi juga bisa bergerak pada kemunduran.

Kita berdiri di tubuh dunia dalam lingkaran perubahan. Baik perubahan dalam wujud aktifitas, maupun perubahan pikiran serta perasaan. Belum lagi yang berkaitan dengan hati, sangat cepat perubahan itu datang.

“Gelisah dalam detik
Detik dalam tubuh gelisah
Merangkak meraih ketenangan
Bersimpuh menatap harapan
Meratap pada masa lalu”

Dalam kehidupan kita setiap detik hanya menghitung perubahan. Pengendalinya adalah perasaan. Pada detik ini merasa bahagia, tapi pada detik berikutunya bisa saja merasa sakit hati. Saat ini hati merasakan jatuh cinta, namun, pada saat selanjutnya cinta sudah pergi. Begitu terus berputar sampai saatnya semuanya sirna ditelan usia.

Jangan harap kita bisa menggenggam perasaan bahagia selamanya. Dalam hitungan detik perasaan sendiri yang merenggutnya. Perputaran poros bumi mengubah poros kehidupan kita. Di dalamnya ada nilai takdir mewarnainya. Terkadang takdir ada di titik posesif. Padahal, eksistensinya sudah begitu tegas dalam kendali di titik Arasy.

“Kita berdiri di lingkaran takdir
Bergerak di antara kubangan nasib

Berjalan menuju yang terhapus
Tinggalkan jejak menjemput fatamorgana baru”

Detik ini di manakah lingkaran perasaan kita berada? Suka atau duka? Biarlah berjalan seiring dengan porosnya. Hati akan lebih tenang jika menyambut dengan ihlas setiap perputaran rasa.






Selanjutnya......

Kata-Kata tak Terbelenggu

Esai Mahmud Syaltut Usfa (Telah dimuat di Batam Pos, Minggu 8 Februari 2010)

“Aku berdiri atas nama kata-kata
Berbaris di garis depan nurani
Berteriak pada hati
Memeras kegelisahan
Sekali pun tirani menyeret lidahku”

Sepenggal syair yang saya buat di atas hanyalah salah satu luapan ekspresi jiwa, betapa mendalam kata-kata memaknai suara hati.

Sungguh luar biasa kekuatan kata-kata dalam suatu syair. Lembut tapi deras mengalir bagai air, menyebar bagai debu yang siap menerjang ke seantero jagad publik. Pada zaman Orde Baru penyair masih dipandang sebagai “duri” yang banyak mengkritik pemerintah. Banyak penyair yang dibungkam karya-karyanya. Bahkan, mereka harus siap dijebloskan ke penjara. Tak heran kalau akhirnya muncul penyair-penyair idealis, berani, dan bersuara jujur dari hati nuraninya. Bagi yang tidak berani, harus ihlas mengubur karya-karyanya.

Kekuatan tulisan mereka lahir dari hati nurani, bukan sekadar berlandaskan emosional. Juga bukan lahir dari sebuah konspirasi untuk menzalimi penguasa. Idealis kokohnya bersumber pada keteguhan hati. Syair memang subjektif namun objektif dalam memotret realitas.

Penguasa yang merasa “diusik” sangat geram, karena para penyair idealis dinilai terlalu lancang dan banyak mulut. Berbagai cara dilakukan untuk membungkam “celotehan” syairnya. Misalnya menawarkan harta serta kedudukan. Jika bergaining tidak mempan, ujungnya adalah rekayasa pembunuhan.

Praktik pembunuhan kepada para panyair sering kita dengar. Misalnya, pada masa Orde Baru menimpa penyair Wiji Thukul dari Solo yang hilang tak tentu rimbanya. Almarhum WS Rendra juga langganan berurusan dengan tirani penguasa.

Teror terhadap para penulis dan penyair memperlihatkan kekuatan kata yang tidak bisa diremehkan. Kata dalam kehidupan yang oleh Napoleon Bonaparte pernah disebut sebagai lebih berbahaya daripada bedil. Tidak hanya di Indonesia, praktek begini pun juga terjadi di berbagai negara. Misalnya, penikaman di tengah siang bolong terhadap sastrawan Naguib Mahfouzdi di sebuah jalan Kairo ketika sedang kembali ke rumahnya.

Kekuatan sastra dan kata juga kembali menampakkan diri ketika misi delapan penulis ke daerah otonom ditahan oleh pemerintah Israel. Ketika pengarang Portugis, Saramago, yang turut dalam delegasi tersebut membandingkan Ramallah dengan Auschwitz, pernyataan yang kemudian dikenal dengan "Peristiwa Saramago".

Kekuatan kata dan sastra ini pun nampak dari pembunuhan Cak Durasim, pemain ludruk dari Surabaya oleh pemerintah militerisme Jepang pada masa Perang Dunia II karena ucapan seniman ludruk itu:
"pagupon umahe doro/melu nippon tambah sengsoro". (Ikut Jepang tambah sengsara)

Kejadian-kejadian di atas menunjukkan besarnya pengaruh kata dan sastra. Pada saat ini hampir tidak pernah terdengar kekuatan syair yang “menggigit kuping” pemerintah. Sejak terbukanya pintu reformasi terkesan kritikan penyair sudah tumpul. “Kalau hanya mengkritik pemerintah tak perlu suara penyair, tukang becak saja berani” begitu sindiran masyarakat saat ini.

Kelahiran reformasi membuat para penyair ibarat burung perkutut yang dilepas dari sangkarnya. Ketika masih dalam kandang suaranya dipuji habis-habisan. Sangkarnya terjaga, tubuhnya dirawat, dan makanannya diperhatikan. Tidak perlu susah-susah cari makan, hanya modal suara merdu dijamin dieluk-elukkan, dimanjakan sang majikan.

Tapi begitu pintu kebebasan dibuka lebar-lebar, suaranya sudah tak semerdu dulu lagi. Sama saja dengan burung-burung lainnya. Tidak ada yang menyanjung, tepukan gempita sudah tak terdengar lagi. Jangan harap makanan akan dihantar, silahkan cari sendiri di tengah luasnya hutan.

Sekarang rangkaian kata-kata hanya sebuah seni. Pejabat yang dulu sering dikritik, malah sekarang juga asyik membuat syair tentang keadilan. Era sudah berubah !! Begitu pandangan yang paling tepat saat ini. Para penyair perlu mengorganisasi diri, agar syair menjadi lebih efektif lagi dalam menciptakan pendapat umum yang bebas. Dari sini kita perlu melihat peranan seniman yang berdaulat di hadapan kekuasaan mana pun.

Kita tentu sangat sepakat “Syair bukan hanya soal kritik”. Namun, sebagai seniman pastinya memiliki kepakaan dalam memotret realitas kehidupan. Juga tidak hanya memotret kebijakan pemerintah yang salah kaprah, tapi juga memotret tentang cinta, jiwa, serta seluk beluk hati manusia.

Syair bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Ada kekuatan yang bersumber dari kesucian hati. Kejujuran adalah modal pokok. Syair tetaplah kata-kata dahsyat. Tidak akan lenyap dari peredaran zaman apa pun. ***







Selanjutnya......

Teguran Tanda Perhatian

(Catatan Muhasabah Mahmud Syaltut Usfa)

Setiap shalat jum’at saya memiliki kebiasaan berinfaq melalui kotak amal. Hari Jum’at kemarin (12 Februari 2010) agak berbeda. Uang di dompet paling kecil nominal Rp. 20.000. Wah, pada saat itu rasanya berat mengeluarkan nilai segitu. Karena memang lagi dibutuhkan. Tapi karena gak ada lagi, akhirnya dipaksakan ihlas.


Jujur, agak berat dalam keadaan butuh harus berinfaq dengan nila agak besar. Maunya jumlah kecil tapi ihlas. Harapannya lagi, biar kecil asal bisa ke surga. Ah…Itu sih sudah jadi lelucon basi. Karena terdesak akhirnya berlaku juga sebagi pembelaan diri saya.

Sudah dipaksakan agar ihlas ! ihlas ! dan ihlas ! Begitu kotak infaq sampai pada giliran saya langsung uang Rp. 20.000 diceburkan ‘plung !!’ “Hah…lega, toh nanti Allah akan mengganti berlipat ganda kok!!” pikirku.

Usai shalat jum’at langsung ke tempat kerja. Di situlah cikal bakal duitku harus melorot secara estafet. Pertama, begitu sampai di kantor, teman langsung menyodorkan celana Levis 501 minta tolong agar dibeli. Harganya Rp. 650.000. Gila !! untuk apa saya membeli celana harga mahal seperti itu. Apalagi saya gak begitu ‘nafsu’ pada mode. Dalam hal berpakaian saya termasuk laki-laki yang suka berpakaian simple-simple dan sederhana saja. Apa adanya, yang penting nyaman dipakai badan sudah cukup !! Tapi, karena teman minta tolong, akhirnya saya beli juga.

Pulang dari kantor, di tengah perjalanan tiba-tiba ban motor saya bocor. Dibawa ke bengkel dan ditambal. Alhamdulillah selamat bisa pulang. Tapi, selang satu hari ban motor bocor lagi. Setelah dibawa ke tambal ban ternyata yang baru ditambal kemarin bocor parah. Gara-garanya, tukang tambal di bengkel kemarin salah bahan tambalannya. Tarpaksa harus ganti ban baru. Sorenya, saya cuci motor ke tempat cucian langganan. Begitu selesai, langsung saya bayar harga biasa Rp. 6000. Ternyata harganya sudah naik menjadi Rp. 7000.

“Hah…saya kan sudah berinfaq lebih, kok ada saja yang membuat duit keluar, pasti Allah ada maksud lain untuk kebaikan saya.” Begitu yang terus menerus saya pikirkan.

Pada Hari Senin (15 Februari 2010) saya masuk kerja seperti biasa. Pakaian agak kusut karena dari siang hingga tengah malam disimpan di jok motor. Saya biasa mencuci pakain di tempat adik di Batam Center. Pakaian yang sudah kering langsung dibawa pulang. Biasanya disimpan di jok motor. Tak heran, begitu sampai di rumah menjadi kusut. Apalagi pada Malam Senin itu saya manggung (main band) mulai siang hingga malam.

Pagi-pagi pakaian tersebut harus dipakai. Benar-benar terlihat kusut. Untung teman-teman kerja sangat perhatian dan sangat baik pada saya. Mereka sudah sangat akrab, karena saya selalu berusaha tidak membuat jarak. Salah satu dari teman memanggil saya. “Pak, maaf pakaiannya kok kusut, gak disetrika ya..?” tanyanya dengan pandangan perhatian. “Oo…kusut ya? Dari siang sampai malam pakaian ini disimpan di jok motor, malam-malam baru nyampai rumah jadi gak memperhatikan.” Jawabu dengan nada berterima kasih.

Begitu sampai rumah, pakaian-pakaian yang sudah rapi saya setrika lagi. Sekarang seluruh pakaian-pakaian di lemari sangat rapi, licin, dan tidak kusut lagi. Insya Allah saya akan terus lebih memperhatikan.

Alhamdulillah, ternyata teguran teman tersebut merupakan bentuk perhatian untuk kebaikan saya. Teguran membuat makin sadar dan berubah ke arah lebih baik lagi. “Terima kasih atas perhatiannya.” Ucapku sambail senyum-senyum.

Akhirnya saya berpikir, mungkin Allah juga menegur karena merasa sayang. Agar saat berinfaq harus lebih ihlas lagi. Dengan berbagai rentetan kejadian yang harus mengeluarkan duit, bisa saja bermakna merapikan hati saya dari rasa ihlas. Siapa tahu hati saya sekarang sudah tidak kusut, sudah rapi, serta licin seperti pakaian di lamari, insya Allah.





Selanjutnya......

Ketika Sang Malam Menyandarkan Cinta

(Catatan Hati Mahmud Syaltut Usfa)

Cinta mengisahkan sejuta suka. Tapi, sejuta luka juga kerap mengiris hati. Tatapan cinta seruncing busur panah Rahwana, dan setajam pedang Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Bila kebahagiaan menghampiri membuat jiwa mabuk kepayang. Terkadang diri harus disingkirkan. Sebaliknya, ketika hati terluka, diri terasa hina bagai sampah terbuang di mata dunia.

“Datanglah untuk tidak terbuang
Malang hati di ambang sengsara
Tak elok membuang rasa saat hati teriris
Cinta memuliakan diri, bukan menistakan”

Banyak kisah cinta yang sudah melegenda di dunia. Sebut saja kisah Qais dan Laila, Sampek Engtay, Romeo & Juliet, dan seabrek kisah romantis lainnya. Belum lagi yang datang pada zaman berbeda. Semua kisahnya adalah legenda lara hati dalam perjalanannya. Sementara yang berujung bahagia kadang luput dari legenda zaman.

Cinta tak akan binasa sekalipun zaman berubah warna. Kesetiaan adalah kunci hidupnya cinta. Allah yang mendatangkan cinta sebagai mawaddah werahmah. Kita sebagai hamba wajib menjaga keluhuran cinta.

“Wahai yang Maha Pengasih
Raja Diraja Para Pecinta
Engkau yang menganugerahkan cinta
Aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja “Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa, sehingga, sekali pun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.”

Cinta adalah proses. Butuh ketegasan mengungkapkannya. Berbelit-belitnya cinta karena kuatnya unsur subjektif. Sekalipun tanda-tanda sudah sangat jelas, tetap saja hati risau mengungkapkan dengan kata tegas. Apa sih susahnya mengatakan “Aku cinta padamu”. Kita hanya menunggu jawaban “Iya” atau “Tidak” maka semua akan selesai. Karena cinta adalah kesepakatan. Tapi nyatanya tak semudah itu!! Justru prosesnya yang membuat perjalanan cinta menjadi indah, walau harus rumit.

“Saat cinta datang siapkan pedang di sayapnya agar bisa menghunus kegelisahan”

Dimulai dari rasa. Bisa pandangan, sikap, rasa simpati, pertemanan, atau bermula secara kebetulan. Bermacam latar belakang bisa melahirkan rasa cinta. Selanjutnya muncul getaran hati. Kadang mata tak melihat tapi hatinya menatap. Telinga bagai tak mendengar tapi hatinya menyimak.

“Getaran itu bukan nada hati biasa
Menjalar guncangkan rasa
Hati berdetak teramat dahsyat
Lidah membisu terkunci perasaan
Hanya hati yang berjalan menuntun gelisah”

Cinta ada manakala kejujuran tersadar. Saat hadir serahkan pada logika untuk meluruskan perasaan. Jika tidak segera diluruskan, siap-siaplah kehilangan kesempatan. Cinta butuh ketegasan, tidak bisa terus menerus menyimpannya dalam terangnya hati. Bisa-bisa semua yang terang akan kembali ke ruang gelap.

Betapa berat memulai jika perasaan terus menerus menghitung logika. Terbukalah!! tak perlu menjaga gengsi siapa yang harus memulai. Bermain kata-kata hanya akan menghambarkan perasaan cinta. Apalagi hanya berharap dari permainan kata.

“Saat kata-kata berbaring di antara tumpukan harapan
Hati tak henti-hentinya mengelus kesabaran

Syairku sudah berlabuh di ujung do’a
Mungkin saja sudah terhempas diterjang risau

Entah di mana nadanya
Mungkin saja pergi bersama gelisah”

Apalah artinya cinta itu hadir jika harus disembunyikan di ruang kegelapan. Padahal di ruang hati sangat benderang menyambut datangnya kebahagiaan. Kegelisahan dan menyembunyikan kejujuran adalah sebuah penyiksaan hati. Takdir terkadang harus disalahkan karena dipandang tak berpihak pada hati. Padahal, jika hasrat tak mampu ditundukkan hati, akan menjadikan lupa akan hakikat hidup kita sendiri.

“Pada detik ini lidahku tak mampu mengucapkan “Aku jatuh cinta padamu” tapi pada detik kemarin qalbuku berulang-ulang berucap “Aku jatuh cinta padamu”.

Aku bukan Qais yang mampu menjadikanmu Laila. Aku bukan Romeo yang sanggup mewujudkanmu Juliet. Aku hanya laki-laki yang punya hati. Cinta bisa datang dan pergi kapan saja walau tak dikehendaki. Aku bukan Qais, juga bukan Romeo, tapi perasaan cintaku setahta dengan sang legenda cinta itu.






Selanjutnya......