Selasa, 25 Agustus 2009

Pandanglah Bakat Anak sebagai Potensi Hebat

Batam Pos, Selasa, 25 Agustus 2009

Mahmud Syaltut Usfa S.Psi (Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tahun pelajaran baru sudah dimulai. Siswa-siswi sudah memulai kegiatan belajar di sekolahnya masing-masing. Para orangtua pasti telah memilih sekolah yang terbaik bagi putra-putrinya. Di mana pun sekolah pilihannya, pasti sudah dipertimbangkan dengan matang.

Awal tahun pelajaran baru merupakan masa transformasi bagi anak yang baru selesai sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Dalam penyesuaian ini belum terlihat prestasi anak secara menonjol. Para orangtua juga belum disibukkan dengan hitung-hitungan nilai anaknya.

Setelah masa belajar satu semester, para orangtua sudah berpikir nilai akademis. Dan pertanyaan yang sering dilontarkan adalah “Ranking berapa anak saya?” Sebuah pertanyaan yang umum tentunya. Tapi sangat jarang orangtua, bahkan hampir tidak sempat bertanya kepada gurunya “Apakah bakat anak saya sudah berkembang?” atau minimal bertanya “Bakat apa yang dimiliki anak saya?”.

Mungkin saja karena berpikiran kalau bakat tidak begitu penting dibanding hasil prestasi belajar anak. Atau mungkin saja hasil prestasi belajar anak dipandang sebagai kualitas intelegensinya. Akibatnya bakat anak kerap terabaikan.

Pemikiran seperti itu hendaknya dihilangkan. Minimal, cobalah berpikir bahwa kedudukan bakat dan intelegensi seimbang dalam meraih keberhasilan masa depan anak. Bakat memiliki sumbangsih besar terhadap perkembangan intelegensi anak. Sementara faktor intelegensi tidak memberi pengaruh signifikan terhadap bakat.

Contoh sederhana, anak yang berbakat musik akan menjadi kreatif, inovatif, dan berpikir kontruktif, sehingga intelegensinya terasah. Sebaliknya, sekalipun anak tersebut intelegensinya tinggi tapi tidak memiliki bakat musik tetap saja tidak akan bisa bermain musik.

Maaf, bukan mengesampingkan faktor intelegensi. Melainkan menegaskan keterkaitan antara keduanya yang harus kita nilai seimbang sebagai potensi anak. Bakat lahir bersama genetikal anak. Hebatnya lagi, setiap anak pasti memiliki bakat. Dan yang unik, sekalipun bakatnya sama namun karakteristik kreatifitasnya bisa berbeda.

Tidak hanya itu, bakat sangat erat dengan kegiatan yang dapat menstimulasi otak kanan anak. Jika otak kiri diidentikkan dengan kecerdasan analitik seperti kemampuan matematis dan berpikir secara sistematis. Maka otak kanan biasa dikaitkan dengan kreativitas, misalnya kemampuan berkomunikasi dan seni.

Jika selama ini banyak orangtua yang memasukkan anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan ekstra kulikuler yang “berat” seperti bahasa Inggris, matematika. Ada baiknya juga memikirkan alternatif kegiatan yang dapat menstimulasi otak kanannya. Kadang satu minggu penuh mengikuti berbagai les, tanpa sekalipun mengikuti les pengembangan bakat.

Banyak orang-orang hebat di dunia yang berhasil karena dominasi bakatnya. Leonardo Da Vinci misalnya, dia anak jadah dari pengacara Florentina dengan gadis petani. Dia lahir pada tanggal 15 April 1452 di kota kecil yang bernama Vinci di dekat kota Florence. Bakatnya di bidang seni berkembang saat dia menjadi murid Andrea del Verrocchio yang merupakan pematung dan pelukis terkenal di Florence pada saat itu.

Begitu juga orangtua Shakesphere hanyalah penduduk biasa di kota Stratford-upon-Avon, Warwickshire. Ayahnya yang bernama John Shakesphere hanyalah seorang pedagang lokal, tapi Shakesphere sendiri mampu menjadi salah satu penulis drama dan penyair paling terkenal di dunia dan belum tertandingi sampai saat ini.

Dia menggunakan puisi dalam sejarah, tragedi, dan drama komedinya serta menulis 154 soneta. Ayah Ronald Reagen hanyalah seorang salesman sepatu yang tidak lulus SMU dan seorang pemabuk berat. Keberuntungan Reagen berubah saat dia mendapat beasiswa untuk sekolah di Eureka College karena kemampuan berolahraganya, biarpun dia harus bekerja mencuci piring agar tetap bisa makan. Ronald Reagen memulai karirnya bukan sebagai politikus tapi sebagai aktor Hollywood.

Ada salah satu contoh orang yang sangat berbakat, tapi dia berasal dari keturunan yang sangat jauh berbeda Dia adalah Srinivasa Ramanujan. Dia berasal dari India dari keluarga miskin di Madras dengan tubuh pendek dan gemuk.

Di sekolah, dia sangat pintar belajar aritmatika, tapi dia tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi hanya karena dia gagal dalam ujian bahasa Inggris. Meskipun demikian, dia mampu mengeksplorasi matematika sendirian hanya dengan mempelajari teks matematika yang merangkum bidang inti ilmu matematika.

Berutunglah orangtua yang mensekolahkan putra-putrinya di sekolah yang memberikan beberapa alternatif kegiatan ekskul pengembangan bakat. Karena potensi otak kanan bisa berkembang maksimal. Apalagi bagian otak kiri sudah banyak didapat anak dari pelajaran umum di sekolah.

Siswa-siswi yang hanya “dicecoki” dengan berbagai pelajaran di sekolah sangat sulit menjadi anak kreatif. Apalagi orangtua hanya sibuk menilai prestasi anak dari tingkat ranking. Akibatnya perkembangan otak kanan menjadi mandul. Sedangkan otak kiri terus menerus “di-push” dengan berbagai les-les berat dengan harapan meraih ranking, ranking dan lagi-lagi hanya ranking!!

Bisa saja, karena sekolah dan orangtua lebih mementingkan otak kiri inilah membuat negara kita tidak banyak memiliki anak-anak yang kreatif. Ini disebabkan otak kanan kurang dikembangkan secara optimal.

Di sinilah pentingnya peran sekolah dan orangtua memberi wadah kepada anak untuk perkembangan bakatnya. Marilah kita lihat potensi anak secara bijak. Sekecil apa pun bakat anak tetaplah sebagai potensi yang harus dihargai. Berilah mereka kesempatan seluas-luasnya agar segenap potensinya terus terasah, berkembang dan berprestasi. ***




Selanjutnya......