Jumat, 20 November 2009

Sajak Sufistik Mahmud Syaltut Usfa

"Ini Aku"

Ke sini…
Hantarkan jiwa itu padaku
Akan kupapah sampai ke tiang kematian

Tak perlu kau sentuh nafasku
Aku sedang mendekap luka
Aku masih berlari menjunjung hina

Sebaiknya kita satukan angan
Berlari menjauh dari luka meradang
Menerjang jiwa-jiwa yang pongah

Aku mohon,
Hantarkan jiwa itu padaku
Akan kudekap sampai ke titik keteduhan
Nyawaku sudah sampai di ujung langit
Jiwaku rindu berpetualang hingga tak tersentuh umur




"Mata Hati yang Memelas"

Catatan hati Mahmud Syaltut Usfa

Entah kenapa hari ini perasaanku meleleh
Sempat tercecer di sudut-sudut hati
Padahal lubang hati sudah tertutup cinta
Mata batin terasa sembab menangisi pujaan hati

Mata hatinya tajam karena selalu menatap mata tuhan
Air matanya tasbih, tahmid dan takbir
Sekujur pribadinya berselimut arrahman dan arrahim
Kata-katanya kalam ilahiyah

Keangkuhanku bergetar kencang
Menatap karisma di sudut matanya
Lidahku terkulai tak berdaya
Mendengar bait-bait suara batinnya

Kita bermula satu dalam senyawa jiwa
Bagai langit dan bumi dalam lingkaran Ars
Sang jiwa langit menunggu ketegasan akal
Berdoa mengurai harapan ke celah-celah takdir

Berdiri saja di sini
Terus saja
Tak perlu berlari
Istiqomah saja
Tak perlu berpikir
Menatap saja

Jangan gusar dengan liku-liku perjalanan hati
Cinta diciptakan untuk gelisah
Ihlaskan saja manakala batinku menatap
Agar kebahagiaan tersenyum menunggu ketegasan takdir




Selanjutnya......

Sabtu, 14 November 2009

Optimis Si Tokek Budek

Opini Batam Pos, Sabtu 30 Oktober 2009

Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Sekadar ilustrasi, pada suatu ketika di negeri binatang diadakan lomba panjat pinang khusus para tokek. Batang pinang dilumuri getah salah satu pohon yang licin. Lomba tersebut tak ubahnya ketika memperingati HUT RI.

Hanya bedanya, peraturannya para tokek tidak boleh bekerja sama ketika memanjat. Hadiah yang ditawarkan tak tanggung-tanggung yaitu sebuah rumah dan berbagai hadiah hiburan lainnya. Siapa yang duluan sampai ke puncak maka dialah pemenangnya. Jumlah peserta diikuti 25 ekor tokek yang datang dari segala penjuru negeri.

Ketika juri mulai meniup peluit sebagai tanda lomba dimulai. Ke 25 ekor tokek ini langsung berebut naik. Baru berlangsung beberapa menit, sudah beberapa tokek yang tergelincir jatuh. Penonton juga mulai meneriaki dengan nada-nada pesimis dan cemoohan.

Nah, pada saat itu para peserta sudah mulai ciut hatinya. Rasa semangatnya sudah mulai luntur. Banyak yang putus asa karena tak tahan mendengar cemoohoan bernada pesimis. Hanya beberapa penonton saja yang memotivasi, Namu lebih banyak yang mencerca dan sok mengatur. Biasa, dalam posisi ini penonton jauh lebih hebat dari pemain sendiri.

Waktu terus berjalan. Sudah banyak peserta tereleminasi karena sudah jatuh bangun sebanyak tiga kali. Akhirnya tinggal enam tokek yang masih berjuang menuju puncak. Anehnya, penonton bukan memotivasi, malah sebaliknya meneriaki dengan kata-kata yang menciutkan hati para peserta. “Mana mungkin bisa mencapai puncak, sudah lah menyerah saja.” demikian rata-rata teriakan para penonton.

Ada juga yang meneriaki “Sudahlah turun saja, jangan gara-gara iming-iming rumah kau korbankan sesuatu yang tak mungkin.” Bahkan, ada tokek senior juga ikut-ikutan berkomentar sinis “Alah....buang-buang waktu saja, dulu saya saja gak berhasil.” ujarnya setengah berteriak.

Mendengar teriakan-teriakan yang bernada miring tersebut, satu persatu motivasi si tokek runtuh. Daya juang mereka semakin melorot. Dan akhirnya, satu persatu tereleminasi. Melihat kondisi demikian, penonton makin lantang berteriak. Tapi perlombaan belum selesai. Dari enam peserta, sebanyak lima tokek harus gugur.

Tinggal satu tokek yang masih memanjat dengan mantap. Melihat hal itu, penonton kembali bersorak dan mencemooh si tokek. ”Alah sok pahlawan, turun saja gak mungkin bisa kau bodoh.” teriak penonton saling bersahutan.

Namun, semua kata-kata penonton tidak digubris oleh si tokek. Dia tetap memanjat dengan tenang. Si tokek terus naik menuju puncak. Hingga para penonton terdiam melihat semangat dan ketenangan si tokek memanjat mencapai puncak. Terus memanjat dengan konstan hingga akhirnya mencapai puncak...!!

Spontan para penonton bersorak dengan gegap gempita melihat sesuatu yang dipandang tidak mungkin menjadi mungkin. Termasuk teman-temannya yang sudah tereleminasi terlebih dahulu ikut menangis haru. Setelah diturunkan dengan tali khusus, beberapa penonton dan petinggi negeri binatang berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan si tokek bisa mencapai puncak. Betapa kagetnya mereka, setelah diperiksa si tokek pemenang itu ternyata tidak bisa mendengar alias budek.

Cerita tersebut sebagai gambaran betapa pentingnya memiliki pola pikir positif. Mendengarkan kata-kata negatif hanya akan membuat diri kita terjerumus pada ketidak suksesan. Banyak orang-orang yang potensinya terbengkalai hanya karena gampang menerima pemikiran-pemikiran negatif dari orang lain. Padahal, orang yang mencomooh kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat ini bermunculan buku-buku motivasi. Para motivator sangat ditunggu-tunggu pemikirannya dalam memberikan pencerahan. Batam Pos sendiri setiap hari ada kolom oase. Para pembaca mulai menggemari karena isinya memotivasi.

Motivasi pada dasarnya adalah memberi kesadaran agar orang senang terhadap potensinya. Bukan memaksa orang dengan cara menggurui. Bukan pula memarahi atau menyinggung perasaannya. Lebih-lebih menyudutkan potensi orang lain. Oleh karena itu banyak orang menyukai sajian motivasi karena muncul kesadaran kalau dirinya memiliki potensi.

Lantas kenapa motivasi begitu dubutuhkan? Apakah orang-orang di zaman sekarang sudah kering dengan motivasi? Bisa jadi seperti itu alasannya. Tapi motivasi tidak akan kering. Karena sumbernya ada dalam diri kita. Sedangkan setiap orang pasti memiliki potensi.

Menggali potensi ibarat menggali sumur. Kalau menggalinya dangkal maka air tidak akan keluar. Begitu juga jika menggalinya setengah-setengah maka air yang keluar akan keruh. Namun, apabila menggalinya sampai dalam maka akan banyak menemukan sumber air. Terus mengalir makin dalam makin jernih.

Salah satu penyebab keringnya motivasi karena derasnya informasi negatif yang masuk ke dalam dirinya. Sehingga segala potensi yang dimiliki lambat laun melemah. Sifat manusia yang kerap mewarnai pergaulan adalah karena lebih senang menceritakan hal-hal negatif. Akibatnya, muncul rasa tidak percaya diri. Ini disebabkan karena mempersepsikan orang lain lebih hebat dibanding diri sendiri.

Pandangan-pandangan bernada negatif akan membuat nyali seseorang menciut. Sehingga dalam dirinya tertanam pola pikir pesimis. Apa-apa yang dikerjakan seolah-olah tidak akan membawa hasil.

Berbeda dengan orang yang selalu memiliki pola pikir positif, hidupnya selalu optimis. Setiap langkah yang dikerjakan adalah poin potensi diri. Tak ayal, tipe orang-orang seperti itu selalu dekat dengan keberhasilan.

Seberat apapun masalah dan tantangannya selalu disikapi optimis. Di situlah pentingnya trigger atau pemicu yang memberikan pencerahan. ”Kalau orang lain bisa kenapa saya tidak?” Para motivator sangat paham akan kebutuhan jiwa tersebut.

Kadang, ada orang yang bersikap manis dengan segala bentuk nasihat dan bujukan, tetapi niatnya justru menginginkan kita gagal, bahkan hancur!. “Sudahlah…kamu kan sudah bekerja keras, lebih baik menyerah saja saingannya berat.” begitu biasanya kalimat yang muncul. Atau kalimat lebih halus lagi “Saya senang kamu berhasil, tapi tidak perlu ngoyo memang apa sih yang kamu cari?”

Makanya, hati-hati terhadap segala rongrongan yang membentuk pola pikir kita menjadi negatif. Apalagi hidup di zaman sangat ketat dengan persaingan sekarang ini. Bisikan-bisikan yang menciutkan hati kita selalu terdengar.

Berbagai bisikan negatif bisa muncul dari penjuru mana pun. Bisa dari atasan, bawahan, teman, keluarga dan lain-lain. Apabila rongrongan datang semakin berat, bersikap tidak mendengar (istiqomah) dengan pola pikir positif sudah sebagai motivasi.

Dalam kehidupan pasti ada sisi negatif dan positif. Tetapi seharusnya cukup melihat yang negatif namun menekankan yang positif. Makanya, jangan heran apabila banyak orang-orang sukses karena tidak peduli dengan segala macam celotehan negatif. Mereka tetap istiqomah dengan pola pikir positifnya. Selalu berpandangan positif dalam melangkah.

Kebiasaan dan rasa senang mendengarkan isu-isu miring tidak akan membuat diri kita maju. Bahkan, perasaan minder dan tidak percaya diri akan menggerogoti diri kita. Lebih baik tutup telinga rapat-rapat dan melangkahlah dengan pola pikir seoptimis mungkin. Pasti berhasil....!!!





Selanjutnya......

Selasa, 27 Oktober 2009

Aduh Miyabi...

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Rencana kedatangan artis spesialis film-film bokep “Miyabi” ke Indonesia benar-benar membuat geram para pemuka agama. Artis asal Jepang blasteran Kanada tersebut rencananya membintangi film “Menculik Miyabi”. Walah dalah….ada-ada saja orang-orang film kita membuat sensasi.

Aditiya sang penulis naskah dengan tegas berkelit kalau Miyabi sama sekali tidak akan berakting buka-bukaan. Mulai buka mulut, buka dada....dan buka lainnya...Husstt tahan berpikir ngeres!!.

Sontak saja, rencana kedatangan artis hot tersebut ditantang habis-habisan. Majelis ulama Indonesia paling depan menantang. Begitu juga Front Pembela Islam juga lantang bersuara menolak!! Terakhir dari berbagai ormas agama juga menentang keras dengan alasan moral. ”Bukan akting di film tersebut, tapi Miyabi adalah simbol porno, lantas di mana wajah moral bangsa kita...??” begitu rata-rata komentar mereka yang menantang.

Tak ayal, berbagai argumen dan pro kontra pun terus mengalir saling bersahutan. Ustad Yusuf Mansyur juga sempat berkomentar “Kalau seandainya gw yang jadi presiden akan gw panggil Miyabi ke Cikeas, terus diceramahi agar bertobat, kalau gak mau tobat disuruh pulang aja ke Jepang.” ujar sang ustad.

Yang tak kalah hebohnya munculnya komentar agar Miyabi disarankan memaki jilbab kalau mau ke Indoensia. Bahkan, di berbagai internet bermunculan foto-foto Miyabi memakai jilbab.

“Aduh....Miyabi...jadi kelakukan gini deh, ruarrrr....biasa...” Bisa saja anjuran tersebut himbauan agar dia bertobat. Tapi bisa saja berupa sindiran. Lho...kok gitu...? Kenapa tidak! bukankah umat Islam di Indonesia terlalu lembek dan cepat luluh hatinya apabila mendengar ada orang insaf.

Atau...jangan-jangan juga cemoohan kepada FPI yang terlalu vokal dan kerap mengkedepankan tindakan kasar. Lihat saja contohnya, ketika terjadi gempa di Jogjakarta sampai muncul anekdot “Jogja gempa karena Nyi Roro Kidul marah gara-gara disuruh memakai jilbab oleh Ust. Habid Rizieq sang komandan FPI.” Ya....silahkan saja adu argumen. Gelontorkan berbagai alasan demi terjaganya moral bangsa.

Ketika bola panas mulai menjalar di masyarakat, obrolan pro kontra juga berkumandang di berbagai sudut jalanan. Seorang yang memakai peci hitam terlihat geram. Dia berapi-api berkomentar keras menolak Miyabi datang ke Idonesia.

Di salah satu warung pojok jalanan dia komat-kamit. “Darah Miyabi halal untuk dibunuh, saya akan membunuhnya kalau dia sampai datang ke Indoensia, dia perusak moral !!!. ujar lelaki tersebut geram. Dia terus mengoceh tiada hentinya mengumpat Miyabi. Sampai-sampai orang-orang di sebelahnya merasa terganggu.

Karena tak sabar, salah seorang menegor dengan suara pelan. “Sudah lah pak kan sudah ditinjau ulang agar batal.” ujarnya santai, tapi orang yang berjenggut tersebut malah makin naik darah. “Pokoknya harus batal, dia perusak moral, dia artis porno...”sahutnya sambil menggebrak meja. Karena merasa geram, akhirnya orang di sebelahnya mencoba memancing “Maaf pak, Miyabi itu bukan artis porno...dia artis biasa tapi dalam ukuran di Indonesia terbilang porno.” katanya dengan suara agak tinggi.

Namun, lagi-lagi komentarnya disambut dengan suara melengking “Kamu tahu gak sih...dia itu artis porno...kok kamu gak ngerti ya...?!!” semprotnya makin geram. “Baik pak, ujar orang di sebelahnya...kalau betul begitu mana buktinya??.” ujarnya memancing.

“Oke kalau mau bukti sekarang juga saya akan ambil VCD porno Miyabi...di rumah saya banyak.” ujarnya sambil berdiri dari tempat duduknya. Tak lama kemudian dia datang dengan membawa beberapa VCD porno Miyabi. “Nih buktinya....saya hampir setiap malam nonton, mau bukti apa lagi, dia perusak moral, jelas kan...!!” hardiknya masih dengan nada emosi.

Kontan saja orang-orang di sebelahnya cengar-cengir....”Lho....j
adi bapak penggemar Miyabi ya...?? kalau begitu moral siapa yang rusak pak heheheeeeee.” ujar mereka sambil tertawa. Tentu saja wajahnya langsung memerah. Dengan sedikit menahan malu dan nada suara terbata-bata dia berkelit “Emmm....i..i..itu bukan punya saya tapi pinjam ke tetangga.” ucapnya sambil menundukkan kepala.


Selanjutnya......

Selasa, 25 Agustus 2009

Pandanglah Bakat Anak sebagai Potensi Hebat

Batam Pos, Selasa, 25 Agustus 2009

Mahmud Syaltut Usfa S.Psi (Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tahun pelajaran baru sudah dimulai. Siswa-siswi sudah memulai kegiatan belajar di sekolahnya masing-masing. Para orangtua pasti telah memilih sekolah yang terbaik bagi putra-putrinya. Di mana pun sekolah pilihannya, pasti sudah dipertimbangkan dengan matang.

Awal tahun pelajaran baru merupakan masa transformasi bagi anak yang baru selesai sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Dalam penyesuaian ini belum terlihat prestasi anak secara menonjol. Para orangtua juga belum disibukkan dengan hitung-hitungan nilai anaknya.

Setelah masa belajar satu semester, para orangtua sudah berpikir nilai akademis. Dan pertanyaan yang sering dilontarkan adalah “Ranking berapa anak saya?” Sebuah pertanyaan yang umum tentunya. Tapi sangat jarang orangtua, bahkan hampir tidak sempat bertanya kepada gurunya “Apakah bakat anak saya sudah berkembang?” atau minimal bertanya “Bakat apa yang dimiliki anak saya?”.

Mungkin saja karena berpikiran kalau bakat tidak begitu penting dibanding hasil prestasi belajar anak. Atau mungkin saja hasil prestasi belajar anak dipandang sebagai kualitas intelegensinya. Akibatnya bakat anak kerap terabaikan.

Pemikiran seperti itu hendaknya dihilangkan. Minimal, cobalah berpikir bahwa kedudukan bakat dan intelegensi seimbang dalam meraih keberhasilan masa depan anak. Bakat memiliki sumbangsih besar terhadap perkembangan intelegensi anak. Sementara faktor intelegensi tidak memberi pengaruh signifikan terhadap bakat.

Contoh sederhana, anak yang berbakat musik akan menjadi kreatif, inovatif, dan berpikir kontruktif, sehingga intelegensinya terasah. Sebaliknya, sekalipun anak tersebut intelegensinya tinggi tapi tidak memiliki bakat musik tetap saja tidak akan bisa bermain musik.

Maaf, bukan mengesampingkan faktor intelegensi. Melainkan menegaskan keterkaitan antara keduanya yang harus kita nilai seimbang sebagai potensi anak. Bakat lahir bersama genetikal anak. Hebatnya lagi, setiap anak pasti memiliki bakat. Dan yang unik, sekalipun bakatnya sama namun karakteristik kreatifitasnya bisa berbeda.

Tidak hanya itu, bakat sangat erat dengan kegiatan yang dapat menstimulasi otak kanan anak. Jika otak kiri diidentikkan dengan kecerdasan analitik seperti kemampuan matematis dan berpikir secara sistematis. Maka otak kanan biasa dikaitkan dengan kreativitas, misalnya kemampuan berkomunikasi dan seni.

Jika selama ini banyak orangtua yang memasukkan anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan ekstra kulikuler yang “berat” seperti bahasa Inggris, matematika. Ada baiknya juga memikirkan alternatif kegiatan yang dapat menstimulasi otak kanannya. Kadang satu minggu penuh mengikuti berbagai les, tanpa sekalipun mengikuti les pengembangan bakat.

Banyak orang-orang hebat di dunia yang berhasil karena dominasi bakatnya. Leonardo Da Vinci misalnya, dia anak jadah dari pengacara Florentina dengan gadis petani. Dia lahir pada tanggal 15 April 1452 di kota kecil yang bernama Vinci di dekat kota Florence. Bakatnya di bidang seni berkembang saat dia menjadi murid Andrea del Verrocchio yang merupakan pematung dan pelukis terkenal di Florence pada saat itu.

Begitu juga orangtua Shakesphere hanyalah penduduk biasa di kota Stratford-upon-Avon, Warwickshire. Ayahnya yang bernama John Shakesphere hanyalah seorang pedagang lokal, tapi Shakesphere sendiri mampu menjadi salah satu penulis drama dan penyair paling terkenal di dunia dan belum tertandingi sampai saat ini.

Dia menggunakan puisi dalam sejarah, tragedi, dan drama komedinya serta menulis 154 soneta. Ayah Ronald Reagen hanyalah seorang salesman sepatu yang tidak lulus SMU dan seorang pemabuk berat. Keberuntungan Reagen berubah saat dia mendapat beasiswa untuk sekolah di Eureka College karena kemampuan berolahraganya, biarpun dia harus bekerja mencuci piring agar tetap bisa makan. Ronald Reagen memulai karirnya bukan sebagai politikus tapi sebagai aktor Hollywood.

Ada salah satu contoh orang yang sangat berbakat, tapi dia berasal dari keturunan yang sangat jauh berbeda Dia adalah Srinivasa Ramanujan. Dia berasal dari India dari keluarga miskin di Madras dengan tubuh pendek dan gemuk.

Di sekolah, dia sangat pintar belajar aritmatika, tapi dia tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi hanya karena dia gagal dalam ujian bahasa Inggris. Meskipun demikian, dia mampu mengeksplorasi matematika sendirian hanya dengan mempelajari teks matematika yang merangkum bidang inti ilmu matematika.

Berutunglah orangtua yang mensekolahkan putra-putrinya di sekolah yang memberikan beberapa alternatif kegiatan ekskul pengembangan bakat. Karena potensi otak kanan bisa berkembang maksimal. Apalagi bagian otak kiri sudah banyak didapat anak dari pelajaran umum di sekolah.

Siswa-siswi yang hanya “dicecoki” dengan berbagai pelajaran di sekolah sangat sulit menjadi anak kreatif. Apalagi orangtua hanya sibuk menilai prestasi anak dari tingkat ranking. Akibatnya perkembangan otak kanan menjadi mandul. Sedangkan otak kiri terus menerus “di-push” dengan berbagai les-les berat dengan harapan meraih ranking, ranking dan lagi-lagi hanya ranking!!

Bisa saja, karena sekolah dan orangtua lebih mementingkan otak kiri inilah membuat negara kita tidak banyak memiliki anak-anak yang kreatif. Ini disebabkan otak kanan kurang dikembangkan secara optimal.

Di sinilah pentingnya peran sekolah dan orangtua memberi wadah kepada anak untuk perkembangan bakatnya. Marilah kita lihat potensi anak secara bijak. Sekecil apa pun bakat anak tetaplah sebagai potensi yang harus dihargai. Berilah mereka kesempatan seluas-luasnya agar segenap potensinya terus terasah, berkembang dan berprestasi. ***




Selanjutnya......

Minggu, 12 Juli 2009

Membangun Sastra Melalui Esai di Batam Pos

Batam Pos, Minggu 12 Juli 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa
(Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Adanya halaman sastra dan budaya di Batam Pos merupakan langkah sangat positif. Dalam jagad penulisan, esai sastra merupakan salah satu bentuk karya tulis yang marak diciptakan. Berbagai gaya penulisan terus mengalir setiap minggunya. Dan terbukti, di Batam Pos muncul penulis-penulis lokal yang produktif. Ini menunjukkan pamor esai sastra sudah cukup kuat.

Berbagai sudut pandang sastra menjadi kupasan menarik. Ini suatu bukti perhatian publik sastra sangat antusias. Selanjutnya yang diharapkan adalah esai dari pengkaji, sastrawan, pembaca, dan tentunya para penulis pemula.

Munculnya daya tarik tersebut tidak terlepas dari adanya keunikan esai sastra. Walaupun sebagai karangan subjektif, namun tetap memiliki karakteristik sangat menarik. Tentunya yang diharapkan adalah menjawab tantangan yang sudah tersedia ini. Karena, pada akhirnya tidak hanya pembaca yang pandai namun lebih khusus lagi para penulisnya.

Sangat diharapkan akan muncul para penulis kreatif yang mengulas sastra di jagad negeri ini. Lebih diharapkan lagi menggali sastra di bumi melayu sebagai “tanah air” sastra di Indonesia.

Sebab, bisa saja ada kemungkinan seorang penulis esai tidak paham pengertian esai sastra. Menulis esai memang dibutuhkan referensi yang kuat. Namun, yang menjadi dasar adalah pemahaman terlebih dahulu menganai esai itu sendiri. Karena ada beberapa pandangan dari para ahli di bidangnya.

Dalam tulisan ini akan sedikit dihadirkan beberapa pendapat para pakar tersebut. Diharapkan ini lebih memudahkan bagi para penulis, lebih khusus pemula yang tertarik menulis esai sastra. Ini hanya sekadar meneguhkan lagi bagi para penulis.

Pandangan yang pertama saya angkat dari Sang Paus Sastra H.B. Jassin. Menurutnya, esai adalah uraian yang membicarakan bermacam ragam, tidak tersusun secara teratur tetapi seperti dipetik dari bermacam jalan pikiran. Pengertian di atas lebih tegas lagi bahwa penulisan esai sangat luas, fleksibel. Kuncinya adalah fondasi referensi untuk mengokohkan jalan pikiran penulis.

Tak heran jika banyak bermunculan karya esai sederhana namun gampang dicerna. Karena dalam esai terlihat keinginan, sikap terhadap soal yang dibicarakan, kadang-kadang terhadap kehidupan secara universal.

Kontrol yang mungkin perlu dijaga adalah mengemas antara keinginan penulis dan kebutuhan pembaca. Sebab, jika mengikuti arah keinginan penulis bisa-bisa pembahasannya melebar. Sebaiknya pahami dulu kebutuhan pembaca. Ini disebabkan penulisan esai memang gamblang.

Sebagaimana pandangan Arief Budiman, pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.

Sementara itu pendapat dari Soetomo menyebut bahwa esai adalah sebagai karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan.

Esai lebih mengarah pada penulisan yang sedang menarik perhatian, dibahas secara datar, dan bukan bersifat kritik. Sebab kritik sudah memiliki penilaian baik-buruk, benar-salah. Kritik sastra juga lebih sistematis dibanding esai, oleh karena itu kritik sastra harus diurai panjang lebar, dan secara otomatis harus objektif.

Perbedaan dengan esai adalah sifat penulisannya subjektif. Uraiannya cukup pendek karena hanya menerangkan. Juga tidak teratur sistematikanya layaknya opini. Sepertinya ini sering rancu, karena penulis sering ”terlanjur” mengarah ke kritik. Hal ini disebabkan penulis sangat kokoh pada pemikirannya, sehingga tersandung pada ego dalam mengemukakannya.

Esai bisa diartikan sebagai karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dengan pendirian, pikiran, cita-cita, sikap penulisnya yang diutarakan secara tidak teratur. Tak heran, jika esai dikupas secara sederhana namun memiliki dasar pemikiran yang kokoh.

Pendapat yang lainnya muncul dari F.X. Surana yang menerangkan esai sebagai kupasan suatu ciptaan, tentang suatu soal, masalah pendapat, ideologi, dengan panjang lebar. Kupasan ini berdasarkan pandangan penulisnya dan diutarakan secara tidak teratur. Adakalanya esai terkesan menyajikan pemikiran-pemikiran yang liar.

Dari berbagai pandangan tersebut, bisa dikategorikan kalau tulisan esai memiliki ciri-ciri: Tulisan pendek, berbentuk prosa, bersifat subjektif, bersifat menerangkan saja, tidak teratur dibanding kritik.

Dari uraian di atas tak heran apabila esai bermunculan. Terlebih sastra dan budaya memiliki ruang lingkup sangat luas. Batam Pos sudah memberi ruang bagi para penulis. Suatu bentuk apresiasi yang sangat bagus dalam meningkatkan pemahaman sastra dan budaya.

Langkah ini merupakan membangun media edukatif bagi perkembangan sastra dan budaya di Kepri. Batam Pos sudah memiliki kepedulian yang tinggi. Dari halaman ini kita bisa belajar. Tidak sekadar belajar dari membaca, namun juga menuangkan pemikiran-pemikiran kita dalam tulisan. ***





Selanjutnya......

Dahsyatnya Sentuhan Meluluhkan Jiwa Anak

Batam Pos, Sabtu, 11 Juli 2009
Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tindak kekerasan guru terhadap siswa sering mewarnai lembar pendidikan kita. Termasuk di tingkat pendidikan dasar (SD). Banyak guru tidak sabar menghadapi ulah anak didiknya. Padahal, semua guru pasti ingin mendidik siswa-siswinya dengan baik. Tetapi menghadapi sikap, perilaku, dan kepribadian anak berbeda-beda membutuhkan kesabaran tinggi.

Kondisi yang merepotkan guru adalah ketika menghadapi anak kurang disiplin. Tapi mau ditegaskan malah tersandung dengan persepsi yang sudah melekat di pikiran kita “namanya saja anak-anak”. Pandangan seperti itu terkadang menjadi sebuah “toleransi” ketika akan menegakkan aturan kepada anak-anak. Akibatnya, sikap dan perilaku anak malah dalam posisi salah bentuk.

Terlebih menghadapi anak yang dicap sebagai “si nakal” di sekolah. Adakalanya orangtua serta guru serba salah ketika harus memberi sanksi atau hukuman. Karena khawatir mengarah kepada tindak kekerasan. Tapi jika secara lembut malah tidak membuat perilaku anak berubah.

Dalam mengendalikan perilaku anak ada dua figur penting yang mempengaruhi. Yaitu, figur orangtua dan guru. Keduanya saling mendukung dalam memberi energi postif terhadap emosi dan kognisi anak. Hal mendasar adalah menciptakan kepercayaan (trust) pada pribadi anak.

Cara yang paling sederhana membentuk kepercayaan adalah dengan sentuhan fisik. Ini sangat halus, lembut, sederhana tapi membutuhkan keihlasan. Melalui sentuhan akan tercipta ikatan emosional, sehingga terbentuklah trust. Dari kepercayaan akan timbul kelekatan emosional (attachment).

Orangtua sangat penting membiasakan sentuhan, minimal sebelum anak berangkat sekolah. Bersalaman kemudian memberi ciuman (kecupan) merupakan pembiasaan yang sangat bermakna.

Ada hasil penelitian yang spektakuler mengenai pengaruh ciuman seorang ibu. Seorang anak yang diberangkatkan ke sekolah oleh sang ibu dengan kecupan sayang, ternyata memberi dampak luar biasa terhadap prestasinya. Kecupan tersebut mampu meredam kemarahan untuk berkelahi di sekolah daripada mereka yang diberangkatkan oleh baby sitter (pembantu).

Sangat disayangkan apabila orangtua tidak sempat melakukan itu dengan alasan tidak ada waktu. Apalagi semuanya diserahkan kepada pembantu, dan di sekolah dipandang hanya menjadi tanggung jawab guru.

Begitu juga sebaliknya, guru harus intens memberi sentuhan kepada anak didiknya. Mulai menyambut dengan salaman ketika anak tiba di sekolah. Satu persatu kepada siswa. Bukan sebaliknya, siswa yang menyambut guru kerena sang guru datangnya terlambat. Anak pasti sangat senang menyambut guru tapi akan lebih bangga lagi apabila disambut guru dengan salaman.

Sentuhan akan mengalirkan ikatan emosional. Apabila setiap hari dilakukan, maka akan menyambungkan ikatan kepercayaan. Model sentuhan lain yang juga sangat sederhana tapi memiliki makna dalam adalah dengan mengelus-elus punggung anak. Sentuhan ini mampu memberi rasa percaya diri, tanggung jawab, ketenangan serta semangat ke anak.

Cara lain adalah dengan membelai kepala. Dengan melakukan belaian membuat anak merasa dihargai, mendapat kepercayaan dan tidak merasa dipersalahkan. Sentuhan yang juga sangat sederhana dilakukan ke anak adalah mendekap kepalanya ke dada sebelah kiri. Ketika anak merasa bersalah, menangis dan down, dekaplah erat-erat sampai merasakan dengup jantung. Seketika anak akan “bernostalgia” saat berada di dalam rahim ibunya. Akan merasa tenang dan aman. Sehingga mampu menghilangkan rasa cemas, takut dan marah.

Tidak musthail, jika sentuhan sederhana tersebut diterapkan mampu meredam tindak kekerasan guru terhadap siswa. Kekuatan sentuhan sangat dahsyat. Sudah banyak hasil penelitian membuktikan pengaruhnya.

Seorang psikolog Eropa pernah melakukan penelitan terhadap dua simpanse. Simpanse yang satu tidak penah dilus-elus, dibelai dan diajak berkomunikasi. Sedang satunya setiap hari dibelai, dielus-elus, diberi sentuhan fisik dan diajak ‘bicara”. Hasilnya, ada perbedaan sangat mencolok. Simpanse yang tidak pernah diberi sentuhan fisik menjadi liar, garang dan ganas. Tapi sebaliknya, yang diberi sentuhan dan kasih sayang menjadi sangat penurut dan patuh kepada pemiliknya.

Seorang Australia memiliki pengalaman lain yang cukup unik. Katanya, sapi yang diperah susunya dengan menggunakan tangan si peternak (diperah secara manual) lebih banyak mengeluarkan susu daripada sapi yang diperah dengan mesin pemerah.

Begitu dahsyatnya pengaruh sentuhan ini. Jangankan terhadap manusia yang memiliki elemen psikologis sempurna, kepada hewan saja pengaruhnya luar biasa!. Rasa percaya anak yang sangat besar membuat mereka gampang diarahkan.

Sekalipun diberi sanksi saat melakukan kesalahan tetap tidak akan menyalahkan guru. Dalam dirinya tidak akan muncul rasa benci, takut (trauma) kepada guru. Melainkan timbul kesadaran bahwa dirinya diberi sanksi karena kesalahannya, bukan karena guru membenci dirinya!.

Sangat berbeda dengan guru yang tidak memiliki ikatan emosional kepada anak didiknya. Kepercayaan sangat rapuh. Apabila guru memarahi akan dinilai sebagai guru yang galak. Jangan heran jika akhirnya anak menjadi bandel, selalu melawan. Bahkan, jika dimarahi akan mengulang lagi perbuatannya.

Ketika guru malarang anak dengan kalimat ”jangan” justru ditanggapi sebagai tantangan. Kalimat ”jangan” dijadikan kesempatan untuk mendapat perhatian. Contoh, ketika anak dilarang naik pohon ”jangan naiki pohon itu!” anak bukan turun, malah naik lebih tinggi lagi.

Di sinilah pentingnya membangun”trus” terlebih dahulu dengan fondasi ikatan emosional, selanjutnya baru diberi teguran atau sanksi apabila melakukan kesalahan agar perilakunya terarah.

Dalam membangun attachment tak perlu mengganggu pekerjaan di sekolah. Cukup dengan memanfaatkan sebaik mungkin waktu luang yang ada bersama anak didik. Memberi sentuhan bisa dilakukan setiap saat. Guru, yang tidak mau menyempatkan memberi sentuhan akan menciptakan jarak emosional. Apalagi jika anak dibuat merasa segan bertemu guru sama halnya menjauhkan rasa kepercayaan.

Sentuhan fisik adalah bahasa cinta yang paling mudah digunakan tanpa syarat, sebab orangtua atau guru tidak perlu mencari kesempatan khusus ataupun alasan apabila hendak melakukan kontak fisik. Bahasa sentuhan tidak terbatas pada pelukan dan ciuman saja, tetapi segala jenis kontak jasmani. Semoga bermanfaat.***


Selanjutnya......

Minggu, 28 Juni 2009

Jangan Malu Belajar Do'a ke Anak

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Orangtua mana yang tidak senang anaknya pandai ilmu agama. Walaupun dia sendiri sangat dangkal tentang agama, tapi anaknya harus pandai. Mantap….!! memang orangtua harus berpikir gitu kok!. Akhirnya anaknya disekolahkan di salah satu SD Islam favorit di Batam.

Kurikulum agama Islamnya termasuk di atas standar. Semenjak kelas I (semester awal) sudah harus mengikuti berbagai pelajaran agama. Tidak hanya teori tapi juga praktek, atau lebih akrab dengan istilah pembiasaan.

Mulai pembiasaan bahasa Arab sampai membaca do’a - do’a pilihan. Apalagi praktek shalat, pembiasaan membaca al-qur’an dan hadis-hadis pilihan sudah menjadi keseharian mereka. Sampai-sampai orangtuanya sendiri kewalahan mengimbangi kemampuan ilmu agama anaknya.

Sehingga lama-lama kondisinya terbalik. Anak yang harus mengajari orangtuanya. Bahkan, saat ada tugas agama dari sekolah anak mulai malas bertanya ke orangtuanya. Alasannya, papa dan mama pasti gak ngerti. Akibatnya pada diri anak mulai muncul rasa kurang percaya ke orangtuanya. “Ah…percuma tanya, paling papa dan mama gak bisa jawab juga.” Begitu yang ada di pikiran anaknya.

Mau tak mau, orangtua harus (dituntut) untuk belajar berbagai pelajaran agama anaknya yang masih duduk di bangku kelas I SD. Kalau perlu harus lebih pandai. Akhirnya, setiap hari selalu membaca pelajaran agama di buku paket dan catatan anaknya. Hasilnya positif, orangtua jadi makin ngerti akan ilmu agama. Khususnya bagi sang ibu yang harus mengajari anaknya, menjadi persoalan serius.

Untuk pelajaran agama secara umum tidak ada masalah. Tapi ketika pelajaran bahasa Arab, tajwid, menulis Arab sangat menjadi kendala. Yang lebih merepotkan lagi pelajaran hafalan surat-surat pendek, hadis-hadis pilihan dan do’a – do’a pilihan. “Wah....mana mungkin bisa menghafal semuanya.” pikir ibunya. Apalagi kemampuan menghafalnya tidak setajam anak-anak. Tapi kalau bertanya ke anaknya langsung kuatir anaknya malah menertawakan. “Kok papa dan mama tidak tau sih...!!”

Nyerah...pasrah...akhirnya memutuskan “Saya harus belajar ke anak!!” Tapi sayangnya tidak mau terang-terangan, alias harus sembunyi-sembunyi. Caranya, setiap hari harus menyuruh anaknya membaca pembiasaan-pembiasaan tersebut. Misalnya, niat wudu’ dan doa setelah wudu’ sang ibu harus mendampingi anaknya yang lagi wudu’ dengan pura-pura membimbingnya. Padahal mulutnya sambil komat-kamit menirukan anaknya yang sedang baca do’a.

Seabrek hafalan do’a –do’a harus dihafalkan. Rasanya memori otak ibunya sudah penuh. Entah kenapa, untuk menghafal do’a sebelum makan kok terasa susah. “Wah...do’a – do’a dan hadis masih belum hafal ditambah lagi do’a sebelum makan.” pikirnya.

Makanya setiap anaknya mau makan sang ibu harus pasang kuping mendengarkan do’a anaknya. Tapi anaknya kadang malas-malasan membaca do’a. Pada suatu hari anak makan di ruang makan dan tidak mau diganggu ibunya. Sang ibu harus rela nguping sambil duduk di ruang tamu.

Sayang sekali, sang ibu tidak mendengar anaknya membaca do’a. Dengan penasaran dia menanyakan. “Apakah sudah membaca do’a?” tanyanya. Dengan suara enteng anaknya menjawab “Sudah membaca di dalam hati.” sahutnya. “Aduh...repot nih jadi gak kedengaran.” pikir ibunya, sambil melontarkan kalimat “Membaca do’a itu harus nyaring supaya kedengaran malaikat.” ujar ibunya setengah berteriak.

Akhirnya anaknya membaca do’a dengan keras. Sang ibu senang sambil menirukan. Tapi, sial....lagi-lagi masih belum hafal juga. Akhirnya menyuruh anaknya membaca lagi. “Ayo dibaca lagi yang keras.” Suruhnya. “Kan sudah mama.....” jawab anaknya. “Dibaca lagi yang keras supaya setannya lari gak ikut makan.” alasannya dengan suara agak keras.

Si anak menurut sambil mengulang bacaan do’a sebelum makan. Ibunya senang karena bisa menirukan. Tapi, lagi-lagi gak nyantol ke memorinya. Do’a yang sudah dihafalnya hilang lagi. Membacanya juga terbalaik-balik.

“Wah...harus menyuruh anak saya lagi nih.” Ucapnya dalam hati. “Ayo...do’a sebelum makannya diulang lagi, kayaknya setannya belum lari tuh...” suruhnya lagi. Dengan sedikit jengkel si anak menjawab “Aduh mama......kan makannya sudah selesai, kok disuruh membaca do’a sebelum makan terus sih....sekarang aku membaca do’a setelah makan ya ma...” sahut anaknya polos. “Ihhhh......do’a sebelum makan aja belum hafal malah ditambah do’a setelah makan.” ujar sang ibu agak sewot.

Belajar kepada anak kenapa harus gengsi. Apalagi untuk kebaikan anak dan diri sendiri. Gak ada salahnya terus terang, tapi terus berusaha belajar. Daripada ditahan-tahan malah hasilnya tak karuan tuh...!!



Selanjutnya......

Dangdut pun Berevolusi

Batam Pos, Minggu, 01 Pebruari 2009

Sonet 2 yang menggebrak pasar musik nasional dengan sentuhan baru musik dangdut, masih menjadi perhatian. Revolusi dangdut yang diusung oleh Rhoma Irama dan anaknya Ridho Rhoma (Sonet 2) menjadi pembicaraan di kalangan musisi. Revolusi dangdut dianggap membawa angin segar bagi pemusiknya.

HASANUL, Reporter Batam Pos

Di Batam ada Muhammad Syaltut Usfa, gitaris sebuah grup band yang kerap membawakan lagu-lagu berirama dangdut saat manggung. Revolusi dangdut yang dibawa oleh Sonet 2, menurutnya membawa kesegaran bagi industri musik dangdut tanah air, termasuk Batam.

Alasannya, stereotipe dangdut yang selama ini menjadi semacam ciri khas, bisa dibuang. Ciri khas dangdut yang menyolok adalah style dan cara berpakaian. Musisi dan penyanyi dangdut bisa dibedakan dengan musisi dan penyanyi pop/rock melalui penampilannya yang norak.

”Kalau manggung kami harus pakai seragam, padahal saya sangat tidak nyaman dengan seragam,” aku Syaltut, sapaannya, saat berdiskusi dengan wartawan koran ini.

Itu belum lagi dari penamaan grup musik dan penyanyi dangdut. Revolusi yang diusung oleh Raja Dangdut sekarang ini, dianggap membawa angin segar.

”Bila revolusi dangdut ini bisa berjalan dan diterima, suatu saat nanti kami manggung tidak lagi harus menggunakan seragam. Status musisi dangdut pun bisa disejajarkan dengan musisi pop atau lainnya,” komentar Syaltut.

Pandangan minus pada musisi dangdut, menurutnya bisa ditepis melalui revolusi tersebut. Syaltut mengaku, musisi dangdut kerap dipandang sebelah mata tanpa melihat latar belakang musisinya. Syaltut misalnya, walau sejak 1996 lalu sudah berkecimpung di musik dangdut dan koplo, tetapi dia justru berlatar belakang pendidikan musik klasik di Yasmi Music School, Surabaya.

”Saya terjun ke dangdut karena ada unsur akar budayanya,” katanya.

Dari membawakan musik-musik dangdut di pelosok tempat lah, Syaltut bisa mengenal karakter dari banyak orang, dari berbagai suku dan ras. Tak heran, temannya ada banyak dari berbagai latar belakang yang beragam.

Menghadapi revolusi dangdut sekarang ini, dia mengatakan dibutuhkan kreativitas dan kemampuan bermusik oleh musisi dangdut, lebih baik dari yang sebelumnya. Bila dulunya musisi dangdut Batam hanya sebatas bisa bermusik, setelah revolusi musisinya dituntut untuk berkemampuan lebih. Bila tak mampu mengikuti, bisa tergusur dan mati.

”Kalau saya lihat, musisi dangdut di Batam tidak begitu kreatif, hanya menunggu lagu-lagu dari Jakarta atau dari pop. Bila tetap seperti itu, musisi di Batam akan tetap menjadi musisi kampungan,” kritiknya.

Tradisi menunggu, menurutnya tidak bisa lagi dilakukan setelah revolusi dangdut. Musisi lokal harus bisa menciptakan nada-nada lagu baru untuk bisa eksis. Dampak dari keringnya kreatifitas itu, menurutnya baru terasa sekarang. Tetapi bila kering kreatifitas bisa diatasi, musisi dangdut akan naik pamor.

”Bukan tidak mungkin akan terbit pula grup Sonet 3 atau Sonet 4,” kelakarnya.

Syaltut dengan grup musiknya yang secara berkala mengadakan konser di beberapa tempat di Batam, mengatakan bahwa sejauh ini mereka masih menggunakan dangdut original dalam bermusik. Revolusi musik dangdut, masih belum diikuti sekarang ini, walaupun mau tidak mau mereka harus ikut dalam evolusi yang tercipta. Bagi Syaltut dan rekannya, revolusi dangdut lebih diharapkan ke arah persamaan derajat antara musisi dangdut dengan musisi lainnya.

”Kami harus mengikuti evolusi. Tidak ada lagi penyanyi yang bergaya norak dan bergaya seksi tidak pada tempatnya,” celetuknya.

Dengan revolusi, musisi Batam bisa membuat evolusi dan perubahan untuk menghadapinya. Revolusi yang dibawa itu, menurut Syaltut tidak hanya menyangkut revolusi pada musiknya saja, tetapi juga kelas pada pemain dan penikmat musik dangdut. Selama ini, walaupun dangdut telah merambah hotel dan tempat-tempat berkelas, tetapi penampilan musisinya tidak juga ada beda. ***




Selanjutnya......

Kamis, 11 Juni 2009

Bahasa Gaul, Budaya Gaul, Bangsa Gelo

Batam Pos, Minggu 7 Juni 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa
(Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School)

Tidak berlebihan apabila bahasa Indonesia sekarang dinilai sedang terkoyak-koyak. Munculnya bahasa gaul membuat ejaan bahasa Indonesia “kocar-kacir” tak beraturan. Lebih prihatin lagi, tidak hanya bahasa lisan yang morat-marit tapi juga bahasa tulisan. Bahasa-bahasa iklan yang terpampang di baliho-baliho besar sudah semakin salah kaprah penulisannya. Begitu juga yang dipublikasikan di telivisi, semakin menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia.

Redupnya penggunaan tata bagasa Indonesi yang benar justru diikuti maraknya bahasa gaul. Yang lebih memprihatinkan, bahasa gaul diangkat ke dalam bahasa tulisan. Kondisi ini tentu membuat bahasa kita terkontaminasi. Akibatnya, eksistensi bahasa sebagai bagian dari budaya malah terkikis.

Munculnya bahasa gaul disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, dipandang komunikatif. Bahasa gaul gampang menyebar melalui media, khususnya radio dan televisi. Bahasanya gampang dicerna dan tidak ribet (bertele-tele). Faktor lainnya karena trend. Anak muda yang menjadi sasaran. Penyebarannya bisa merambah mulai anak SD hingga Orangtua.

Wabah bahasa gaul sendiri memang lebih cendrung ”menyerang” kaum remaja. Mengapa? Secara psikologi memang berkaitan dengan perkembangan kognitif.

Menurut Piaget (ahli psikologi kognitif), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia.

Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosa kata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks.

Sangat bisa dipahami. Sebab kalau dilihat dari perkembangan, bahasa gaul ini berkembang seiring dengan situasi zaman. Sebenarnya sejak tahun 70-an sudah muncul bahasa gaul. Tapi tahapannya hanya sekadar istilah untuk merahasiakan. Misalnya dengan menggunakan kosa kata terbalik. Awalnya sebatas terjalin dalam komunitas tertentu saja. Tapi karena sering juga digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Dilihat dari sejarahnya, bahasa gaul ini sendiri berasal dari kaum waria dan anak-anak jalanan. Masih ingat bahasa prokem? Bahasa prokem sangat trend di kalangan anak muda tahun 70 dan 80-an. Salah satu bahasa prokem (okem) yang masih terdengar sampai sekarang adalah ”bokap”. Nah, bahasa prokem ini muncul dari kalangan preman jalanan.

Mari kita lihat sejarah kata-kata gaul secara singkat. Pada tahun 1980-an muncul istilah yang sangat populer, yaitu ”Nih Yee...” ucapan ini sangat merata di seantero negeri. Kemudian muncul istilah "Memble dan Kece"Ini adalah ciptaan khas Jaja Mihardja, di tahun1986. Selanjutnya "Booo........" Ini ucapan populer di pertengahan awal 90-an, pertama dipopulerkan oleh grup GSP.

Setelah kata-kata Boo... tak lama kemudian muncul kata-kata ”Nek...” bagi generasi yang SMA-nya di pertengahan 90-an. Setelah itu muncul lagi "Jayus" Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan Jayus sangat populer, kata ini artinya lawakan yang nggak lucu. Juga sempat populer istilah "Jaim" Ucapan Jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku.

Bagaiman dengan "Gitu Loooooooooohhh........(GL)" Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran.

Disamping merupakan bagian dari proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Menurut Erikson (Psikolog, 1968), remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominant terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas.

Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa gaul ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak.

Bahasa gaul sangat unik, nyentrik dan parktis. Beberapa perkataan disingkat menjadi akronim. Atau beberapa perkataan digambungkan menjadi bahasa baru. Misalnya singkatan seorang nama SBY, JK dll. Bahkan, pasangan Capres dan Cawapres saat ini juga “dipaksakan” menggunakan kata gaul agar lebih populer.

Hanya selanjutnya adalah pentingnya pengawalan terhadap bahasa Indonesia. Jangan sampai eksistensi bahasa Indoensia buram. Sudah seharusnya dalam bahasa resmi, atau di media lebih kritis menjaga tata bahasa yang benar. Bahasa gaul hanya ada sebatas musiman. Walau tidak semua penggunaannya merusak khazanah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa gaul sangat perlu pengawalan jika digunakan secara formal.

Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi belaka. Melainkan juga berisi nilai-nilai etika yang lahir dari budaya. Apabila bahasa gaul lepas dari pengawalan, konsekwensinya adalah terkikisnya etika. Kita adalah bangsa timur yang menjunjung tinggi moralitas. Dengan bahasa kita bisa memiliki etika. Cara berbahasa akan berpengaruh pada sikap, perilaku serta bertatakrama.

Lahirnya bahasa Indonesia sendiri melalui perjalanan sejarah. Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Apabila bahasa Indonesia makin tidak terjaga, taruhannya adalah jati diri bangsa.





Selanjutnya......

Senin, 08 Juni 2009

Sudah Cukupkah Usia Anak Anda Masuk SD?

Batam Pos, Senin, 08 Juni 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Tahun ajaran baru sudah semakin dekat. Para orang tua yang anaknya lulus Taman Kanak-Kanak (TK) sudah sibuk mendaftar. Namun, juga banyak orang tua yang bingung menentukan sekolah. Sudah pasti, sekolah-sekolah negeri menjadi incaran. Banyak alasan yang dikemukakan, salah satunya karena biaya.

Hanya saja, kendalanya di usia. Karena SD negeri sudah mematok usia 7 tahun. Saat ini para orangtua sudah harus dipusingkan dengan hitung-hitungan usia anaknya. Jika di Bulan Juni nanti usianya 6,2 tahun belum cukup umur sekolah di negeri. Tapi menunggu tahun depan sudah memasuki usia 7 tahun lebih. Rasanya para orangtua tidak rela anaknya masuk SD usianya lebih, walau hanya dua bulan.

Bahkan, tidak sedikit para orangtua yang mensekolahkan anaknya di bawah usia 6 tahun. Incarannya pasti sekolah swasta. Ada juga yang terpaksa akal-akalan, tahun pertama sekolah di swasta, begitu naik kelas dipindahklan ke sekolah negeri. ”Anak saya kan sudah bisa berhitung, membaca, menulis bahkan komputer, kenapa harus menunggu usia 7 tahun?” Seperti itu rata-rata alasan yang dikemukakan para orangtua. Atau dengan alasan anaknya sudah bosan sekolah di TK.

Analogi seperti itu sebaiknya dipertimbangkan lagi. Karena penentuan usia ini bukan terkait kemampuan anak begitu saja. Yang lebih penting adalah usia kesiapan mental. Anak-anak TK sekarang sudah pandai macam-macam karena akibat perkembangan informasi dan kemajuan teknologi. Tetapi usia mental tetap harus berjalan sesuai dengan usianya. Dan tugas-tugas perkembangan anak harus dituntaskan. Apabila mentalnya dibonsai maka anak akan mengalami kejenuhan.

Sering ditemui perbincangan antar orangtua yang bangga karena anaknya sekolah SD di bawah usia 7 tahun. Bahkan lebih muda usia masuk sekolah merasa lebih bangga diceritakan. ”Wah kalau anak saya ini usianya baru 6 tahun kurang lho masuk SD.”

Tahan dulu berbangga diri, justru harus lebih kritis menyikapi perkembangan anak. Karena anak yang sekolah SD saat usia belum matang rentan mucul kejenuhan. Prestasi anak yang sebelumnya tinggi akan gampang jatuh, bahkan anak gampang drop.

Seorang anak siap secara fisik dan mental menerima pelajaran secara formal dimulai di usia 7 tahun, paling awal 6 tahun. Bisa jadi seorang anak secara kognitif sudah ”pandai” tapi belum tentu secara mental siap untuk sekolah.

Bila anak dipaksakan sekolah sebelum umurnya, yang terjadi adalah pada umur di atas 10 tahun. Di usia ini dimana seorang anak mulai mencari jati diri bisa mengalami semacam kebosanan. Dan bila ini terjadi, maka si anak bisa jadi malah malas belajar. Fatalnya adalah hal ini sama sekali tidak terlihat di awal dia sekolah. Bisa jadi tahun pertama bersekolah anak baik-baik aja, tapi setelah 5 tahun bersekolah tahu-tahu si anak mulai berulah, malas sekolah.

Kondisi ini sangat lumrah terjadi, karena tidak terjadinya keseimbangan mental dengan tugas-tugas sekolah formal yang sudah ditentukan oleh kurikulum. Satu sisi anak harus menuntaskan tugas-tugas perkembangan usia dini, tapi di sisi lain sudah dijejali dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran.

Anak usia TK masih berada pada fease trozalter. Artinya, mental anak masih sebagai ”raja kecil” di rumah. Kondisi seperti itu yang mempengaruhi emosi anak, sehingga masih terbawa ke sekolah. Akibatnya, tidak hanya teman-temannya yang merasa terganggu tetapi juga merepotkan guru.

Dalam pengendalian emosi, sikap anak akan cenderung semaunya. Misalnya, menangis hanya gara-gara rebutan penghapus dengan temannya, mengompol, main-main di kelas, berbicara sendiri ketika guru mengajar, konsentrasinya tidak fokus. Di sinilah guru harus lebih terampil dan sabar. Atau harus berperan ganda memposisikan sebagai guru TK dan SD. Sulit memang, karena satu sisi guru harus konsentrasi mencapai target sesuai dengan kurikulum.

Anak yang masih berada pada usia prasekolah umumnya aktif. Mereka sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Sedang ciri secara emosional cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut. Selain itu gampang muncul iri hati, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.

Sedangkan ciri kognitif umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya, anak butuh diberi kesempatan untuk berbicara. Guru dalam berkomunikasi dengan anak, harus dilakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.

Bandingkan dengan kondisi psikologis anak usia SD ( 7 tahun). Anak usia ini berada pada tahapan operasi konkret. Pada usia ini anak betul-betul sudah memasuki usia kesiapan mental dari sisi emosional, kognitif dan motoriknya. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa.

Secara umum tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung kepada objek-objek konkrit dan pengalaman yang dialami secara langsung. Anak sudah sangat siap menerima metode pembalajaran sesuai kurikulum SD. Guru juga tidak mengalami kesulitan dalam menerapkan pembelajaran terpadu melalui pendekatan pembelajaran tematik.

Perkembangan emosi anak usia 6-8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orangtua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah.

Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.

Mudah-mudahan tulisan ini menjadi referensi serta pertimbangan ketika mengambil keputusan. Apabila usianya masih kurang, pertimbangkan lagi mau terus atau menunda tahun depan. ***



Selanjutnya......

Minggu, 24 Mei 2009

Tugas-Tugas Perkembangan Anak

Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami perkembagan dengan baik adalah memulai apa yang disebut dengan tugas-tugas perkembangan atau Development Task.

Tugas perkembangan masa anak menurut Munandar (1985) adalah belajar berjalan, belajar mengambil makanan yang padat, belajar berbicara, toilet training, belajar membedakan jenis kelamin dan dapat kerja kooperatif, belajar mencapai stabilitas fisiologis, pembentukan konsep-konsep yang sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik, belajar untuk mengembangkan diri sendiri secara emosional dengan orang tua, sanak saudara dan orang lain serta belajar membedakan baik dan buruk.

Menurut Havighurts (dalam Gunarsa, 1986) tugas-tugas perkembangan pada anak bersumber pada tiga hal, yaitu : kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasi-aspirasinya.

Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah sebagai berikut: tugas-tugas perkembangan anak usia 0-6 tahun, meliputi belajar memfungsikan visual motoriknya secara sederhana, belajar memakan makanan padat, belajar bahasa, kontrol badan, mengenali realita sosial atau fisiknya, belajar melibatkan diri secara emosional dengan orang tua, saudara dan lainnya, belajar membedakan benar atau salah serta membentuk nurani.

Tugas-tugas perkembangan anak usia 6-12 tahun adalah menggunakan kemampuan fisiknya, belajar sosial, mengembangakan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung, memperoleh kebebasan pribadi, bergaul, mengembangkan konsep-konsep yang dipadukan untuk hidup sehari-hari, mempersiapkan dirinya sebagai jenis kelamin tertentu, mengembangkan kata nurani dan moral, menentukan skala nilai dan mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial atau lembaga (Havighurts dalam Gunarsa, 1986).

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) tugas perkembangan pada masa anak-anak adalah sebagai berikut: a) Mempelajari ketrampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum. b) Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang tumbuh. c) Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya d) Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat e) Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung f) Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari g) Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata dan tingkatan nilai h) Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga i) Mencapai kebebasan pribadi.

Perkembangan seorang anak seperti yang telah banyak terurai di atas, tidak hanya terbatas pada perkembangan fisik saja tetapi juga pada perkembangan mental, sosial dan emosional.

Tugas-tugas pada masa setiap perkembangan adalah satu tugas yang timbul pada suatu periode tertentu dalam hidup seseorang, dimana keterbatasan dalam menyelesaikan tugas ini menimbulkan perasaan bahagia serta keberhasilan pada tugas berikutnya, sedangkan kegagalan akan menimbulkan ketidak bahagiaan dan kesulitan atau hambatan dalam menyelesaikan tugas berikutnya.

rujukan buku :
Hurluck, E. , 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, Elizabeth B., 1973. Adolescent Development. Tokyo: Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd,



Selanjutnya......

Rabu, 20 Mei 2009

Kusutnya Cinta Segitiga Antasari

Batam Pos, Senin, 18 Mei 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam

Masyarakat Indonesia terperanjat begitu mendengar Antasari Azhar menjadi tersangka otak di balik pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. Bagaimana tidak, ”pendekar” pemberantas para koruptor itu harus ”terkapar” gara-gara hubungan cinta segitiga antara dirinya, Nasrudin dan Rani.

Kasus ini sudah pasti menjadi senjata empuk bagi musuh-musuh Antasari. Harus diakui, dengan keberaniannya, banyak kasus korupsi di seantero negeri ini terungkap. Para pejabat kelas kakap yang terlibat korupsi satu persatu diseret ke meja hijau, termasuk besan presiden, Aulia Pohan.

Tidak berlebihan apabila kejadian ini mengundang spekulasi sebagai jebakan bagi orang nomor satu di KPK tersebut. Lagi-lagi wanita dijadikan sebagai umpan empuk untuk menjatuhkan lawan. Sudah bukan rahasia lagi, dunia politik dan pejabat elit acap kali identik dengan perselingkuhan, seks, serta glamoria wanita-wanita cantik.

Para kaum opurtunis paham bentul, kemolekan tubuh wanita sebagai modal untuk menyuguhi para big boss dan politisi. Ini ibarat makanan pembuka siap saji yang harus disediakan oleh bawahannya.

Sudah banyak politisi elit tak berkutik saat (maaf) ”disajikan” yang satu ini. Seperti, foto yang memperlihatkan kemesraan anggota DPR Max Moein dengan asistennya yang disebut bernama Desi Firdiyanti. Terlepas dari keaslian foto-foto mesra Max Moein, anggota dewan itu akhirnya menghadapi tuduhan pelecehan seksual dari Desi Firdiyanti.

Kasus lain, Yahya Zaini, beredar video hubungan mesum dengan seorang penyanyi dangdut bernama Maria Eva. Seiring beredarnya video mesum tersebut, karier politik yang dirintisnya dari bawah akhirnya tenggelam.

Begitu juga kasus yang menimpa Al Amin Nur Nasution. Lagi-lagi seorang perempuan bernama Efielian Yonata menjadi ‘bonus’ bagi dirinya karena memuluskan rekomendasi untuk Sekda Bintan Azirwan.

Di Amerika sendiri, skandal seks para pejabat dipandang sebagai suatu aib yang menjijikkan. Sehingga, kredibilitas sang pejabat juga akan hancur. Misalnya, Gubernur New York Eliot Spitzer terpental dari kursi empuknya karena “membooking” seorang pelacur kelas elit bernama Ashley Kristen Dupree.

Masih teringat kasus yang menimpa mantan Presiden AS Bill Clinton dengan salah seorang pegawai magang di Gedung Putih, Monica Lewinski? Namun Clinton yang jadi sang presiden kala itu, mekipun banyak dihujat oleh warganya, tak sampai terpental dari kursinya. Skandal Antasari memang sedikit nyentrik.

Disinyalir dirinya terlibat cinta segitiga. Kasus ini tak ubahnya kisah roman saja. Pertemuan ketiganya dimulai di padang golf. Di Hari Minggu, Nasrudin Zulkarnain diajak oleh Antasari Azhar untuk bermain Golf di lapangan golf faforitnya. Untuk lebih meriahnya permainan, Nasrudin mengajak kekasihnya Rani Juliani.

Sesampainya di Lapangan Golf, Antasari menanyakan kepada Nasrudin tentang hubungannya dengan Rani. Karena Antasari tahu bahwa Nasrudin telah beristri, dan teman perempuan yang datang ke Lapangan Golf itu bukan istri Nasrudin. Kematian Nasrudin dikatkan dengan keterliban Antasari. Karena disinyalir dirinya ada main dengan kekasih Nasrudin tersebut.

Akhirnya, Antasari dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus penembakan berujung maut yang bermotif cinta segitiga itu.
Cinta segitiga? Benarkan ini persoalan cinta. Apakah cinta itu sebenarnya? Secara psikologi cinta sangat naluriah dan lahir dari perasaan. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep, cinta sangat abstrak sehingga sulit untuk dicerna secara ilmiah.

Posisi seorang pria yang berada dalam cinta segitiga terdapat banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Bisa berasal dari kondisi internal dan eksternal. Adapun kondisi internal berhubungan dengan kematangan seseorang berdasar pola asuh dan perjalanan pribadinya.

Hal ini bisa dilihat dari kondisi standar yang muncul dari masa lalunya. Misalnya, mencari wanita yang mirip ibunya.Terkait dengan ini, penyebabnya semata-mata faktor kebutuhan serta keinginan. Tapi, biasanya lebih besar keinginan dibanding kebutuhan!

Munculnya perilaku seksual bisa dipicu dari karier, tingkat pendidikan, seks, dan bisa masalah keluarga.
Namun yang harus ditegaskan, seseorang yang berada dalam posisi cinta segitiga itu cendrung tidak komitmen dengan ikatan percintaan. Akibatnya rentan muncul perilaku berbohong yang terus menerus dilakukan, sehingga menjadi sebuah split personality (kepribadian ganda).

Bisa ditebak, apabila kasus ini benar-benar hubungan cinta segitiga pasti kebohongan-kebohongan akan terus bergulir. Karena untuk menutupi kebohongan harus dijawab dengan kebohongan juga.

Sangat miris, jika seorang Antasari harus melakukan ini! Apalagi dalam konfrensi pers pamer kemesraan dengan istrinya. Entah itu sebuah sikap jujur atau malah sebaliknya guna menutupi kebohongannya.

Kita lihat nanti dalam proses hukum. Tapi yang pasti, cinta ada manakala kejujuran tersadar. Menurut Sternberg, psikolog yang sangat terkenal mengupas tentang cinta, cinta adalah sebuah kisah. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya.

Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. Sepertinya tim penyidik harus jeli melihat perjalanan pribadi Antasari, khususnya terkait dengan sisi kepribadinnya.

Hubungan cinta segitiga Antasari bukan kisah roman anak ABG lagi. Skandal ini adalah kisah cinta orang-orang tua yang seharusnya sadar diri. Kasus ini tidak hanya menyangkut moral pribadi, tapi juga pertaruhan moral bangsa. ***



Selanjutnya......

Kamis, 07 Mei 2009

Alhamdulillah dan Astaghfirullah

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Perjalanan nasib seseorang memang tidak bisa ditentukan. Kadang sudah berusaha keras meraih kesuksesasan, tapi kenyataannya malah biasa-biasa saja. Namun, ada yang sebaliknya usahanya biasa-biasa saja tapi malah nasib berpihak baik padanya. Begitu juga dalam karir. Ada orang yang mati-matian ingin meraih jabatan tertentu eh...malah tidak kesampaian.

Secara pandangan agama, jabatan itu adalah amanah. Tanggung jawabnya besar. Tidak hanya kepada bawahan dan atasannya, tetapi juga kepada Allah. Makanya tuh...hati-hati saat mendapat jabatan.

Sayyidinah Umar bin Khattab salah satu sahabat nabi memandang jabatan itu tidak hanya sebagai amanah tetapi juga musibah. Makanya, ketika dia dipercaya menjadi khalifah, Umar bin Khattab malah mengatakan Astaghfirullah. Hebatnya, kalimat tersebut tidak sekadar ucapan basa-basi tapi betul-betul dijaga.

Dalam kepemimpinannya beliau tidak pernah mencampur adukkan antara urusan negara dengan urusan pribadi. Boro-boro mau korupsi, menggunakan fasilitas negara saja sangat anti dilakukan. Beliau betul-betul pemimpin yang amanah dan bersahaja. Ucapan Astaghfirullah betul-betul terpantri dalam hatinya sehingga sangat sulit melakukan penyimpangan dari jabatannya.

Saat ini saya pribadi sangat bingung ketika dipercaya menjadi pimpinan. Mau mengatakan Alhamdulillah nanti dikira merasa girang karena jabatan tersebut. Tapi mau mengatakan Astaghfirullah malah kuatir dikira tidak bersyukur. Wah.....bisa-bisa bos yang memberi kepercayaan tersinggung.

Sebenarnya tidak begitu menjadi dilematis. Kita bisa saja cuek. Buktinya banyak orang yang meraih jabatan tertentu malah pakai selamatan besar-besaran, atau merayakan dengan pesta meriah.

Saya jadi teringat dengan kisah juragan kaya dengan kuda pacuannya. Suatu hari sang juragan mencari kuda pacuan yang tercepat. Berbagai perkampungan ditelusuri. Sampai ke pelosok-pelosok desa. Ketika tiba di perkampungan yang sangat jauh dari kota, akhirnya dia bertemu dengan pemilik kuda yang konon kudanya sangat cepat larinya.

”Benar Anda pemilik kuda pacu yang kata orang-orang di sini sangat cepat larinya.” tanya sang juragan. ”Betul tuan, apakah tuan bermaksud membelinya?” kata sang pemilik kuda. ”Oh tentu, berapa saja harganya akan saya bayar asalkan kudanya betul-betul hebat.” jawabnya lagi dengan nada menantang. Mendapat tantangan seperti itu, si pemillik kuda langsung mempersilahkan sang juragan mencobanya.

”Silahkan tuan coba dulu, tapi hati-hati karena kuda ini sangat kencang larinya.” ujar pemilik kuda. Kemudian dengan perasaan penasaran sang juragan mencoba kuda pacuan tersebut. Tapi, aneh...kuda jantan itu tak mau berlari dan hanya diam saja. ”Eh...ini bagaimana kok gak mau lari?” tanya sang juragan dengan nada heran dan suara keras. Tenang saja tuan, kuda ini baru akan lari kalau yang menunggang mengucapkan alhamdulillah.” jelas si pemilik kuda sambil senyum-senyum. ”Oooo....betul begitu ya?!!” sahut sang juragan masih dengan nada heran.

Langsung saja sang juragan mengucapkan ”Alhamdulillah”. Oo...ternyata betul, kudanya langsung berlari. ”Ayo tuan berteriak lagi makin kuat, makin kuat berteriak ”Alhamdulillah” kudanya akan makin kencang berlari.” teriak si pemiliki kuda kepada sang juragan. Benar, sang juragan makin kuat berteriak dan kuda itu semakin kencang juga larinya.

Tapi, ketika mau berhenti sang juragan bingung bagaimana caranya, karena kudanya tak mau berhenti. ”He...bagaimana cara menghentikan lari kuda ini.” teriak sang juragan kepada si pemilik kuda. ”Gampang tuan, cukup mengucapkan ”Astaghfirullah” pasti kuda itu berhenti.” jawabnya setengah berteriak.

Ternyata benar , begitu sang juragan mengucapkan ”Astaghfirullah” kuda tersebut langsung berhenti. ”Wah...betul-betul kuda hebat, saya langsung beli.” ucap sang juragan kepada si pemilik kuda tanpa tawar menawar harga lagi.

Singkat cerita, ketika lomba pacuan kuda sang juragan dengan bangga memamerkan kuda jagoannya. Dia sangat yakin kalau kudanya akan menang. Ketika lomba dimulai dia tenang-tenang saja. Aba-aba pun dimulai tapi sang juragan masih santai dan tak mau menyuruh kudanya lari. Padahal kuda-kuda saingannya sudah berlari duluan.

Setelah kuda-kuda lainnya berlari agak jauh baru sang juragan berteriak “Alhamdulillah”. Kuda tersebut langsung lari melesat. Sampai-sampai kuda-kuda saingannya ketinggalan jauh. Saking girangnya, sang juragan lupa mau menghentikan kudanya.

Hingga akhirnya kudanya lari melampaui arena lomba dan berada di lokasi bebukitan dan jurang. Sang juragan panik setengah mati. Untung, dia ingat cara menghentikan kudanya. Langsung dia berterika ”Astaghfirullah” dan langsung kudanya berhenti tepat di tepi jurang.

Merasa selamat dari musibah dan dengan perasaan lega pula sang juragan tak sadar mengatakan ”Alhamdulillah” sambil mengelus-ngelus dadanya. Mendengar juragannya mengatakan Alhamdulillah langsung kudanya berlari. Celaka....keduanya masuk jurang dan mati !!.

Alhamdulillah dan Astgahfirullah adalah kalimat yang bagus. Tapi apabila salah menempatkan akan membuat celaka. Sekarang bergantung Anda kapan saatnya mengatakan kalimat bersyukur dan kalimat mohon ampunan Allah tersebut. Ketika Anda dipercaya menjadi pemimpin, silahkan mau mengucapkan apa.




Selanjutnya......

Jumat, 01 Mei 2009

Musim Caleg Gugur

(Kebangkrutan Mental dan Abunawas Sindrom)

Batam Pos, Jumat, 01 Mei 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School.

Pemilu legislatif baru saja berakhir. Para caleg yang sudah habis-habisan berkampanye sudah diketahui hasilnya. Mereka tidak hanya terkuras tenaga dan pikirannya, tetapi juga biaya serta mental.


Jika dilihat pada masa kampanye, paling tidak ada tiga golongan caleg. Pertama, caleg dengan modal kecil. Harapan lolos juga kecil seimbang dengan modal yang dikeluarkan. Apabila gagal tidak menjadi beban besar. Caleg tipe ini lebih siap kalah dibanding siap menang.

Kedua, caleg dengan modal sedang. Harapannya masih sebatas biasa-biasa saja. Lebih cendrung adu keberuntungan. Jika tidak lolos, tidak begitu berisiko pada kondisi mental. Modal tanggung depresinya juga tanggung.

Ketiga, celeg dengan modal besar. Tidak hanya berharap besar untuk lolos, tapi harapannya sudah mengarah pada ambisi. Bagaimana jika gagal? Sudah bisa ditebak! Mereka rentan stres berat, depresi berat, bahkan berisiko mengalami psikosa (sakit mental).

Para caleg gagal yang mengalami depresi berat disebabkan tidak adanya keseimbangan mental. Harapan tinggi, modal besar, begitu sadar dirinya gagal mental langsung drop. Beban mental dirasakan terlalu berat. Jika seorang caleg gagal mulai sering marah-marah, ngoceh sendiri, kemudian termenung, itu bisa jadi pertanda si caleg gagal sudah terganggu kesehatan jiwanya. Silahkan perhatikan caleg gagal di sekitar Anda !

Lihat saja beberapa kasus, mereka mengalami sakit mental disebabkan terlilit hutang. Tidak hanya mengalami kebangkrutan modal (materi), namun juga kebangkrutan mental. Manakala modal ratusan juta hingga miliaran berbuah kekalahan harapan sirna. Menjadi anggota dewan dipandang sebagai posisi terhormat. Ketika harapan itu sirna, seakan kehormatannya juga runtuh. Di sinilah sebenarnya pentingnya belajar mentransformasi mental.

Ada dua hal sederhana yang membuat orang gampang mengalami stres dan depresi. Pertama, disebabkan salah persepesi. Harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kedua, displacement activity, perilaku salah arah tidak sama dengan pikiran. Caleg gagal sangat rentan mengalami keduanya.
Cara sederhana dalam menetralisir keduanya adalah membuat berbagai alternatif. Kemudian, terus mencari alasan untuk berpikir postif. Sehingga sampah-sampah pikiran tidak terus melekat pada pikiran yang lambat laun membusuk dalam hati.

Ego memiliki peran penting dalam mengontrol, mengendalikan serta menetralisir berbagai gelombang pikiran. Para caleg gagal tidak ada salahnya mencontoh Abunawas dalam menetralisir mental ketika egonya terusik. Kelihatannya konyol, tapi paling tidak bisa menetralisir stres dan depresi berat.

Misalnya, ketika Abunawas mengikuti shalat jenazah dengan khusuk berada di shaf depan. Tapi ada yang janggal apa yang dilakukan oleh Abunawas. Yang semestinya shalat jenazah hanya dilakukan dengan posisi berdiri (tidak harus memakai sujud, rukuk dan seterusnya layaknya shalat lima waktu) malah Abunawas melakukannya.

Sikap Abunawas ini mengundang pertanyaan bagi jamaah. ”Kenapa engkau memakai sujud dan rukuk hai Abu? kan mestinya cukup berdiri saja?” tanya seseorang di sebelahnya. Dasar Abunawas, dengan otak cerdiknya dia menjawab enteng “Orang yang mati ini banyak dosanya, sehingga harus memakai rukuk dan sujud,”.

Mengacu pada teori psikoanalisa Sigmund Freud, dalam dinamika diri manusia memiliki Ego Devent Mekanisme. Ini sangat kuat memberikan alasan-alasan demi untuk membela egonya. Kondisi seperti ini dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali. Apalagi para caleg yang gagal.

Dalam teori psikoanalisa, ego merupakan kesatuan inti manusia. Maka ancaman terhadap ego ini merupakan ancaman pula terhadap eksistensi manusia. Kondisi ini terjadi manakala keadaan mengancam keutuhan integritas pribadinya. Ego Devent Mekanisme ini sendiri sebenarnya tidak realistis dan mengandung unsur penipuan diri sendiri serta distorsi realitas.

Mekanisme itu sangat penting. Sebab berfungsi untuk memperlunak kegagalan, menghilangkan kecemasan, mengurangi perasaan yang menyakitkan karena pengalaman yang tidak mengenakkan. Dan juga untuk mempertahankan perasaan layak dan harga diri. Abunawas ahli dalam melakukan ini!

Dari sekian banyak bentuk pembelaan ego ada beberapa bentuk pembelaan ego yang sering dilakukan oleh kita, seperti Rasionalisasi. Ini adalah berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang ia lakukan yang sebenarnya kurang baik, namun dirasionalkan adanya, dapat dibenarkan dan dapat diterima adanya.

Misalnya, ketika caleg ditanya kenapa sampai gagal, caleg tersebut dengan enteng akan menjawab “Sebenarnya yang memilih saya banyak cuma kurang beruntung saja”, padahal intinya ada rasa gengsi mengakui kekalahannya. Rasional menurut dia tapi terkadang akan menjadi lelucon bagi orang lain.

Bentuk ego devent mekanisme lainnya adalah Reaksi Formasi. Yaitu, mengalihkan kegagalannya agar bisa diterima oleh orang lain. Seperti kisah seekor ruba yang tidak bisa meraih anggur, padahal sudah berusaha keras. Akhirnya si ruba mengumumkan pada hewan-hewan lainnya ”Jangan diambil anggur itu, rasanya pahit makanya aku gak mau mengambilnya.”

Caleg yang gagal rentan menggunakan ego devent mekanisme model ini. Mengetahui dirinya gagal maka akan berkoar-koar ”Jadi anggota dewan gak enak, banyak kasus, untung aku gak jadi.” atau akan berkata ”Saya siap kalah demi memberi kesempatan pada yang lain aja kok.”

Bentuk ego devent mekanisme yang juga sering dijadikan andalan caleg gagal adalah Regresi. Bentuk pembelaan ego yang ditandai sikap kemunduran, merajuk layaknya anak kecil. Karena gagal, kecewa akhirnya pindah ke parpol lain. Sepertinya banyak dari kita yang telah belajar dari lelucon Abunawas.

Kita harus banyak mengoreksi diri dengan sedikit meluangkan waktu berpikir bening, jujur pada segenap keterbatasan. Bersikaplah sahaja, tidak larut dalam kebohongan-kebohongan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakannya.

Semakin kuat rasa anarki absolut pada diri kita, terlebih demi kekuasaan, jabatan, dan tidak adanya rasa qanaah. Maka akan melahirkan rasa ketakutan yang selalu menghantui diri kita. Di situlah Abunawas Sindrom akan menjadi komuditas pembenaran sampai melampaui batas sekala logika. ***


Selanjutnya......

Minggu, 19 April 2009

Kekuatan Sastra Al-Qur'an Menata Moral Jahiliah

BatamPos, Minggu, 19 April 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa (Penulis dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Ketika pertama kali al-Qur'an diturunkan, dalam hati masyarakat Arab ketika itu ada dua perasaan yang tidak bisa ditutupi. Pertama, harus mengingkari (gengsi) kalau al-Qur'an adalah firman Allah. Kedua, mereka tidak percaya bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa membuat syair seindah itu.

Sebagaimana dicatat oleh sejarah beliau seorang ”ummi” yang tidak bisa membaca, dan menulis. Tapi kemudian Allah SWT menganugerahkan kepada beliau sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur'an.

Kekuatan al-Qur'an bukan hanya dari keindahan ayat-ayatnya, melainkan juga makna yang teramat dalam namun gampang dicerna. Ketakjuban mereka pada al-Qur'an muncul karena adanya semacam gairah terhadap kesusastraan. Tolak ukur ilmiah sebuah syair saat itu adalah sastra. Oleh karena itu, ketika mereka menerima al-Qur'an pun senantiasa diuji dengan sastra, terutama keindahan bahasa, retorika, dan gayanya.

Sangat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mengisahkan tentang kehidupan para nabi dan rasul. Kisah-kisah tersebut terdapat muatan puisi dan prosa maha tinggi. Silahkan baca kisah nabi Adam dan Hawa. Bagaimana Adam ketika di syurga merasa kesepian. Adam memohon kepada Allah agar diberi teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuknya.

Di situlah Adam harus belajar memahami hati, perasaan dan jiwa seorang wanita yang tercipta dari tulang rusuknya. Sangat sulit bagi Adam, karena harus hati-hati, apabila terlalu dikerasi akan patah, namun apabila dibiarkan akan bengkok selamanya. Sehingga kisah berikutnya sampai Adam memakan buah khuldi, dan akhirnya diturunkan ke dunia dan berlanjut pada kisah anak-anaknya. Sungguh kisah yang menakjubkan bukan?

Begitu juga kisah nabi Musa, Isa, Yusuf, Sulaiman, Daud, dan cerita kaum Ad dan Thamud, cerita Ashabul Kahfi, Ashabul Fil, Isra'-Mi'raj, semua itu merupakan kisah-kisah dalam bentuk prosa dan puisi.

Hasil penelitian Shahnon Ahmad (1977) dari Malaysia menunjukkan ada sebanyak 227 surat Alqur’an yang merujuk para penyair, terutama penyair jahiliyah. Dalam surat-surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah), terutama yang pendek-pendek, struktur stilistik (gaya) dan bahasa sangat bertumpu pada struktur puisi. Kata alif, lam, mim, ya, ain, shod, menunjukkan stilistik yang sama dengan puisi.

Rasulullah membawa agama Islam merupakan berkah bagi umat manusia sedunia. Pada saat itu bangsa Arab hidup dalam kehidupan jahiliah. Di situlah Rasulullah membawa misi memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah.

Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak tertata. Mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut dan bersalah. Seperti mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya sudah menjadi kebiasaan mereka.

Padahal bangsa jahiliah bukan bangsa bodoh. Bahkan, tingkat kesusastraan mereka sudah sangat tinggi. Ketika itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair. Sehingga kekuatan sastra dalam al-Qur'an mampu menundukkan hati kaum jahiliah dan menata moral mereka.

Sudah banyak riwayat diceritakan bagaimana pesona keindahan bahasa dan stilistika al-Qur'an yang mampu menggugah orang bahkan terpengaruh olehnya. Kisah masuk Islamnya pujangga al-Walid bin al-Mughirah yang diutus oleh suku Quraisy untuk berdialog dengan nabi Muhammad.

Atau kisah terpesonanya Umar bin al-Khattab terhadap al-Qur'an hingga ia masuk Islam. Umar bin Khattab terkenal berhati baja dan kehidupannya terpola dengan arus jahiliah, harus mengendap-ngendap agar bisa mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an yang dilantunkan putrinya. Hati Umar sangat luluh dengan keindahan bahasa dan gaya dalam al-Qur'an.

Teramat luas apabila mengkaji nilai-nilai sastra dalam al-Qur'an. Namun, intinya belajar sastra bisa dijadikan pijakan untuk mengkaji kehidupan. Allah maha tahu terhadap apa yang sampaikan melalui ayat-ayatNya dengan nilai-nilai sastra maha dahsyat.

Allah Maha Indah, maka sudah tentu firmannya juga sangat indah. Sehingga memahami al-Qur'an yang indah disyaratkan dengan pendekatan yang mampu menguak tabir keindahannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan dengan kajian sastra, Insya Allah.

Sastra memuat nilai-nilai akhlak, moral, filsafat, budaya, politik, sosial dan pendidikan. Sangat tepat kalau Sayidinah Umar Bin Khathatab berpesan “Ajarkan sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani.” Karena sastra tidak hanya melembutkan hati tapi juga menumbuhkan rasa cinta kasih, motivator hidup, dan rasa cinta kepada sang pencipta.

Jadi sangat beralasan yang diterapkan di negara-negara maju, salah satu untuk membendung moralitas anak-anak muda adalah dengan sastra. Mungkin karena kekuatan sastra yang merasuk pada hati pelajar, sehingga moralitas mereka bisa tertata.

Sudah terbukti, di negara-negara maju tidak banyak siswa sekolah yang berperilaku barbarian seperti mencorat-coret baju seragamnya setelah dinyatakan lulus. Atau, tidak ada kasus perkelahian antar pelajar, karena hampir semua siswa di sekolah sudah memiliki etika dan budi pekerti yang diserapnya dari karya-karya sastra yang dibacanya.

Ini luar biasa, sastra mampu menata etika mereka. Padahal remaja yang hidup di negara-negara maju memiliki kebebasan tinggi. Ini mungkin salah satu rahasia Allah menurunkan al-Qur'an dengan nilai-nilai sastra maha dahsyat. Tak heran apabila masyarakat Arab yang dikenal jahiliah bisa ditaklukkan jiwanya dan bergetar hatinya mendengar ayat-ayat Allah. Pastinya, masyarakat jahiliah modern dewasa ini akan tertata ahlak dan moralnya jika terus menggali nilai-nilai al-Qur'an. ****



Selanjutnya......

Selasa, 07 April 2009

Abunawas Syndrome, Antara Refleksi Diri dan Kecemasan

By: Mahmud Syaltut Usfa

Ketika Abunawas mengikuti shalat jenazah dia berada di shaf paling depan, dengan khusuknya Abunawas mengikutinya. Tapi ada yang janggal apa yang dilakukan oleh Abunawas. Yang semestinya shalat jenazah hanya dilakukan dengan posisi berdiri saja atau tidak usah memakai sujud, rukuk, tahayyatul akhir layaknya shalat lima waktu umumnya, eh....malah Abunawas melakukannya.

Entah disengaja atau tidak atau barangkali karena memang ketololan Abunawas. Tapi yang jelas itu mengundang pertanyaan bagi jemaah yang lain "Kenapa engkau memakai sujud dan rukuk hai Abu..? kan mestinya cukup berdiri saja..?" tanya seseorang disebelahnya. Dasar Abunawas, dengan otak cerdiknya dia menjawab enteng "Orang yang mati ini banyak memiliki dosa, sehingga harus memakai rukuk dan sujud,".

Abunawas yang hidup pada zaman kerajaan Harun Ar-rasyid di Baghdat memang sangat terkenal memiliki otak cerdik dan tolol tapi dengan ketololannya itulah sang raja sering dibuat bulan-bulanan olehnya. Setiap orang yang mendengar atau membaca kisah-kisah Abunawas akan dibuat tertawa. Padahal, sebenarnya kisah-kisah ketololnnya adalah merupakan kisah perjalanan ketololan diri kita sendiri.

Orang yang menertawai si Abunawas layaknya proyeksi menertawakan ketololan diri kita sendiri. Apalagi hidup pada zaman yang serba harus berpacu dengan cepat untuk mendapatkan posisi, jabatan, dan lain-lain. Terkadang harus ada pemaksaan-pemaksaan diri yang sebenarnya diluar kompetensi kita. Semakin banyaknya keberhasilan-keberhasilan dan semakin tingginya kedudukan kita maka akan semakin kuat terhadap munculnya rasa gengsi,takut, malu yang terkadang menjadi tidak rasional.

Mengacu pada teori psikoanalisa Sigmund Freud, dimana dalam dinamika diri manusia memiliki "Ego Devent Mekanisme" yang sangat kuat untuk mampu memberikan alasan-alasan demi untuk membela "egonya". Kondisi seperti ini dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali termasuk dari berbagai usia anak-anak, dewasa atau orang tua.

Hanya yang paling rentan dan kerap menghantui untuk melakukan Ego Devent Mekanisme adalah dari kalangan-kalangan yang memiliki posisi, power atau jabatan. Karena mereka sangat rentan sekali untuk mendapat kritikan-kritikan bahkan ketakutan untuk dijatuhkan dari kursi empuknya.

Mereka harus memiliki senjata ampuh yaitu silat lidah dan seribu alasan layaknya Abunawas walau terkadang harus rela menjadi "lelucon publik" karena dipandangnya suatu ketololan dan sangat-sangat tidak masuk akal.

Seorang Abunawas hanyalah rakyat kecil yang tidak akan banyak memberikan pengaruh publik terhadap reputasinya walau terkadang selalau merepotkan sang raja. Berbeda apabila seorang raja yang selalu berpikir cerdik dan tolol untuk membela diri dengan argument-argument cerdiknya. Tentu akan menggoyangkan jabatan sang raja karena sudah berkurang reputasinya dimata rakyat.

Dalam teori psikoanalisa, Ego merupakan kesatuan inti manusia, maka ancaman terhadap ego ini merupakan ancaman pula terhadap eksistensi manusia. Karena itu, setiap individu perlahan-lahan telah belajar memakai berbagai Mekanisme pembelaan egonya. Apabila dialaminya suatu keadaan yang mengancam keutuhan integritas pribadinya. Mekanisme itu sangat penting sebab berfungsi untuk memperlunak kegagalan, menghilangkan kecemasan, mengurangi perasaan yang menyakitkan karena pengalaman yang tidak mengenakkan dan juga untuk mempertahankan perasaan layak dan harga diri.

Ego Devent Mekanisme merupakan kondisi jiwa yang normal, kecuali sudah terjadi sedemikian keras dan kebiasaan yang sudah tidak mampu untuk dikontrol. Sehingga bukan lagi membantu tetapi malah menganggu integritas pada pribadinya. Ego Devent Mekanisme ini sendiri sebenarnya tidak realistis dan mengandung unsur penipuan diri sendiri serta distorsi realitas. Karena itu ini mempunyai kelemahan dan dapat mempunyai akibat yang tidak baik. Dan sebagian Mekanisme ini bekerja dengan tidak disadarinya, sehingga memang sukar untuk dinilai dan dievaluai secara sadar.

Dari sekian banyak bentuk pembelaan ego ada beberapa bentuk pembelaan ego yang sering dilakukan oleh kita, yaitu Rasionalisasi, adalah berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang ia lakukan yang sebenarnya kurang baik adalah dirasionalkan adanya, dapat dibenarkan dan dapat diterima adanya. Misalnya, ketika sorang murid mengajukan pertanyaan kepada gurunya,akan tetapi karena guru tersebut tidak tahu jawabannya maka dengan enteng dia menjawab "badan kurang enak" atau "pertanyaan itu terlalau mudah", padahal intinya ada rasa ketakutan, gengsi yang ditimbulkan karena tidak bisa menjawab atau barangkali takut jawabnnya salah. Contoh lagi jawaban-jawaban pembenaran lainnya seperti "Bukan korupsi, hanya uang jasa" atau "toh tidak diminta" dan sebagainya. Rasional menurut dia tapi terkadang akan menjadi lelucon bagi orang lain.

Ada tanda-tanda bahwa ada rasionalisasi pada pernyataan orang tersebut seperti: Mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan atau kepercayaannya, kedua tidak sanggup mengenal hal-hal yang tetap atau bertentangan dan menjadi bingung atau malah marah bila alasannya diragukan orang. Sepertinya banyak dari kita yang telah belajar dari "lelucon" Abunawas hanya terkadang kita tidak tahu apa itu namanya, bahkan betapa kuatnya pembelaan ego kita apabila apa yang diyakininya sangat tidak rasional diterima oleh akal terlebih dari pandangan publik tetapi diri kita mengatakan "rasional dan mereka yang tolol".

Kita terkadang memang harus banyak belajar dari Abunawas sebagai referensi ego untuk mengoreksi diri kita. Apa yang kita pandang benar terkadang merupakan ketololan bagi orang lain. Kita sudah terlalu asyik menertawakan orang lain padahal pada hakekatnya kitalah yang semestinya terlebihdahulu harus ditertawakan.

Mungkin kita harus segera banyak-banyak mengoreksi diri dengan sedikit meluangkan waktu untuk berpikir bening, jujur pada segenap keterbatasan kita, kesahajaan serta tidak larut dalam kebohongan-kebohongan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakannya.

Semakin kuatnya rasa "anarki absolut" pada diri kita terlebih karena adanya kekuasaan, jabatan, dan tidak adanya rasa "Qanaah" maka akan melahirkan rasa ketakutan yang selalu menghantui diri kita, disitulah "Abunawas Syndrome" akan menjadi komuditas pembenaran bagi diri kita sampai melampaui batas sekala logika.

Nampaknya kita harus siap menertawakan diri kita sendiri bahkan seorang pemimpin sekalipun harus siap ditertawakan anak kecil apabila memunculkan kecerdikan, lelucon atau ketololan seperti layaknya Abunawas yang siap ditertawakan siapaun juga dalam kisah-kisah leluconnya.





Selanjutnya......

Sabtu, 14 Maret 2009

Menengok Wajah Otonomi Pendidikan Kita

Batam Pos, Selasa, 23 Desember 2008

Oleh : Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Membicarakan wajah pendidikan di Indonesia secara umum dan daerah secara khusus selalu menarik. Pendidikan adalah jantung terhadap kemajuan bangsa ke depan. Yang diharapkan tentu saja perubahan. Baik perubahan sikap, perilaku, mental, serta pola pikir.

Untuk mencapai perubahan tersebut dibutuhkan tekat kuat dari segenap elemen yang terkait dalam dunia pendidikan. Otonomi sekolah akhir-akhir ini menjadi pembicaraan luas. Karena ada harapan yang sangat prospektif apabila otonomi pendidikan betul-betul berjalan mulus.

Lahirnya otonomi pendidikan diharapkan setiap sekolah mampu memberikan kualitas pada proses belajar mengajar bagi anak didik. Kesempatan ini bukan hanya sebagai tantangan, melainkan bisa menjadi pemicu (trigger) serta terbukanya kesempatan luas bagi setiap sekolah untuk terus berkompetesi. Dalam arti, terus mengembangkan potensi demi menciptakan iklim dunia pendidikan yang bermutu.

Harus disadari, dalam otonomi pendidikan, terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi, karena kepala daerah dewasa ini, memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing melalui Sistem Rekruitmen Guru, Rekruitmen Siswa, Pembinaan Profesionalisme Guru, Rekruitmen Kepala Sekolah, Penentuan Sistem Evaluasi, dan sebagainya.

Jadi, dalam era otonomi berbicara dengan kualitas pendidikan dasar dan menengah tingggal bergantung bagaimana keinginan daerah. Jika kita meminjamkan terminologi School Based Manajemen, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing.

Jujur saja, jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan steackholder.

Jika pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengkedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah. Maka, dapat dipastikan pendidikan di daerah akan memiliki praksis yang baik. Dengan demikian kualitas pendidikan akan bisa ditegakkan.

Sebenarnya kalau mampu diterapkan dengan maksimal, kurikulum berbasis tingkat satuan pendidikan adalah angin segar dan pencerahan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Karena, penerapan KTSP memberi ruang kepada para pendidik untuk menggodok kurikulum sendiri seiring dengan otonomi daerah.

Tentu saja, sesuai dengan budaya, iklim lingkungan, serta serasi dengan kondisi sosial budaya masyarakat. KTSP juga memberi ruang kepada sekolah untuk menerapkan program unggulan serta karakteristik sekolah itu sendiri. Baik keunggulan dari sisi sains, religius, dan sebagainya.

KTSP mememiliki beberapa kelebihan. Pertama: Memberi ruang atau mendorong terwujudnya kemandirian atau otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kegagalan pendidikan yang selama ini terjadi di Indonesia salah satunya karena adanya penyeragaman kurikulum.

Sehingga yang terjadi, tidak adanya mengharagai potensi lokal. Dengan kata lain kurikulum terdahulu memaksakan kualitas pendidikan yang sama antara di daerah (hinterland) dengan perkotaan. Atau dengan kata lain, terjadinya penyeragaman di berbagai daerah berbeda. Misalnya, antara masyarakat nelayan, pertanian. Sehingga, potensi di daerah tidak terserap guna memberi input bagi anak.

Kedua: Mendorong setiap sekolah untuk menitik beratkan pengembangan terhadap mata pelajaran unggulan yang sesuai bagi kebutuhan itu sendiri di tengah masyarakatnya.

Ketiga: Mendorong para kepala sekolah, guru serta pihak manajemen sekolah untuk semakin kreatif dalam meningkatkan program-program pendidikan.

Keempat: Adanya kompetensi positif bagi penyelenggara pendidikan dalam memberi nilai-nilai postif.
Kelima: Memberi peluang kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Model pendidikan holistik ini adalah pendidikan yang secara eksplisit ditujukan untuk mengembangkan seluruh dimensi manusia. Yaitu, aspek akademik (kognitif), emosi (afektif), sosial, spiritual, motorik, dan kreatifitas.
Sebenarnya, konsep pendidikan ini sudah menjadi trend pembaruan sistem pendidikan yang dianggap cocok untuk abad ke 21. Tentu saja, ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan kita yang harus dijawab dengan bukti dan kerja keras untuk terus melakukan pembenahan.

Reformasi pendidikan di Jepang misalnya, ada tiga kalimat kunci yang sering disebut, yaitu kokoro-no-kyoiku (pendidikan untuk hati, jiwa, atau kedirian manusia), sogogakushyu (pembelajaran holistik), dan tokushyoku, koseika (keunikan masing-masing sekolah dan masing-masing individu).

Contoh lain yang tidak keliru kalau harus menjadi komparasi kita. Ministry of Education of British Columbia, Canada. Pada tahun 2000 juga mencanangkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, serta aspek tanggung jawab sosial.

Ternyata, perubahan ini telah membawa iklim perubahan baik dari segi manajemen sekolah (otonomi penuh), maupun kurikulum dan metode pembelajaran di kelas.

Lantas, bagaimana dengan wajah pendidikan kita, khususnya di Batam? Lagi-lagi kita harus menjawab dengan berpikir dan terus menganalisa dari kacamata logik dan objektif.

Kita tidak harus terlalu muluk-muluk melakukan revolusi pendidikan. Namun harus jujur, dalam melaksanakan perubahan memang dibutuhkan sebuah revolusi paradigma pendidikan. Karena memerlukan berbagai metode, strategi, dan teknik pembelajaran yang berbeda dengan sistem pendidikan sebelumnya.

Contoh ringan saja, dengan masih banyaknya sekolah-sekolah yang menerapkan metode klasik. Dengan kondisi kelas yang sunyi, anak duduk dengan pasif dan hanya menyimak serta mencatat. Padahal, kalau kita mau jujur, suasana proses belajar mengajar seperti itu sangat-sangat tidak efektif.

Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat meningkatkan semangat siswa adalah dengan berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan bermain (fun learning). Sehingga kemampuan verbal dan motoriknya berkembang, termasuk juga kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking).

Nah, inilah masalah yang sering kita hadapai ketika mengikutsertakan pelatihan para guru untuk mengubah metode pembelajaran di kelas. Yaitu berupa ketakutan dan keengganan para guru untuk memperbaiki metode pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teori-teori yang berlaku. ***


Selanjutnya......

Paradigma Ibnu Hajar dan Ponari

Batam Pos, Jum'at 13 Maret 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Antara Ibnu Hajar dan Ponari sama sekali tidak ada hubungan darah. Bahkan. Keduanya dipisahkan oleh tatanan sosial budaya dan waktu yang sangat jauh. Namun, mereka sama-sama mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dari batu.

Nasib keduanya berubah karena paradigma terhadap batu. Ibnu hajar mendapat motivasi yang luar biasa karena melihat fenomena batu. Sedangkan Ponari, terpola sugesti mistisnya setelah mendapat batu pada pertengahan Bulan Januari 2009 yang diyakini ajaib.

Mari kita sedikit bedah kisah keduanya. Ibnu Hajar Al-’Asqalani, lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Ketika masih belajar kepada seorang guru, dia dianggap nalarnya tidak bisa mengikuti pelajaran. Maka oleh Dewan Guru dikeluarkan dari sekolah.

Ditengah kesedihan, ketika ‘Asqalani sedang berjalan, ia melihat air yang menetes ke atas sebuah batu. Tetesan air yang sekali-sekali itu ternyata bisa membuat permukaan batu itu menjadi cekung dibuatnya. Ibnu Hajar berkata kepada dirinya sendiri “Batu saja bisa berlubang karena ditetesi air setiap hari. Berarti otak/kepala saya bisa juga kalau dimasuki ilmu setiap hari“.

Dia pun segera menemui gurunya dan menjelaskan peristiwa yang baru dilihatnya itu. Singkatnya, si Guru berkenan untuk menerimanya sebagai murid. Dengan semangat itu, As Qalani belajar terus dengan sabar dan kemauan yang kuat.

Sejarah mencatat berkat kemauan belajarnya yang membaja ia berhasil menjadi seorang ulama besar yang amat disegani pada zamannya. Ibnu Hajar yang bermakna “batu” di depan namanya, merupakan kenang-kenangan yang diperolehnya. Dan sekarang banyak dikenal orang sebagai Imam dan Ulama’ Ahlussunnah yang mensyarahkan Shohih Bukhori dengan Kitab Fatul Bari’nya.

Lain halnya dengan Ponari, saat ini namanya menjadi fenomena besar di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Bukan sekadar fenomena mistik. Tetapi sudah merembet kepada persoalan realitas sosial masyarakat miskin, pelayanan kesehatan, rendahnya pendidikan, serta kaitan mata rantai budaya.

Lantas, apa sebenarnya batu ajaib milik Ponari dukun cilik asal Megaluh Jombang sehingga menggegerkan Jawa Timur itu?

Sebagaimana diberitakan di berbagai media, kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak berwarna coklat kemerahan itu cukup dramatis dan bernuansa mistis. Dari cerita Ponari, batu itu ditemukan secara tidak sengaja. Yakni saat hujan deras mengguyur desanya.

Sebagaimana bocah-bocah seusianya, Ponari bermain-main di bawah guyuran hujan lebat yang sesekali diiringi suara geledek. Pada saat itu, lanjut Ponari, bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.

Sejurus kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari merasakan ada batu berada di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar warna merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang dan diletakkan di meja.

Menurut Ponari, batu ajaib itu ditunggu dua makhluk gaib, laki-laki dan perempuan bernama Rono dan Rani. Dua makhluk gaib itulah yang selama ini memberikan amanat kepada Ponari untuk menolong orang sakit melalui batu yang ditemukannya.

Dari pengalaman keduanya, ada hal penting yang menarik dikaji. Walau sama-sama belajar dari batu. Namun, tetap ada perbedaan mencolok, yaitu antara kekuatan motivasi (Ibnu Hajar) dan kekuatan sugesti. (Ponari).

Ibnu Hajar telah mendapatkan motivasi luar biasa setelah melihat fenomena batu. Motivasi merupakan energi positif yang terus bergerak dinamis dalam diri seseorang. Bukan bersifat insidential, prematur, instan, apalagi mistis. Tetapi terus berproses jangka panjang hingga menjadi kekuatan besar untuk melakukan perubahan.

Sehingga hasil yang didapat akan abadi dan terus melekat sepanjang hidupnya. Dalam motivasi biasanya muncul inferiority. Yaitu menantang dirinya untuk maju, membentuk kembali, atau bahkan mengubah hidupnya. Juga disertai trigger (pemicu) yang memberikan pencerahan. Misalnya memiliki keyakinan “Kalau orang lain bisa kenapa saya tidak!.” Dan pola pikir tersebut terus terpatri dalam dirinya. Makanya motivasi tidak mudah goyah, sebab di dalamnya tidak kropos.

Karena kekuatan motivasi itu pula, bagaimana seorang Ibnu Hajar yang oleh gurunya dinilai sebagai anak yang bodoh bisa menjelma menjadi ulama besar.

Nama Ibnu Hajar Al-Atsqolani adalah seorang ulama besar di abad sembilan, pakar hadits dan fikih. Pemimpin para penghafal di jamannya, ulama hebat di Mesir dan bahkan di seluruh dunia.

Kitab-kitab karangan beliau banyak sekali, diantaranya: Kitab Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minhaj (10 jilid besar), sebuah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i yang sampai saat ini dipakai dalam sekolah-sekolah Tinggi Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Luar biasa “si anak batu” ini !!

Lain halnya dengan Ponari. Fenomena yang terjadi pada dirinya sebagai kekuatan sugesti disebabkan kepercayaan pada mistis melalui batu. Ponari begitu yakin kalau batu yang diperolehnya memiliki kesaktian. Batu telah mensugesti pola pikirnya. Hingga akhirnya kekuatan sugesti betul-betul mengalir dan masuk ke jiwa masyarakat.

Mereka berbondong-bondong “tersihir” cerita dari mulut ke mulut dan pemberitaan di media secara besar-besaran. Kenapa sampai begitu besar kekuatan sugesti? Analogi yang sangat sederhana, karena ketika sakit yang diharapkan hanya kesembuhan. Tak peduli apakah itu mistis, tahayul, atau hanya sugesti belaka, yang penting sembuh! Karena beberapa orang sudah membuktikan, maka yang lain pasti ikut.

Namun, sugesti yang terjadi pada Ponari sangat begitu rapuh. Keyakinan secara instant seperti itu tidak akan berlangsung lama. Apalagi kalau sampai batu yang dipegangya dipandang tidak manjur lagi. Maka segala kekuatan mistis yang merasuk pada dirinya akan rontok secara otomatis. Sugesti juga akan pudar seiring terkikisnya kepercayaan. Hal ini terjadi, karena sugesti Ponari tidak memiliki fondasi trigger yang kokoh layaknya motivasi Ibnu Hajar.

Lihat saja akhir-akhir ini. Banyak pasien Ponari merasa kecewa karena airnya tidak mampu menyembuhkan penyakitnya. Akibatnya, mereka datang ke dukun lain yang diinilai memiliki batu lebih sakti lagi. Fenomena Ponari hanya akan menjadi cerita. Tidak akan meninggalkan jejak ilmiah apa-apa. Bahkan, bukan tidak mungkin pada suatu saat akan muncul cemoohan dari masyarakat yang merasa dibodohi.

Saat ini masyarakat Jawa Timur dan di Indonesia umumnya sedang belajar dari batu. Entah siapa lagi yang akan mendapat ”batu ajaib”. Bisa saja saya atau Anda akan memperoleh batu bertuah. Asal kekuatan sugesti mampu menembus keyakinan kita, kenapa tidak?!

Kita berharap masyarakat dan pemeritah bisa belajar dari batu Ponari. Sehingga batu si dukun cilik tersebut tidak sekadar menjadi sugesti belaka. Tetapi juga menjadi motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik lagi. Baik perubahan pada peningkatan pendidikan, peningkatan kesehatan, serta pola pikir ke depan.





Selanjutnya......