Kamis, 03 Juni 2010

Sukses karena Sukses dari Tantangan

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Tak seorang pun bisa menjalani hidup ini dengan mulus bebas hambatan. Dalam perjalanannya pasti ada kerikil-kerikil sebagai tantangan. Bagi orang-orang yang bijak, tantangan itu dipandang sebagai motivasi. Sebaliknya, bagi mereka yang berpikir kerdil, justru dipandang sebagai kesulitan.

“Pandanglah tantangan hidup di depan kita sebagai batu loncatan, bukan sebagai tembok penghalang..!!

Tak heran, jika banyak dari mereka yang suskes karena bijak dalam menghadapi tantangan hidup. Menyerah sama halnya menyia-nyiakan kesempatan untuk sukses. Bahkan, banyak dari mereka yang harus jatuh bangun dari keterpurukan, namun akhirnya bisa bangkit dan sukses. Semakin berat tantangan, itu sebagai pertanda keberhasilannya juga akan tinggi. Ada hukum sebab akibat dari keduanya.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman “Aku tidak akan memberi beban di luar kemampuan hambaku”. Allah sudah menjamin, bahwa segala tantangan bukan sebagai kesulitan. Tak mungkin Allah berbohong!! Allah tahu betul takarannya, tantangan seperti apa yang ‘layak’ diujikan kepada hambanya.

“Di saat menghadapi ujian hidup, tidak perlu berdo'a agar ujian itu berlalu, tapi berdo'alah agar diberi kekuatan untuk menghadapi dan melaluinya. Karena ujian itu pertanda kita memiliki kualitas yang akan Allah tingkatkan derajatnya.”

Peristiwa demi peristiwa sudah menjadi catatan rutin dalam lembar kehidupan kita. Tak ada yang bersih. Pasti penuh dengan coretan. Jika kita mampu memaknai coretan itu, maka kita akan menjadi pribadi yang tenang. Karena di balik semua itu pasti ada hikmah.

“Orang yang mampu membaca hikmah akan memandang segala kejadian ibarat melihat mutiara, dipandang dari sudut mana pun akan tetap bening.”

Sudah sangat banyak kisah orang-orang sukses di sekitar kita karena mereka tangguh menghadapi tantangan hidup. Kesabaran, ketenangan, keuletan, akhirnya berbuah keberhasilan. Ada orang yang dulunya banyak dicibir tetangganya. Tapi karena menyikapi kondisi itu dengan bijak, akhirnya menjadi orang sukses.

Bahkan, tak jarang banyak dari mereka pada masa lalunya kerap dihina, dikucilkan, difitnah, diremehkan, tapi masa depannya justru berubah drastis. Orang-orang yang dulunya usil malah menjadi segan, bahkan minta bantuan karena hidupnya tidak sukses.

“Ingat !! Bukan peristiwanya yang penting, tapi respon terhadap peristiwa itulah yang dapat memunculkan intisari pemaknaan hidup yang sesungguhnya.”

Sangat baik jika kita berkaca pada orang-orang sukses dunia. Sebut saja Thomas Alva Edison. Laboratorium ilmuan hebat itu pernah terbakar. Tanpa peristiwa itu mungkin saat ini kita masih hidup dalam kegelapan.

Begitu juga dengan Kolonel Sanders. Bos Kentucky Fried Chicken itu pun pernah jatuh bangun bertubi-tubi berupa penolakan. Tapi dirinya tidak sedikit pun frustasi. Hingga sekarang kita bisa menikmati gurihnya Kentucky Fried Chicken karena kegigihan dia bangkit dari keterpurukan. Bahkan Galileo Galilei harus dihukum mati sekadar untuk membuktikan bahwa bumi ini bulat.

Mudah-mudah tulisan ini sedikit bisa memberi motivasi bagi kita, khususnya diri saya untuk selalu berpikir bijak dari segala tantangan hidup. Semakin hebat tantangan, makan akan semakin hebat keberhasilan menyongsong kita. Kecuali kita merasa lemah dan takut untuk bangkit, bersiap-siaplah menjadi orang yang terpuruk dalam keabadian, nauzubillahminzaliq !!


Selanjutnya......

Syair Sufistik - Mahmud Syaltut Usfa

Beratnya Mengikat Nafsu

Ikatlah segala nafas di tubuhku
Agar nafsu tak mampu menuntun langkahku
Dosa-dosa ini terlalu liar berjalan
Segenap penjuru mata tubuhku telah dibutakan

Haruskah tubuh lemahku diipanggang di neraka?

Langkah ini sudah begitu penat
Mengambara di ruang relegi
Tanpa tahu nasib badan ketika bersaksi kelak

Seluruh langkahku akan berkata lugu
Roh hanya tertegun menanti keadilan
Hanya ada dua kata
Ke surga atau neraka

Begitu kerdilkah tuhan menakar nasib abadi hambanya?

Aku hanya tahu tuhan itu baik sama kita
Aku hanya mendengar tuhan itu maha pengasih dan penyayang
Aku hanya dapat merasakan tuhan itu adil dan bijaksana

Wahai para malaikat malam
Ikutlah sejenak menyelam di qalbuku
Agar bisa merasakan beratnya menjaga nafsu

Kabarkan ke seluruh penghuni langit
Aku tak mampu lagi mengegnggam wahyu sang rasul
Jika pintu surga dan neraka hanya hitam putih

Aku tak peduli lagi apakah surga dan neraka itu ada
Sebaiknya mata batin kubutakan saja
Agar di setiap sujudku tak mengharapkannya

Jika terbesit rasa pengharapan,
Itulah manusia
Merasa malu menginjak pintu surga
Tapi pengecut melangkah ke neraka

Selanjutnya......

Tali Jam Tangan dan Rambut Panjang Sang Ibu

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Kita sudah sangat sering mendengar cerita anak yang durhaka kepada ibunya. Sebut saja kisah si Malin Kundang. Atau kisah-kisah lainnya yang sering didramatisir. Juga, sangat beragam kita baca dan mendengar kisah ibu yang bersikap kejam ke anaknya.

Padahal, di realitas sangat banyak kisah ibu yang hebat hingga mendidik anaknya dengan pengorbanan dan kerja keras. Kasih sayang ibu sangat luar biasa, karena ibu adalah pribadi yang hebat. Juga, sangat banyak anak-anak yang selalu menunjukkan kasih sayang luar biasa kepada ibunya.

Saya memiliki cerita menarik yang mungkin bisa dijadikan tauladan bagi kita.

Di sebuah perkampungan ada seorang ibu yang hidup bersama anak gadisnya . Ibu tersebut sudah lama menjanda karena suaminya meninggal akibat penyakit. Semenjak suaminya meninggal, secara otomatis kondisi ekonominya sangat pas-pasan. Sang ibu hanya bekerja jualan kue di pasar. Selebihnya bekerja serabutan. Seperti mencuci pakaian, setrika pakaian milik tetangga.

Anak gadisnya baru berusia 16 tahun, atau duduk di bangku kelas I SMA. Ketika ayahnya meninggal, dia masih duduk di bangku kelas II SMP. Dia gadis yang dewasa. Pulang sekolah langsung membantu pekerjaan ibunya. Namun demikian, prestasi sekolahnya selalu menonjol.

Ayahnya tidak memberikan warisan berupa harta melimpah. Salah satu pemberian ayahnya hanyalah jam tangan yang tidak begitu mahal. Tapi, si gadis itu selalu memakainya. Ibunya selalu menasihati agar rajin belajar dan menjaga ahlaknya. “Jaga aurat dan ahlak ya nak, karena hanya itu harga diri keluarga kita bisa terjaga.” Demikian nasihat yang selalu ibunya sampaikan.

Sang ibu walau berusia setengah baya namun masih kelihatan cantik dan segar. Salah satu yang sangat dibanggakan adalah rambutnya yang indah dan panjang hingga melewati punggungnya. Banyak para tetangga memuji rambut indahnya. Sang ibu tersebut setiap hari selalu merawat dengan senang hati.

Pulang dari pasar, sang ibu heran karena putri semata wayangnya tidak pernah lagi memakai jam tangan. “Kenapa jam tangannya tidak dipakai lagi nak?” Tanya ibunya bijak. Dengan wajah sedikit sayu si anak menjawab, “Tali jamnya putus bu, tapi saya selalu membawanya ke mana pun pergi.” Jawabnya bijak. “Sabar ya nak, kalau sudah ada duit pasti ibu belikan.” Ucapnya sambil memandang wajah manis putrinya.

Walau hidup dengan ekonomi pas-pasan, sang ibu tidak pernah terlihat mengeluh. Begitu juga dengan anak gadisnya, tidak pernah minta macam-macam kepada ibunya. Tahu betul dengan kondisi ibunya yang harus banting tulang untuk kebutuhan sehari-harinya. Keduanya hidup dengan sangat-sangat sederhana.

Sang ibu selalu memikirkan tali jam tangan anaknya yang putus. Sudah berusaha mengumpulkan duit, tapi masih belum bisa juga membelikan. Karena terbentur dengan kebutuhan lainnya. Setiap hari ibunya memikirkan. “Kasihan anakku tak bisa memakai jam tangan pemberian ayahnya, gak ada yang bisa saya jual.”ucapnya dalam hati dengan lirih.

Karena pikiran itu terus membayangi, akhirnya dia berpikiran nekat. “Saya harus menjual rambut panjangku agar anakku bisa memakai jam tangannya kembali.” ucapnya dalam hati. Pikirannya makin gelisah antara iya dan tidak. “Apa nanti kata anakku.” Bisik perasaannya makin gelisah. “Ah…ini harus kulakukan asal anakku bahagia, kan nanti bisa panjang lagi.”tekadnya makin bulat.

Akhirnya hari itu sang ibu memangkas rambutnya dan menjualnya. Uang yang didapat langsung dibelikan tali jam tangan. Sangat senang hatinya mendapat tali jam tangan. “Anakku pasti senang !!” ucapnya dengan senyum mengembang.

Pada hari itu juga, secara bersamaan si anak pulang sekolah saat melewati toko melihat ikat rambut yang sangat bagus. Si anak langsung teringat dengan rambut indah ibunya. “Alangkah cantiknya ibuku jika memakai ikat rambut itu.” Pikirnya. Tapi dia bingung karena tidak punya uang untuk membelinya. Demi untuk membahagiakan sang ibu, dia langsung teringat dengan jam tangannya yang tidak ada talinya lagi. “Sebaiknya jam tangan ini saya jual saja agar bisa membeli ikat rambut itu.” Begitu pikiran yang terlintas. “Tapi, apa kata ibuku nanti.” Lagi-lagi pikirannya gelisah antara iya dan tidak.

“Akan saya jual saja agar ibuku senang, ibuku pasti bahagia memakai ikat rambut itu.” Ucapnya makin mantap menjualnya. Saat itu juga si anak langsung menjual jam tangannya dan membeli ikat rambut untuk ibunya. Dia pulang dengan senang hati dan senyum mengembang.

Di rumah, sang ibu menunggu anaknya pulang dengan tak sabar. Ingin sekali melihat anaknya senang dengan tali jam yang baru saja dibelinya. Tali jam itu terus dipegangnya. Sebaliknya, si anak di jalan ingin cepat sampai di rumah hanya ingin memberi ikat rambut yang baru saja dibelinya. Si anak berlari hingga sampai di depan rumahnya dia setengah berteriak, “Ibu….saya membelikan ikat rambut yang indah untuk ibu, pasti ibu makin cantik memakainya.” Kata si anak girang. Mendengar sayup-sayup suara anaknya, sang ibu makin tak sabar dan langsung membuka pintu keluar sambil memegang tali jam tangan.

Betapa terjkejut si anak begitu melihat rambut panjang ibunya sudah dipotong. Si anak memeluk ibunya sambil menangis sedih. “Ibu, kenapa rambut ibu dipotong?” Tanya anaknya dengan suara tangis terisak. Sambil mengelus-elus kepala anaknya, ibunya dengan suara parau karena menagis berujar. “Anakku, tadi ibu menjualnya karena ibu ingin sekali membelikan tali jam tangan.” Mendengar penjelasan seperti itu si anak makin menjadi menangis. Dengan bijak sang ibu berusaha menenangkan. “Sudahlah nak, tak perlu menangis seperti itu, ibu janji ketika panjang nanti tidak akan menjualnya lagi, ayo masuk dulu dan sekarang pasang tali jam tangan ini agar bisa dipakai lagi.” Ucapnya sambil menuntun anaknya ke dalam rumah.

Dengan kesedihan mendalam, si anak menjelaskan ke ibunya sambil masih menangis. “Ibu, maafkan saya, karena jam tangan itu sudah saya jual untuk membelikan ikat rambut untuk ibu.” Jelas si anak sambil memeluk tubuh ibunya erat-erat. Mendengar penjelasan dari anaknya, sang ibu kembali menangis sambil makin erat memeluk tubuh anaknya. Dia pun berucap, “Ibu bangga denganmu nak, ibu sangat memaafkan, ayahmu pasti bangga dengan kemuliaan ahlakmu dan kesih sayangmu kepada ibu.” Sahutnya dengan suara lirih sambil mengelus-elus punggung anaknya.

Cerita ini hanya imajinasi saya saja. Maafkan jika ada pendramatisiran cerita. Namun, bentuk kasih sayang antara ibu dan anak seperti itu masih sering kita jumpai. Walau tidak sama persis dengan cerita tersebut, tapi nilai pengabdian dan pengorbanannya sama hebatnya.

Selanjutnya......

Minggu, 30 Mei 2010

Syair Hening - Mahmud Syaltut Usfa

Untuk Suara Hati

Biarkan suara hati itu pergi bersama desiran galau
Aku hanya mampu melihat jejak-jejak tatapannya
Di setiap jengkal tapak jiwanya adalah harapan

Wajah itu terlalu lama bersetubuh dengan kehampaan
Mencampakkan kejujuran di lorong-lorong masa

Merataplah pada kebisuan malam
Agar jiwa langit bergetar menyaksikan kepiluan tubuhmu

Garis takdir kadang memang memilukan
Tak seindah rajutan imajinasi

Berteriaklah pada kelembutan angin malam
Agar gelisahmu mampu menjaring rembulan

Kegelisahan hanyalah debu pengingkaran hati
Akan terhapus oleh putihnya kejujuran



Zikir Kepasrahan

Silahkan halau mimpi gelap itu
Keindahan hanyalah milik realitas
Kebahagiaan bukan tak berpijak pada hati

Jika tak mampu berkata jujur
Berbaringlah dengan para malaikat malam
Alunkan zikir kepasrahan
Agar do’a menyambut di keheningan subuh



Selanjutnya......

Air Mata Wanita - Menangislah Jika Anda Ingin Menangis

Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa

Dalam minggu-minggu ini saya menghadapi beberapa wanita yang menangis di depan saya. Entah seperti apa gejolak perasaannya. Padahal hanya ngobrol biasa. Dan sikap saya hanya menjadi pendengar yang baik, manggut-manggut sambil menatap wajahnya. Hanya sesekali saja saya memberi pemahaman secara psikologis.

Lima hari lalu ada perempuan cantik mengobrol dengan saya. Sedang asyik-asyiknya cerita sambil santai dan sesekali diringi canda, disaat saya menjelaskan sesuatu tiba-tiba air matanya menetes. “Lho, kenapa kok menangis?” tanyaku heran. Sambil mengusap air matanya, dia hanya senyum-senyum dengan menundukkan wajahnya.

Sebelumnya juga pernah ada seorang ibu yang menelpon sambil nangis-nangis. Katanya sangat tersentuh membaca tulisan saya yang dimuat di Harian Batam Pos. Wow...sampai segitunya!!

Wanita, gampang sekali meneteskan air mata. Menangis bukanlah pertanda cengeng. Ibuku sangat gampang meneteskan air mata karena perasaannya mudah tersentuh. Bahkan, Siti Aisyah sering menangis melihat keteladanan ahlaq Rasulullah. Air mata wanita bukan lambang kelemahan, melainkan air mata kehidupan.

Saya memiliki cerita tentang air mata wanita yang sangat menarik disimak.

Suatu hari, seorang anak bertanya kepada ibunya, "Ibu, mengapa ibu menangis?"

Ibunya menjawab, "Sebab ibu adalah perempuan, nak." "Saya tidak mengerti ibu," kata si anak. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kau memang tak akan mengerti…"

Kemudian si anak bertanya kepada ayahnya. "Ayah, mengapa ibu menangis?" "Ibumu menangis tanpa sebab yang jelas," sang ayah menjawab. "Semua perempuan memang sering menangis tanpa alasan."

Si anak makin besar hingga menjadi remaja, dan dia tetap terus bertanya-tanya, mengapa perempuan menangis? Hingga pada suatu malam, dia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, "Ya Allah, mengapa perempuan mudah menangis?" Dalam mimpinya dia merasa seolah-olah mendengar jawabannya:

"Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walau pun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

"Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulangkali menerima cerca dari si bayi ketika dia telah besar kelak.

"Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa.

"Kuberikan kesabaran jiwa untuk merawat keluarganya walau dia sendiri letih, walau sakit, walau penat, tanpa berkeluh kesah.

"Kuberikan wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam keadaan dan situasi apa pun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada anak- anak yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

"Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melewati masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukannya tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak.

"Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tidak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.

"Dan akhirnya, Kuberikan wanita air mata, agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus kepada wanita, agar dapat dia gunakan setiap waktu yang dia inginkan. Ini bukan kelemahan bagi wanita, karena sebenarnya air mata ini adalah "air mata kehidupan."

Saya gak tahu pasti, apakah para wanita yang membaca tulisan ini juga akan menangis. Jika ingin menangis, menangislah. Saya sangat merasakan apa yang Anda rasakan.


Selanjutnya......

Ketika Harus Berpaling dari Cinta Lama

Catatan Hati Mahmud Syaltut Usfa

“Cinta bukan menemukan seseorang untuk hidup bersama, tetapi cinta adalah menemukan seseorang yang kamu tidak dapat hidup tanpanya”.

Hah…haruskah cinta diungkapkan sedahsyat itu? Nyatanya, kalimat indah kadang hanya berjalan sekejap rasa. Banyak dari mereka yang awalnya berikrar sehidup semati, tapi akhirnya tumbang juga. Hanya tinggal kekecewaan yang tersisa. Kalimat indah bak pujangga tergolek menjadi sampah.

“Mendekatlah padaku atas nama cinta
Biarkan tangan jiwa ini menyentuh hatimu
Tak kan kubiarkan hembusan angin memeluk gelisahmu
Engkau anugerah terindah yang hadir seiring kesucian takdir”
Harus kujaga hingga hatimu meleleh dalam dekapan syahdu”

Kenapa cinta tak seindah saat pertama bertemu? Jawabannya sederhana saja. Namanya saja bertemu sesuatu yang baru. Getaran cinta pertama mengundang sejuta rasa. Segenap tali jiwa berkembang dalam lingkaran silaturrahmi rasa. Hati merasakan getaran yang teramat dahsyat. Menjalar ke seluruh tubuh. Hingga mampu menggetarkan tubuh. Lidah terasa keluh berkata walau sepatah kata. Namun, lamban laun memudar juga seiring perjalanan waktu.

Saat cinta hadir pertama kali, berjuta ilusi menghampiri. Semua yang tampak di pribadi sang kekasih adalah keindahan. Jangankan yang betul-betul positif, sifat-sifat buruknya saja terlihat indah di mata jiwa.

Banyak orang mengatakan bahwa kadar cinta kekasihnya sudah berubah. Padahal, dulunya baik betul. “Wah…..sekarang dia sudah berubah.” Kalimat itu sering terdengar ketika cinta sudah mulai berjalan jauh. Sebenarnya dia tidak berubah sedrastis yang Anda pikirkan. Pribadi sang kekasih masih seperti dulu. Justru yang berubah adalah perasaan Anda. Ketika cinta pertama hadir, ilusi sangat begitu kental mempengaruhi. Namun, seiring perjalanan waktu, ilusi sudah mulai luntur bahkan hilang ditelan realitas.

“Cinta tak perlu pergi bersama sayap-sayang angin
Jadilah embun yang selalu menyapa di keabadaian pagi
Cinta hadir dalam kesucian rasa
Bening, mengalir melintas di keheningan hati
Cinta tak patut bersanding dengan manisnya fatamorgana”

Dalam ketulusan cinta kerap dibasahi tetesan air mata. Tak perlu dirisaukan. Cinta mencapai tahta tertinggi jika diwarnai air mata dalam perjalanannya. Tersenyumlah dengan pahit getirnya cinta. Filsafatnya akan terus bersenandung dengan lirih-lirih kehidupan.

Hari ini aku hanya bisa berkata:

"Sandarkan tubuhmu di pundakku
Akan aku ceritakan bagaimana pengalaman terindah selama hidupku
Serta akan aku ceritakan pengalaman terpahit dalam hidupku
Karena dalam kedua cerita tersebut ada nafasmu yang memberi warna selama aku menjalaninya,
hingga mata batinku terpejam tak sanggup menatapnya lagi..."


Selanjutnya......

Sabtu, 22 Mei 2010

Syair Hati - Mahmud Syaltut Usfa

Hanya Ingin Kembali Bersih

Duhai hati yang membisu
Tak perlu bercengkrama dengan teka-teki
Singkirkan prasangka di kebisingan logika
Kebaikan bukanlah cinta
Walau cinta selalu bersenandung kebaikan

Bayangan ini tidak akan menepi pada hati yang pongah
Harga diri terlalu nista diruntuhkan penghambaan cinta

Hati ini hanyalah sepotong batu
Bukan bintang gemintang
Akan tetap redup sekali pun langit terluka

Aku hanya takut menusuk takdir dalam lipatan mimpi
Aku hanya gemetar nyawa akan tercabut saat tali jiwa terputus

Air mata ini terus menjerit memeluk hati
Ingin pulang ke pangkuan fitrah
Bersih seperti jiwa kita belum dipertemukan



Pikiran yang Membisu

Telah kubiarkan pikiran ini berjalan membisu
Terbuang di lorong-lorong waktu
Terbang bersama bisikan angin
Tanpa kata, tanpa suara, tanpa rasa

Aku takkan memungutnya
Hingga tulang-tulang jiwa ini remuk

Hati terlalu sibuk bercengkrama dengan cinta
Waktu begitu cepat menyeret harapan
Hingga mata tak sanggup menatap fakta

Wahai waktu….
Serahkan dari seribu detik yang tersisa
Akan kupungut satu persatu di sepanjang malam
Agar pikiran tak lagi membisu bersanding dengan kehidupan


Selanjutnya......

Rel Kereta Api dan Kegagalan Keluarga Berencana

Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa

Pemerintah terus berupaya mensukseskan program Keluarga Berencana (KB). Dulu ada semboyan KB yang sangat terkenal ‘Dua Anak Cukup’. Tapi belakangan, motto promosi tersebut berubah ‘Dua Anak Lebih Baik’. Ini merupakan upaya pemerintah menyadarkan masyarakat akan pentingnya keluarga berencana.

Berbagai alasan disampaikan. Semasa orde baru KB sempat menjadi pro kontra. Bahkan, ada yang berpandangan radikal kalau KB merupakan wujud jahiliah modern. Alasannya, membunuh calon anak manusia. Namun, seiring dengan waktu dan sosialisasi dari pemerintah akhirnya pandangan seperti itu bisa diminimalisir. Dan sampai sekarang sudah tidak terdengar adanya perdebatan lagi.

Sosialiasi hingga kini terus dilakukan. Tidak hanya di perkotaan. Di desa-desa juga terus dilakukan penyuluhan secara intens. Tapi sayang, upaya pemerintah tersebut tidak semua berjalan mulus. Bahkan, di beberapa daerah di pedesaan gagal total. Karena mereka tidak mau dipusingkan dengan KB. Katanya ribet, mau ‘ngeseks’ aja harus pakai kondom, spiral, minum obat. “Orang sudah kebelet kok diatur-atur dengan prosedur segala, keburu croot.’ Begitu kira-kira komentar mereka.

Saya memiliki cerita. Tidak usah terlalu dipikir apakah ini kisah nyata atau tidak. Nikmati saja, paling tidak sebagai hiburan.

Di satu daerah ada dua desa yang sangat berdekatan. Sebut saja desa A dan desa B. Di desa A program Keluarga Berencana berjalan sangat sukses. Angka kelahiran bisa ditekan hingga 50% dari sebelumnya. Sehingga di desa A tersebut masyarakatnya tertata dan kesejahteraannya meningkat tajam.

Berbeda dengan desa B. Program Keluarga Berencana bisa dibilang gagal total. Padahal, penyuluhan demi penyuluhan terus dilakukan secara intens. Bahkan, lebih sering dibanding desa A. Para petugas lapangan sampai-sampai kebingungan menemukan akar permasalahannya.

Para penyuluh lapangan akhirnya melapor ke atasannya. Setelah dilakukan meeting, maka diputuskan akan menggandeng kalangan kampus (para dosen dan mahasiswa) untuk mencari solusinya. Dari kalangan kampus meminta melakukan observasi di lapangan. Setelah disekapati waktunya, akhirnya tim kampus dengan penyuluh KB berangkat ke lokasi.

“Lihat, desa ini sama dengan desa A, pendidikan dan tingkat ekonomi mereka sama, mereka sama-sama petani.” Jelas penyuluh KB kepada tim kampus.

Namun, tim kampus tidak puas begitu saja. Mereka terus berkeliling di desa tersebut dan sesekali melakukan wawancara ke warganya. Tak sengaja, tim kampus melihat lintasan kerteta api yang membentang di tengah-tengah desa A. Secara reflex, analogi ilmiahnya muncul. “Pasti ini yang menjadi biang keladinya.” Ujar tim kampus ke penyuluh KB. “Hah…!! Maksud bapak apa?’. Sergahnya dengan nada heran. “Mari kita buktikan dengan melakukan wawancara ke seluruh warga.” Ujar tim kampus menjawab penuh optimis.

Setelah dilakukan wawancara ke seluruh warga desa A ternyata betul sekali. Lintasan rel kereta api di desa itu menjadi kendala utama gagalnya program Keluarga Berencana. Dari hasil wawancara, jawaban warga rata-rata sama.

Mereka menjawab, “Setiap pukul 3 malam kereta api melintas di desa ini pak, saya dan istri pasti terbangun karena suaranya keras. Kami mau tidur lagi sudah tidak bisa. Dan lagian, kalau tidur lagi kuatir telat pergi ke ladang. Karena jam 4 kami harus ke ladang. Dari pada nganggur menunggu jam 4, lebih baik kami melakukan hubungan intim dulu.” Begitu rata-rata jawaban dari penduduk desa tersebut.


Selanjutnya......

Kita Bukan Bangsa Pemalas

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Masih banyak sebagian orang yang menilai kalau bangsa kita adalah pemalas. Sepertinya penilaian tersebut harus dikoreksi total. Gak masuk akalnya, pandangan seperti itu dilandasi dari ukuran ekonomi. Mereka yang hidup kurang sejahtera dipandang karena malas bekerja. Ah…ada-ada saja!!

Saya akan membuka sedikit fakta yang gampang ditemui di sekitar kita.

Ketika masih tinggal di Surabaya. Saya banyak menemui tempat-tempat di mana mereka melakukan aktifitas usaha (jualan) dimulai tengah malam. Mereka baru pulang sekitar pukul 09.00 WIB pagi. Sebut saja di daerah tanjung perak misalnya. Sekitar pukul 11.00 WIB malam para pedagang mulai menggelar dagangannya. Ada penjual buah, makanan, minuman, dan sejenisnya.

Biasanya sambil menunggu kapal datang. Baik kapal Pelni maupun kapal jenis lain. Atau juga berharap dari para pekerja pelabuhan yang membelinya. Bisa dibayangkan, berarti para pedagang itu telah mempersiapkan dagangannya dari sore hari, atau mungkin dari siang. Luar biasa kerja keras mereka. Apakah orang-orang seperti itu pantas disebut pemalas? !!

Masih di Surabaya. Ada kawasan namanya Pabean. Tempat tersebut sangat hidup ketika tengah malam. Di situ rata-rata penjual makanan (warung tenda). Pernah pada tengah malam selepas ziarah ke makam para wali di Gresik dan Lamongan. Saya dan teman-teman kampus bersama ustadz satu mobil. Karena lapar, teman saya (ustadz) asal Sidoarjo itu ngajak mampir ke Pabean. “Aku belikan roti canai yang sangat enak di Surabaya.” Ujarnya sambil menyetir mobilnya.

Benar sekali. Roti canainya sangat enak dengan dicampur kuah kare ayam lengkap dengan sate ampela hati. Hingga menjelang subuh kami baru pulang. Untung besoknya gak ada kuliah pagi. Kawasan Pabean memang banyak diisi pedagang asal Madura. Mereka sudah biasa mempersiapkan dagangannya mulai malam hingga pagi. Apakah mereka pemalas?!!

Dari Pebean kita beralih ke kawasan pelacuran ternama di Surabaya, yaitu, Doli dan Jarak. Para wanita tuna susila sudah harus melayani tamu dari sore hari. Bahkan, tak jarang siang hari juga harus ‘dikerjai’ para lelaki hidung belang. Pada sore hari sekitar jam 16.00 WIB, sudah harus berdandan cantik. Dan pada malamnya harus ‘memajang’ diri di ruang berkaca melayani tamu-tamu. Mereka harus bekerja keras (Saya tak tahu apa bekerja keras atau bekerja lunak) hingga pagi-pagi subuh. Malaskah mereka?!!

Begitu juga dengan para pedagang di Kota Malang. Di kota dingin tersebut ada kawasan namanya kota lama. Merupakan kawasan di jantung kota. Tidak berbeda dengan para pedagang di Surabaya. Mereka berdagang di dekat lintasan kereta api. Bisa dikatakan 24 jam stand by di warung tendanya. Karena pasar pagi, justru setelah subuh rame-ramenya pembeli. Sekitar jam 11.00 WIB malam mereka sudah mempersiapkan dagangannya. Mulai pedagang sayur, buah-buahan, makanan, dan lain-lain. Apakah mereka pantas disebut pemalas?!!

Selanjutnya beralih ke Batam. Ada kawasan namanya Jodoh. Tepatnya pasar pagi, dekat dengan pusat perbelanjaan Ramayana. Di daerah itu, terkenal dengan pasar sayur, ikan dan buah-buahan murah. Tentu saja beraneka pedagang lainnya berbaur di situ. Termasuk penjual barang-barang second. Tahukah Anda, para penjual sayur, buah, ikan, makanan dan minuman mulai menggelar dagangannya sekitar pukul 11.00 WIB malam.

Pada pukul 02.00 WIB tengah malam sedang sibuknya-sibuknya mengatur dagangannya. Hingga subuh terus melayani pembeli yang semakin banyak. Mereka mengemas dagangannya sekitar pukul 10.00 WIB pagi. Luar biasa, apakah orang-orang itu pantas disebut pemalas?!!

Tentunya di kawasan lainnya juga banyak orang-orang pekerja keras seperti itu. Tidak hanya di Surabaya, Malang, Batam, tapi di kota-kota lainnya. Juga tidak hanya orang-orang di kota. Mereka yang tinggal di pegunungan, desa-desa, dusun-dusun, juga banyak yang terbiasa melakukan aktifitas seperti itu. Pun, bukan hanya pedagang. Tapi para karyawan juga sangat banyak yang harus bekerja di saat orang-orang pada terlelap.

Coba pikir lagi dalam-dalam, jika di benak kita masih terlintas penilaian bangsa kita pemalas mohon dikoreksi total. Paling tidak, bagi mereka di atas mohon dikecualikan. Kalau pun mereka masih hidup di garis kemiskinan, bukan berarti pemalas. Melainkan kesempatan untuk menjadi orang kaya masih sangat terbatas. Semoga tulisan ini bisa dijadikan koreksi di saat kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional di tahun 2010 ini.


Selanjutnya......

Kamis, 20 Mei 2010

Perubahan Besar Dimulai dari Diri Sendiri

Opini Batam Pos, Ditulis oleh Mahmud Syaltut Usfa S.Psi, Rabu, 19 May 2010

Hidup harus dinamis. Kita bisa dinamis apabila ada keinginan kuat untuk berubah ke arah lebih baik. Perubahan laksana gerak air di sungai. Selalu mengalami pergerakan ke arah perubahan. Bahkan, di dalam kehidupan ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan. Sekarang ini banyak pemimpin atau calon pemimpin mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan. Salah satu harapannya bisa melakukan perubahan terhadap bawahannya. Dan akhirnya berdampak perubahan pada instansi atau perusahaan.

Seorang yang berambisi menjadi pemimpin kerap terlalu berlebihan megampanyekan diri. Isu yang selalu diusung adalah perubahan. Terkadang terlalu kelakar, ingin merubah ini dan itu, sampai-sampai yang sudah benar juga ingin dirubahnya. Silahkan saja, itu memang hukum dalam kampanye. Asal, jangan terlalu bermimpi untuk merubah orang lain tanpa mau merubah diri sendiri. Apalagi dalam skala besar. Perlu diingat, perubahan sosial takkan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian.

Melakukan perubahan dibutuhkan motivasi kuat serta konsistensi tinggi terhadap diri sendiri. Mustahil mampu merubah orang lain jika tak sanggup merubah diri sendiri. Di sinilah perlunya inferiority, yaitu menantang dirinya untuk maju, membentuk kembali, bahkan mengubah hidupnya. Biasanya saat muncul motivasi tersebut, maka akan lahir trigger. Trigger (pemicu) ini memiliki peran penting sebagai pemberi semangat melangkah menuju perubahan. Misalnya dengan terus berpikir positif

”Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak,” Muncul kepercayaan tinggi kalau dirinya pasti bisa berubah, ”Saya pasti bisa!! Semangat!!” Dan berbagai kalimat-kalimat pemicu lainnya.

Saya jadi teringat tulisan di sebuah pemakaman di Inggris, kalimat yang sangat dalam maknanya. Kalau diartikan secara bebas begini artinya:

”Saya pernah memiliki cita-cita menjadi presiden, agar bisa melakukan perubahan di negeriku. Tapi, ternyata negeriku sudah mengalami kerusakan sangat parah. Tak mungkin mampu dilakukan perubahan. Akhirnya kuturunkan cita-citaku menjadi gubernur. Dengan harapan bisa melakukan perubahan di provinsi. Sayang sekali, aku rasanya tak mungkin mampu karena di provinsi juga mengalami kerusakan parah.

Terpaksa cita-citaku kuturunkan ingin menjadi wali kota. Harapannya bisa segera merubah kotaku yang makin tak tertata. Lagi-lagi kotaku sangat parah kerusakannya. Aku takkan mungkin sanggup merubahnya. Akhirnya citaku-citaku kuturunkan lagi untuk melakukan perubahan di keluargaku. Sama juga, keluargaku sangat berantakan. Sulit bagiku melakukan perubahan. Dengan terpaksa kuturunkan lagi cita-citaku. Aku hanya bercita-cita melakukan perubahan pada diri sendiri.

Akhirnya aku berpikir, andai saja dari dulu bercita-cita merubah diri sendiri, pasti bisa melakukan perubahan di keluargaku. Dan akhirnya bukan tidak mungkin aku mampu merubah kotaku. Juga sangat mungkin aku bisa merubah provinsi. Bahkan, bukan sesuatu yang mustahil pada akhirnya aku juga bisa merubah negeriku”.

Luar biasa kalimat tersebut. Jika kita betul-betul berniat melakukan perubahan ternyata sangat mudah sekali. Tidak perlu menunggu memiliki jabatan. Cukup dimulai dari sendiri. Sederhana sekali bukan? Melakukan perubahan harus dilandasi sebagai kebutuhan. Bukan sekadar keinginan. Apalagi hanya sebagai pemanis belaka. Kebutuhan menjadi satu dimensi penting dari kepribadian. Kebutuhan dapat digolongkan, bisa agresif, pasif atau dipelihara. Kebutuhan yang digerakkan termasuk kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai otonomi dan untuk memelihara tatanan.

Kebutuhan menjadi suatu dimensi penting dalam kepribadian seseorang terhadap kemampuan melakukan perubahan. Paling tidak, memiliki kepribadian yang inovatif. Dengan ciri, muncul kebutuhan sangat besar terhadap otonomi dan keteraturan, pemahaman sendiri yang memungkinkannya tegas terhadap orang lain, kebutuhan yang sangat besar untuk memelihara dan memikirkan kesejahteraan orang lain maupun kesejahteran dirinya sendiri.

Hal ini sangat berbeda dengan kepribadian otoriter. Kepribadian otoriter membayangkan lingkungan sosialnya kurang teratur dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tak yakin bahwa ia dinilai oleh lingkungan sosialnya. Ia membayangkan kekuasaan lebih sebagai fungsi dari posisi yang diduduki seseorang, ketimbang sebagai fungsi prestasi yang dicapai seseorang.

Kuncinya adalah mengkoordiner suatu keinginan kuat sehingga membentuk suatu sikap ke arah lebih baik. Sekarang ini banyak pemimpin dengan cemerlang melakukan perubahan terhadap bawahannya. Namun, tak mampu merubah mental dirinya sendiri. Akibatnya, muncul kasus korupsi, skandal perselingkuhan, dan sebagainya. Bahkan, tak mampu melakukan transformasi mental saat jabatannya harus merosot. Ini akibat perubahan tidak dilakukan secara sistematis terkait kebutuhan pribadinya. Kesadaran triggernya begitu lemah.

Pada intinya, jika kita menginginkan suatu perubahan harus dilakukan secara kesadaran penuh. Sehingga menjadi kebutuhan pribadi sendiri. Kalau hanya sibuk menuntut orang lain berubah, maka akan membuang kesempatan bagi diri sendiri. Apalagi perubahan hanya sebatas serimonial belaka, sangat mustahil bisa melakukan perubahan secara besar.

Salah satu gagalnya melakukan perubahan pada diri sendiri disebabkan terlalu sibuk menuntut orang lain berubah. Kesibukan tersebut akhirnya mengantarkan pada sikap atoriter, dan anarki absolut. Sikap seperti itu membuat seseorang terlalu toleran terhadap kesalahan dirinya sendiri, namun menuntut lebih dari orang lain.

Semoga kita termasuk orang yang terus memiliki semangat melakukan perubahan pada diri sendiri. Dengan memulai dari hal terkecil dan sederhana, bukan mustahil akan mendapatkan manfaat besar. Menjelang pilkada gubernur ini, kita berharap memiliki pemimpin yang mampu melakukan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan sebatas pengakuan kata-kata selama kampanye. Karena keberhasilan merubah dirinya akan menjadi tolak ukur dalam melakukan perubahan pada orang lain. Insya Allah. ***

*Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam



Selanjutnya......

Syair Sendu Mahmud Syaltut Usfa

Suara Gelisah

Aku mendengar suara lirih dari lorong-lorong angin
Jerit sang perawan memanah hati
Berhembus manja memekik kegelisahan
Memasung kejujuran hingga ke dasar hati

Mata beningnya terus menatap mimpi
Didekap erat agar kejujuran tak membangunkannya

Air matanya mengalir ke hilir sunyi
Tak mampu berkata-kata
Hatinya terus dipeluk
Takut rasa cinta terbuang ke sampah keihlasan



Keheningan Cinta

Jiwa-jiwa bertakbir
Menyambut hati yang menepi
Cinta itu begitu suci
Lahir dari beningnya embun pagi

Bangunkan jiwaku saat kejujuran tiba
Air mata ini merindukannya
Bercengkarama dengan kebeningan cinta



Tak Sebatas Mimpi

Hah……
Cinta itu berdiri dengan fatamorgana
Bayangan diri terus berjalan lesuh

Percuma saja….
Hatiku sudah melangkah ke batas mimpi

Maaf….
Cinta tidak berpijak di alas hayal


Selanjutnya......

Rabu, 19 Mei 2010

Sibuk Mengurus Hati

Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa

Dalam kehidupan ini, kita mendapat jatah waktu 24 jam. Berbagai tetek-bengek urusan harus diselesaikan dalam waktu itu juga. Jika tidak, sudah pasti akan tertunda di 24 jam ke depan. Banyak orang yang bisa memanfaatkan waktu tersebut. Namun, juga sangat banyak yang kelabakan.

Dari berbagai kesibukan selama 24 jam, sebenarnya yang membuat kita sangat-sangat capek disebabkan terlalu sibuk mengurus hal-hal kecil. Sehingga hati tidak terurus. Lalulintas dalam hati kita sungguh sangat padat. Entah muncul rasa jengkel, salah paham, dan seabrek perasaan menyakitkan hati lainnya. Capek !! Padahal selama kita hidup tidak akan lepas dari gesekan persoalan.

Selagi kita tidak mampu mengurus hati, mustahil bisa menaklukkan waktu 24 jam dengan tenang. Padahal, jika kita mampu, niscaya Allah akan menaklukkan alam semesta kepada Anda. Hati kita menjadi tidak tanang, wasa-was, karena terlalu sibuk mengurus bisikan-bisikan tidak penting. Sehingga, kita bukan disibukkan manata hati diri sendiri, melainkan sibuk mengurus orang lain.

Bisa dibayangkan, betapa capeknya hati jika kita sibuk mengurus orang lain. Bahkan kita akan dilanda kecemasan, ketakutan, dan depresi.

Saya memilikii kisah menarik tentang seorang sufi.

Suatu ketika, seorang Arab datang ingin berguru kepada Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi yang terkenal karena karamahnya dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian. Rumah guru sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir.

Ketika orang itu tiba, Abul Khair sedang memimpin majlis simaan (acara mendengarkan orang membaca doa) di tengah para pengikutnya. Waktu itu Abul Khair membaca Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi alaihim, wa laz zalim. Orang Arab itu berfikir, '' Bagaimana mungkin aku bisa berguru kepadanya. Baca Al-Quran saja, ia tidak bisa?. Orang itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.

Begitu orang itu keluar, ia dihadang oleh seekor singa padang pasir yang buas. Ia mundur tetapi di belakangnya ada seekor singa lain yang menghalanginya. Lelaki Arab itu menjerit keras karena ketakutan.

Mendengar teriakannya, Abul Khair turun keluar meninggalkan majlisnya. Ia menatap kedua ekor singa itu dan menegur mereka, Bukankah sudah kubilang jangan ganggu para tamuku!? Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair.

Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki Arab itu merasa heran, Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar? Abul Khair menjawab, Aku sibuk memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta.

Semoga kita mampu menjadi orang yang selalu sibuk mengurus hati. Insya Allah kita akan menjadi orang yang tenang. Karena Allah akan memberi alam semesta untuk Anda miliki.


Selanjutnya......

Kamis, 13 Mei 2010

Sajak Langit Mahmud Syaltut Usfa

Keangkuhan Do’a

Kata-kata itu terasa merdu menyentuh jiwa langit
Bercengkrama dengan pengharapan
Mengoyak keheningan takdir
Membisu tak berdaya di antara seribu permintaan

Do’a begitu angkuh menuntut tuhan
Membungkus keluh kesah dengan kekhusuan
Tuhan telah diperintah kata-kata iba
Tuhan telah diajari oleh lidah kemunafikan
Tuhan telah dituntun lumuran hati para pendosa

Lelehan air mata bukan hempasan rasa cinta padaNya
Tapi rasa takut sang do’a tak terkabul
Ratapan jiwa bukanlah rasa kepasrahan syukur
Namun rasa gusar sang do’a tak terwujud

Tuhan hanya ada saat tubuh butuh sandaran
Dengan panggilan sendu atas nama do’a
Saat jiwa terbang dengan kepakan sayap bahagia
Tuhan hanya terselip di celah-celah kuku makrifat




Kebisuan Cinta


Biarkan cinta ini membisu sejenak
Berkabung dengan tarian lara
Bernyanyi lirih seirama tetesan gelisah

Aku hanya ingin cinta sederhana
Seperti angin yang tak sempat berkata apa pun saat membelai samudera
Seperti api yang tak sanggup berucap sepatah kata pun saat melebur bara

Cintamu begitu dahsyat hingga melemparkan jiwaku ke lidah langit
Menjadikan hati ini tercecer di pangkuan ayat-ayat keteduhan

Tak perlu risau menanyakan jejak-jejaknya
Aku telah mengukirnya di celah cahaya rembulan dan matahari pagi

Tak perlu risau memikirkan perjalanannya
Hatiku masih berdiri kokoh dengan busur di sayapnya
Siap memanah rembulan hingga kebenaran tak membisu lagi

Selanjutnya......

Syair Lirih Mahmud Syaltut UsfaBagikan

Tubuh yang Gelisah

Kepada tubuh yang gelisah
Biarkan roh ini pergi sejenak
Mengembara mencari hati yang terbuang
Aku merasakan puing-puingnya masih berdiri kokoh

Kegelisahan terus berteriak lantang
Bertakbir di antara berhala-berhala hedonisme

Wajah jiwa ini masih bercengkrama dengan rembulan
Sambil terus bercermin pada kebeningan air mata
Tak perlu menyentuh hatinya
Karena sedang mendekap luka
Tak berdaya menatap serpihan nostalgia

Cinta ini begitu dahsyat meremukkan hati
Padahal kisahnya sudah terlempar bersama imanjinasi

Rohku hanya mampu menatap kebenaran dari sudut akal
Tak sanggup lagi mengembara di jagad nurani

Wahai perempuan jalang….
Tubuh yang nista
Jiwa yang renta
Berbaringlah dengan para pelacur jalanan
Juallah harga diri itu dengan kefanaan cinta

Aku di sini menunggu kabar dari sayap-sayap angin
Sampai rohku datang menghapus gelisah


Selanjutnya......

Rabu, 05 Mei 2010

Pacaran Islami, Apaan Tuh..!!

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Dulu, dalam suatu diskusi psikologi di kampus, ketika itu saya jadi pembicara, ada pertanyaan menarik dari audien. “Bagaimana pacaran yang islami itu?”. Saat itu saya kaget “Hah….kayak apa tuh..?!!” Kalau memang ada pacaran islami, jangan-jangan juga ada zina islami.

Apalagi gaya pacaran anak sekarang sudah di luar batas. Alasannya karena komitmen. Bahkan, banyak perempuan yang terlalu ‘ihlas’ menyerahkan tubuhnya ‘diobok-obok’ oleh cowoknya karena takut diputus, wow…!! Walaupun dalil tersebut tidak bisa dibenarkan seratus persen. Bisa saja karena dilandasi suka sama suka.

Nah, ngomong-ngomong soal pacaran, ternyata sampai sekarang masih muncul tentang pacaran islami. Entahlah, mungkin cuma upaya melegalkan aktivitas baku syahwat itu? Atau para remaja Islam merasa takut tidak bebas ‘mengekspresikan gaya pacaran’. Malah disinyalir, katanya banyak pula yang melakukannya adalah anak masjid. Artinya mereka itu ingin Islam, tapi ingin pacaran juga. Ah, ada-ada saja!!!

Mau anak masjid, pesantren, jilbaban, rajin puasa senin-kamis, kalau mempraktekkan gaya pacaran bak gaya selebriti tetap saja mendekatkan zina. Bukan sok alim sih, tapi hendaknya gaya pacaran pada umumnya sekarang ini harus dipisahkan dengan embel-embel islami. Karena dalam Islam tidak ada istilah pacaran. Pacaran-pacaran saja, zina ya zina saja !!

Lantas kenapa dorongan melakukan maksiat begitu tinggi ketika pacaran? Faktor pertama pasti karena keduanya memiliki nafsu. Manusia normal mana yang tidak ingin melakukan hubungan intim dan romantik dengan pasangannya?

Secara psikologis ada tiga hal sehingga pasangan yang sedang berpacaran terdorong melakukan hubungan intim. Pertama, cinta lahir karena atas naluri intimacy. Adanya perasaan kecocokan, dari hal-hal sederhana sampai yang serius. Misalnya, pasangannya cocok diajak curhat, nyambung diajak ngobrol, kecendrungan seleranya banyak sama. Baik sikap, sifat, kegemaran, dan sebagainya.

Kedua, adanya unsur passion. Kondisi ini sudah melangkah kepada keinginan lebih jauh untuk merasakan kenikmatan berhubungan secara fisik. Misalnya, saling berpegangan tangan, menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya, saling membelai, bahkan keinginan berhubungan intim.

Ketiga, sudah memutuskan untuk commitment. Yaitu kesediaan untuk benar-benar terikat satu dengan yang lain. Commitment ini memliki kekuatan sangat dahsyat untuk menarik intimacy dan passion. Biasanya, jika sudah terbentuk commitment maka ada kecendrungan melakukan hubungan pacaran secara total. Bisa dibayangkan, betapa keduanya sangat leluasa mewujudkan keinginan-keinginan libidonya. Karena menurut mereka, milikmu adalah milikku dan sebaliknya.

Lalu bagaimana dengan sepak terjang teman-teman remaja yang terlanjur menganggap aktivitas baku syahwatnya sebagai pacaran islami? Jawabannya ya dosa! Iya dong. Soalnya siapa saja yang melakukan kemaksiatan jelas dosa sebagai ganjarannya. Apalagi anak masjid, berjilbab, ahli dalam agama.

Coba simak QS. An-Nuur : 30, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Kemudian QS. An-Nuur : 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…”

Jadi bagaimana dong? Dalam Islam tetap tidak ada yang namanya pacaran islami. Lalu kenapa istilah itu bisa muncul sampai sekarang? Boleh jadi para remaja hanya punya semangat keislaman tapi minus tsaqafah ‘pengetahuan’ Islamnya. Kayaknya saya juga perlu instrospeksi nih, ayo semangat bertobat!!!


Selanjutnya......

Minggu, 02 Mei 2010

Sajak-sajak Sufistik Mahmud Syaltut Usfa

Batam Pos, Minggu 2 Mei 2010
(Penulis dan Penyair kelahiran Pulau Bawean Jawa Timur bermukim di Batam)

Sampah Kata-kata

Telah kubuang logika semu ke ujung zaman
Hingga mata batin tak menatapnya lagi
Kini, pikiran itu bertelanjang
Menunggu nurani mendekapnya

Lihat itu….!!
Pikiran-pikiran angin menari di ujung pena
Semua disalahkan oleh pikirannya
Tersenyum bagai pahlawan
Membalik kata di simpang gelisah

Aku berdiri di antara kata yang terbuang
Tidak segagah sang penyair, budayawan, dan intelektual

Pikiranku masih bertelanjang
Tetap bertahan menunggu nurani mendekapnya
Sambil tersenyum memungut sampah kata-kata



Sang Pelayan

Jiwa yang hakiki, keluarlah sejenak dari tubuh tuanmu
Lihatlah tarian kemunafikan
Menjijikkan bukan…?
Di situlah selama ini engkau melayaninya




Mentuhankan Nafsu

Tubuh ini berjalan tertatih di setiap jengkal nafas
Berat menahan gelisah di sepanjang ruang hidup
Lidah nafsu begitu liar
Bercengkrama di lorong-lorong hati

Jenguklah nafsu itu
Mungkin saja sudah pergi
Tak perlu diikat dengan kata-kata
Agar tak mengundang keinginan

Nafsu bisa menjelma bagai tuhan
Segala jiwa bersujud lusuh padanya
Anehnya,
Tubuh merasa riang membungkuk sebagai budak
Menjilat rakus hempaskan harga diri

Nafsu dituhankan
Tuhan diburamkan nafsu
Kecuali engkau berjalan di garis tauhid
Di situlah hatimu mampu menatap tuhan yang hakiki



Kebisingan Hati

Betapa akal terus tersiksa menyanggah kebisingan hati
Hati terus menyeret nafsu berbicara kefanaan dunia
“Diamlah..!! Aku malu menatap tubuh ini.” Sergah akal

Hati terdiam dalam belenggu detik
Namun tak lama menyeret nafsu kembali

Akal hanya mampu berkata dalam hening:
Diamlah..!!
Diam..!!
Dia..!!
Aku malu menatap tubuh ini..!!



Cepat Kejar Sang Waktu

Cepat pergi ke ujung waktu
Berlari saja hingga mampu menyambutmu
Dia akan mengembalikan separuh tubuhmu

Peluklah dengan erat saat bertemu
Hempaskan rasa rindu masa lalumu
Sebelum masa lalu terhapus oleh zaman

Bicarakanlah tentang hari ini
Sebelum berganti menjadi masa lalu

Sadarkah kamu,
Sang waktu akan terus berdiri kokoh
Hingga separuh tubuhmu tak bisa dikembalikan lagi



(Terima kasih Batam Pos yang telah mempercayakan syair-syair saya untuk dimuat di halaman minggu koran ini)


Selanjutnya......

Kamis, 29 April 2010

Syair Ibu - Mahmud Syaltut Usfa

(Bukan serimonial hari ibu)
Hati berdetak saat cinta berhembus dari sudut langit
Para malaikat di atas kepalaku hening dengan zikir
Gema cinta itu begitu dahsyat mengalir di urat nadi
Membuat para bidadari tersenyum mengelus rohku

Cinta ibu….
Mengalir tiada henti ke hulu nurani sekalipun roh itu berbaring damai
Aku hanya mampu menatap dari mata batin saat engkau tersenyum
Tapi aku merasakan engkau terus mendekap erat menjaga keteduhan qalbu

Saat rindu tertegun, cinta itu hadir bagai dihantar para malaikat
Saat gelisah terbangun, rasa sayang itu mengalir bagai sentuhan bidadari

Aku mampu berdiri kokoh dari tiang-tiang kasih sayang ibu
Aku mengenal cinta sejak dalam dekapan rahim ibu
Hingga saat ini keduanya terus mengalir di nadi jiwa
Walau aku tak bisa menatapnya lagi

Para bidadari…
Engkau pemilik nurani keibuan
Bertemanlah atas nama kaum hawa
Kasih sayang ibu secantik parasmu
Engkau hanya memiliki paras cantik
Namun, tak memiliki cinta dan sayang setulus ibu
Belajarlah dari ibuku sebelum engkau menemani lelaki


Selanjutnya......

Sabtu, 24 April 2010

Menempatkan Konsisten di Jalan Bijak

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

“Seorang pemimpin harus konsisten.” Kalimat seperti itu sering kita dengar. Sebab katanya, pemimpin yang tidak konsisten berarti plin-plan. Apa benar? Terus terang kalimat itu malah mengusik pemikiran saya. Karena konsisten kerap disalah artikan, sehingga penerapannya malah kaku. Bahkan membuat situasi menjadi kacau.


Coba kita pikir, Nabi Adam dikeluarkan dari surga bukan karena tidak konsisten. Tapi disebabkan tidak mampu bersikap bijak kepada istrinya, Hawa. Ketika Adam merasa kesepian, dia meminta teman. Kemudian Allah menciptakan Hawa yang diambil dari tulang rusuknya. Ini sebagai isyarat bagi Adam agar dirinya bijak kepada wanita. Atau dengan kata lain, menjadi pemimpin itu harus bijak.

Kala itu, Adam konsisten dengan pendiriannya untuk tidak makan buah khuldi. Tapi di sisi lain Hawa juga konsisten ingin memakannya. Karena Adam tidak bijak, maka terjadilah pelanggaran.

Begitu juga dengan setan. Diusir dari surga bukan karena tidak konsisten kepada Allah, melainkan disebabkan tidak bijak kepada Allah. Sehingga dirinya termakan kesombongan. Ketika disuruh sujud kepada Adam, setan berkata “Pantaskah aku sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah? Aku lebih baik dari Adam, karena aku diciptakan dari api dan dia dari tanah.” Betapa tidak bijaknya setan sehingga mengeluarkan kata-kata sombong seperti itu. Sampai sekarang setan konsisten, karena dia tidak bisa bijak. Akibatnya, kita malah jadi korban konsistennya setan.

Lain lagi dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketika Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih putranya (hanya lewat mimpi) dia bersikap sangat bijak. Disampaikan dengan cara dialog kepada Ismail. Di situlah bapak dan anak ini kecerdasan emosionalnya sangat matang. Ismail begitu bijak menyikapi perintah Allah. Bijak, telah mengantarkan sikap konsisten keduanya. Triggernya adalah keimanan.

Konsisten jika tidak diikuti dengan jalan bijak akan membuat situasi morat-marit, kaku, bahkan menjadi lelucon. Saya jadi teringat dengan ponaan yang masih berumur dua tahun. Jika ditanya, “Berapa usianya?” dengan tegas dia bilang “Ua (Dua)” jawabnya dengan lidah cedal. Tentu dia tidak tahu dari mana angka ‘dua’ didapat. Saya jadi berpikir, kalau dia konsisten sampai tahun depan bisa-bisa menjadi lelucon.

Sama seperti cerita seorang sufi bernama Nasruddin, ketika ditanya, “Berapa usia kamu sekarang?” Dengan tegas Nasruddin menjawab, “Usiaku 40 tahun.” Si penanya malah bingung, “Lho tahun kemarin kamu menjawab 40 tahun, kok sekarang tetap sama?” tanyanya heran. Nasruddin malah menjawab “Iya, sebab aku konsisten.” Ujarnya enteng.

Dalam menempatkan konsisten yang menjadi pengendalinya adalah ‘bijak’. Tanamkan rasa bijak terlebih dahulu, baru terapkan secara konsisten. Dengan ‘bijak’ maka konsisten bisa berjalan lentur. Seorang atasan yang hanya berbekal konsisten namun tidak bijak, hanya akan membuat anak buahnya kendor motivasinya. Bisa dirasakan, betapa ‘sumpeknya’ anak buah jika melihat atasan marah-marah karena alasan konsisten dengan keputusannya.

Lantas, bijak itu seperti apa? Saya tidak akan mendefinisikan. Pasti Anda lebih tahu jawabannya. Tapi, saya jadi teringat ketika masih kecil, sering melihat ibuku yang membuat dodol. Saat itu, ibuku tidak mau beranjak dari dapur karena harus menunggui dodol yang dimasak di tungku api.

“Lho, kenapa gak ditinggal saja?” pikirku saat itu. Saya sampai kasihan dengan ibuku jika mengingatnya. Karena sebentar mengaduk, sebentar dibiarkan. Hal itu terus dilakukan sampai dodol matang. Ternyata, setelah saya dewasa baru tahu kalau membuat dodol itu harus ‘bijak’. Karena jika terus diaduk, maka dodol akan lengket menyatu seperti bubur. Tapi apabila kurang ngaduknya, pasti dodol akan banyak tutul-tutulnya karena kurang matang.

Saya jadi berpikir, coba saja saat itu ibuku konsisten mengaduknya, pasti dodolnya menjadi bubur. Tapi sebaliknya, jika konsisten dibiarkan, pasti dodolnya berkerak. Mudah-mudan saya bisa menempatkan konsisten di atas jalan bijak.

Selanjutnya......

Silaturahmi Malaikat

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Pada Hari Senin, 26 Des 2009 lalu teman saya di tempat kerja ada yang resign. Pada Hari Senin, 4 Januari 2010 diadakan perpisahan. Sebagai teman, tentu saya ingin memberi kenang-kenangan seperti teman-teman lainnya. Karena perempuan, maka dipilihnya buku sebagai kado perpisahan kepada temanku itu. Buku yang saya pilih tentu yang berhubungan dengan perempuan. Saya cari ke toko buku, maka didapat buku yang menurut saya bagus sebagai kenang-kenangan. Judulnya 'Menjadi Wanita Paling Bahagia'.

Buku itu bersama La Tahzan merupakan buku Best Seller di berbagai negara. Di Indonesia, buku itu telah terjual ratusan ribu eksemplar. Tak mengherankan, jika karya fenomenal tersebut melambungkan nama penulisnya, Dr. 'Aidh al-Qarni.

Saat itu saya sangat penasaran ingin membacanya. Tapi tidak mungkin saya buka bungkus plastiknya. Sempat juga ingin membelinya, tapi rasanya kurang cocok karena buku tersebut lebih khusus untuk perempuan. Apalagi waktu itu stoknya tinggal satu. Setelah dibungkus rapi, hari itu juga saya kasih ke temanku.

Namun, saya masih diliputi penasaran akan isi buku itu. Kok sepertinya menarik. Daripada penasaran, besoknya saya ke toko buku Gramedia, bermaksud ingin membacanya saja tapi tidak untuk membeli. “Untuk apa membeli, kan buku itu untuk perempuan.” Begitu yang terlintas di pikiran.

Begitu sampai di Gramedia langsung ke sasaran. “Stoknya baru datang, dan ini edisi terbaru” Jawab penjaga toko ketika saya tanya judul buku yang dicari. Benar, bukunya baru semua. Tentu saja masih dibungkus plastik. Dan tak mungkin bisa dibaca isinya. Akhirnya saya pulang dengan rasa penasaran.

Setiap ke toko buku selalu menyempatkan melihat buku tersebut. Siapa tahu sudah ada yang terbuka plastiknya. Tapi ternyata gak ada. Lama-lama capek sendiri dan rasa penasaran juga hilang pergi bersama keihlasan. Saya sudah tidak memikirkan lagi.

Tapi rupanya takdir tidak sejalan dengan pikiran saya. Setelah sekian lama, dan ketika itu saya baru selesai menyelesaikan tugas di luar. Seperti biasa, bermaksud istirahat di kantin untuk sekadar minum. Ternyata, di meja yang saya tempati, tepat di depan mata ada buku “Menjadi Wanita Paling Bahagia” punya teman yang sedang diletakkan di meja usai dibacanya. Alhamdulillah, begitu gampangnya terjadi kalau sudah takdirnya.

Subhanallah, do’a dari mana sehingga keinginan dikabulkan semudah itu. Padahal sudah tidak ada komunikasi lagi dengan teman saya. Mungkin jawaban paling tepat dari pertanyaan itu adalah “Silaturahmi Malaikat”. Bisa saja karena keihlasan rasa terima kasih dari teman saya, walau dengan kalimat sederhana “Trims bukunya pak! Jazakallah khairal jaza!”. Atau mungkin dari keihlasan memberi. Sehingga mampu menjembatani silaturahmi antar malaikat.

Karena, ketika kita menjalin silaturahmi dengan orang lain, maka akan mempertemukan dua mailakat yang akan saling mendo’akan. Insya Allah !! Di antara golongan orang yang berbahagia dengan permohonan ampun dan do'a para malaikat adalah orang yang dido'akan saudaranya dari kejauhan. Begitu pun dengan orang yang mendo'akannya.

Diantara dalilnya:
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ibnu 'Abdillah bin Shofwan, ia mengatakan, "aku pergi ke negeri Syam dan mengunjungi Abu Darda' di kediamannya, namun ia tidak berada di rumahnya. Hanya Ummu Darda' yang ada, ia berkata, "Apakah tahun ini engkau akan pergi haji?", "ya" jawabku.

Dia kembali berkata, "Do'akanlah kebaikan bagi kami, sebab Nabi SAW bersabda, "Do'a seorang muslim bagi saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido'akannya adalah do'a yang terkabul. Di atas kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo'a bagi saudaranya dengan satu kebaikan, maka malaikat tersebut mengucapkan: 'Aamin dan engkau pun mendapatkan apa yang diperolehnya' " (shahih muslim).

Al-Qodhi 'Iyadh mengatakan: "Apabila generasi salaf hendak berdo'a untuk dirinya sendiri, mereka pun berdo'a bagi saudaranya sesama muslim. Sebab, do'a tersebut adalah do'a yang terkabul dan ia pun akan mendapatkan apa yang didapatkan oleh saudaranya sesama muslim".

Al-hafizh Adzdzahabi mengisahkan dari Ummu Darda' bahwasannya Abu Darda' mempunyai 360 orang yang dia cintai di jalan Allah yang selalu dia do'akan dalam sholatnya. Ketika Ummu Darda' mempertanyakan hal itu, ia pun menjawab: "Apakah aku tidak boleh senang apabila para malaikat mendo'akan diriku?" (siyar a'laamin nubalaa').

Merekalah orang-orang yang gigih dalam meraih shalawat para malaikat. Mereka semua sangat bersemangat dalam mendo'akan saudara-saudara mereka sesama muslim tanpa sepengetahuan saudara yang dido'akannya itu, dan perkara ini senantiasa ada.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan kita semua golongan mereka dengan karunia dan keutamaan dariNya...Amiin, yaa dza Jalaali wal Ikroom....

Teman-teman di facebook yang membaca ini jangan lupakan aku dalam do'amu. Baik engkau yang mengenalku maupun tidak.

Selanjutnya......

Otak-Otak dari Langit

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Beberapa minggu lalu salah satu teman di tempat kerja mau pulang ke kampung halamannya di Kijang, Pulau Bintan. Kijang sangat terkenal dengan otak-otaknya. Otak-otak adalah suatu jenis makanan yang terbuat dengan komposisi tepung, ikan laut, cabai dan bumbu-bumbu yang akan menambah kelezatan otak-otak tersebut.

Otak-otak made in Kijang rasanya sangat beda dengan yang dijual di Tanjungpinang dan daerah lainnya, termasuk di Batam. Kalau di tempat lain komposisi bahannya lebih banyak tepungnya dibanding ikannya. Padahal, kunci kenikmatan otak-otak terletak pada proporsi ikannya.

Ada beberapa teman yang pesan. Saya dengan bercanda juga ikut-ikutan pesan. Bahkan dengan kalimat bercanda saya tulis di facebook dia, isinya gini: “Horreeee....titip otak2 spesial dgn harga spesial yg satu biji harga Rp.500, pesan 100 bungkus, sy tunggu paling lambat Hari Sabtu, tgl 3 April 2010 pukul 08.00 sebelum berangkat ke Ocarina, komisi bisa diatur.” Pesan ini ditulis pada Hari Kamis, 1 April 2010.

Namanya saja bercanda, pastinya saya gak mengharap apa-apa. Tapi rupanya takdir berkata lain. Besoknya pada Hari Jum’at sore, 2 April 2010 kakak saya yang tinggal di Tanjungpinang, P. Bintan beserta keluarganya datang ke Batam. Mereka membawa oleh-oleh otak-otak ikan special asli beli di Kijang. Jumlahnya juga gak tanggung-tanggung sebanyak satu kantong kresek penuh.

Saya berpikir, kenapa do’a yang serius kadang susah dikabulkan. Tapi yang bercanda begini malah cepat terkabul. Padahal ketika itu posisi saya bukan sedang dizalimi. Apakah karena hanya otak-otak, sehingga Tuhan gampang mengabulkan?. “Ah..Tuhan kan maha kaya, mana mungkin bisa dilogikakan seperti itu !!”

Dari kejadian tersebut, saya jadi teringat kisah Nasruddin (seorang sufi yang konon beraliran sesat). Pada suatu hari Nasruddin kebelet ingin buang air besar. Karena sedang bepergian ke kota dia bingung mencari WC. Akhirnya dia menemukan jamban tua (WC umum) yang terbuat dari kayu seadanya.

Begitu selesai buang air besar, Nasruddin bingung karena sedang tidak membawa uang. Sekali menggunakan jamban harus membayar Rp.100. Dalam situasi kepepet dia berdoa “Tuhan, aku tidak punya uang untuk membayar jamban ini, tolong kirimkan aku uang Rp.100. Atau kalau tidak, robohkan saja jamban ini agar aku tidak perlu membayarnya.” Begitu do’a Nasruddin di dalam jamban.

Setelah do’nya selesai, tiba-tiba jamban tua tersebut roboh. Tapi Nasruddin malah kebingungan dan berpikir “Ternyata Tuhan sangat miskin, uang Rp.100 saja tidak punya sehingga harus merobohkan jamban ini.” Pikirnya sambil bengong. Silahkan kaji sendiri makna sufistik dari kisah Nasruddin ini.

Namun yang pasti, Allah maha tahu akan kebutuhan hambanya. Kadang Dia tidak memberi yang kita inginkan tapi mengambulkan apa yang kita butuhkan. Kata Allah, "Berdo'alah padaKu, akan Kukabulkan semua permohonanmu."

Di sisi lain, "Jika ada hambaKu bertanya padamu tentang Aku, katakanlah (hai Muhammad) Aku ini dekat." Dan, "bahwasanya jika Allah menghendaki sesuatu, cukuplah dengan firmanNya; jadilah! maka terwujudlah sesuatu itu."

Dari itu semua, mengapa pula ada kesan tentang do'a yang tidak pernah terkabul? adakah Allah telah menyalahi janji atau Allah tak mampu? Kata Rasulullah, "Allah mengabulkan do'a hambaNya melalui tiga kategori; dipercepat pengabulannya, ditunda sampai waktu yang tepat, atau diganti dengan yang lebih baik."

Di sisi lain Allah berfirman," Boleh jadi kalian membenci sesuatu tapi sesuatu itu baik bagi kalian. Boleh jadi kalian mencintai sesuatu tapi itu buruk bagi kalian. Allah Maha Tahu, sedang kalian tidak!"

Kewajiban hamba adalah berdo'a dan hak hamba adalah dikabulkanNya do'a. Tapi haruskah semuanya mutlak sama dengan yang kita mau? tidak! pemahaman kita terlalu kerdil untuk menerima yang Allah berikan.

Misteri do'a sangat dalam, jika ternyata Allah hendak menunjukkan kasihNya dengan memberi alternatif lain, selain menuruti ketergesaan kita, kenapa kita harus menolak? Jika ternyata setelah kegelisahan kita malah lebih dekat denganNya, kenapa kita harus sungkan dan memilih kufur dengan cara mengumpat-ngumpat kedunguan? Nauzubillah


Selanjutnya......

Selasa, 06 April 2010

Syair Sufistik Mahmud Syaltut Usfa

Guru Berbicara Angin

Seorang guru menerangkan tentang ahlak ke murid-muridnya di kelas
Sang murid tersenyum
Mulut membisu hatinya berkata:
Kata-kata angin
Berhembuslah ke samudera kemunafikan
Lemparkan lidah manis itu ke jahannam
Rebuslah dalam apinya yang membara

Sang guru terus mengoceh tentang ahlak
Sang murid tersiksa menahan kencing



Kebisingan Hati

Betapa akal terus tersiksa menyanggah kebisingan hati
Hati terus menyeret nafsu berbicara kefanaan dunia
“Diamlah..!! Aku malu menatap tubuh ini.” Sergah akal

Hati terdiam dalam belenggu detik
Namun tak lama menyeret nafsu kembali

Akal hanya mampu berkata dalam hening:
Diamlah..!!
Diam..!!
Dia..!!
Aku malu menatap tubuh ini..!!




Cepat Kejar Sang Waktu

Cepat pergi ke ujung waktu
Berlari saja hingga mampu menyambutmu
Dia akan mengembalikan separuh tubuhmu

Peluklah dengan erat saat bertemu
Hempaskan rasa rindu masa lalumu
Sebelum masa lalu terhapus oleh zaman

Bicarakanlah tentang hari ini
Sebelum berganti menjadi masa lalu

Sadarkah kamu,
Sang waktu akan terus berdiri kokoh
Hingga separuh tubuhmu tak bisa dikembalikan lagi




Selanjutnya......

Menyingkap Jalan Ideal Pendidikan Anak TK

Opini Batam Pos (Written by Mahmud Syaltut Usfa S.Psi , Monday, 05 April 2010)

(Penulis adalah Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Definsi serta penerapan anak Taman Kanak-kanak diberikan pekerjaan rumah (PR) masih sering terjadi perbincangan serius. Bahkan perdebatan antara wali murid dengan orangtua siswa. Alasannya sangat klise, anak TK tidak boleh ‘dibebani’ dengan PR. Arugumennya, karena belajar di TK masih sebatas bermain dan bukan belajar formal.

Kita sudah tahu, pandangan selama ini Taman Kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di Taman Kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak. Kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.

Bahkan ada pandangan lebih ekstrim lagi, anak TK belum saatnya diajari membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Karena akan membebani otaknya. Akibatnya, anak menjadi ‘alergi’ dengan pelajaran setelah duduk di bangku SD. Sebenarnya, biang persoalannya adalah perbedaan dalam mendefinisikan ‘arti belajar’. Belajar kerap diistilahkan mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi.

Memberikan PR kepada anak TK dengan alasan sebagai upaya menciptakan kesadaran sah-sah saja. Tidak hanya itu, anak juga merasa memiliki tanggung jawab, bahkan punya eksistensi kalau dirinya sudah sekolah TK. Contoh, di sekolah keponakan saya (salah satu sekolah favorit di Pinang) setiap minggu diterapkan PR satu mata pelajaran.

Dia sama sekali tidak terbebani. Justru ketika diajak jalan-jalan masih sempat bilang “Tunggu dulu mau mengerjakan PR sebentar.” Bukan beban yang dirasakan, justru tertanam rasa tanggung jawab. Bahkan rasa bangga karena sudah sekolah. Jangan-jangan justru orangtua yang merasa terbebani?

Hanya yang menjadi persoalan adalah metodenya. Jika PR diberikan setiap hari, apalagi dengan target-target tertentu, pasti akan menjadi beban bagi anak. PR cukup sebagai tugas, bukan sebagai beban. Apalagi sampai diberi punishment (hukuman), jika tidak mengerjakan PR maka harus berdiri di depan kelas, misalnya.

Sebenarnya, yang menjadikan rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum adalah Teori psikologi perkembangan Jean Peaget. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.

Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Sehingga dipandang tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK.

Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Jangankan ingin mencerdaskan anak, akhirnya malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka masuk SD.

Namun, model belajar konvensional di TK malah menjadi persoalan sendiri bagi orangtua saat ini. Karena untuk masuk sekolah di SD favorit harus melalui tes seleksi. Standarisasi tesnya pun sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, tes kemampuan bahasa inggris. Bayangkan, bagi anak yang ketika di TK belum dipelajari calistung, pasti tidak bisa mengerjakan tes.

Di sekolah kami misalnya, ada beberapa orangtua yang anaknya tidak lulus tes masuk mempertanyakan alasannya. Setelah kami jelaskan, mereka balik mempertanyakan, “Kenapa standarisasinya tinggi, bukankah wajar kalau anak baru lulus TK belum bisa membaca, menulis, dan berhitung?”.

Persoalan ini menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai diajarkan pada tingkat pendidikan SD. pada perkembangan terakhir, hal itu menimbulkan sedikit masalah. Ini sangat realitistis, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.

Rata-rata materi pelajaran kelas satu sudah diajarkan soal cerita, mengarang. Juga membuat analisa sederhana dari sebuah peristiwa. Apalagi seperti di sekolah kami yang mematok target prestasi menuju sekolah Islam bertaraf internasional.

Bisa dibayangkan, bagaimana bisa mencapai target tersebut jika seleksi awal tidak memenuihi standar. Sekali pun kurikuklum dan metode belajarnya bagus, guru-gurunya berkualitas, dan infastrukturnya lengkap namun inputnya lemah, maka akan kesulitan menghasilkan output sesuai dengan standar.

Akhirnya kami bisa memahami jika muncul kekhawatiran para orang tua. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak naik kelas”, “tidak lulus”, kini semakin menakutkan. Sebab akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak kalau akhirnya harus mengulang kelas.

Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Mau tak mau sekolah-sekolah TK harus berani melakukan inovasi metode belajar. Hingga akhirnya, metode belajar pakem yang konotasinya anak TK hanya belajar bernyanyi dan bermain lambat laun dinilai tidak efektif lagi.

Beberapa anak mungkin berhasil menguasainya, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu, wajar jika sekolah TK jika ingin maju harus terus berani dan cerdas melakukan pengembangan. Termasuk menerapkan PR selagi tidak dijadikan beban kepada anak.

Bagaimana jika anak yang usianya sudah memasuki wajib belajar namun belum bisa membaca?.
Jangan khawatir. Beberapa literatur menunjukan, bahwa tidak ada jaminan anak yang lebih dahulu bisa membaca akan lebih sukses di masa depan daripada mereka yang terlambat. Banyak tokoh sukses yang justru terlambat membaca. Tentu saja mereka tidak bisa menjadi patokan mutlak.

Di buku Right Brained Children in a Left Brained World disebutkan, tokoh-tokoh seperti Albert Einstein, George S. Patton, William Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. Anak-anak di Rusia misalnya, baru membaca di usia 7 tahun, tapi mereka cerdas-cerdas.

Melihat realitas seperti itu, tentu harus disikapi dengan bijak. Setiap pertemuan dengan guru dan Kepala TK pihak Dinas Pendidikan selalu mengingatkan agar tidak mengajarkan calistung. Tetapi tidak pernah melarang sekolah SD untuk melakukan tes kepada calon muridnya.

Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi sebagai bahan kajian bagi Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang kompeten. ***




Selanjutnya......

Ayo Semangat Ciptakan Etos Kerja !

(Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa)

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang dikala senja dengan syukur penuh dirongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesukuran terpahat di bibir senyuman
(Kahlil Gibran)


Di sebuah perusahaan diterapkan karyawan pulang harus tepat waktu. Setiap pukul 4 sore tepat para karyawan baru bisa pulang. Tapi pada suatu hari karena ada persoalan, maka manajemen memperbolehkan karyawan pulang pukul 3 sore. Maka, tepat pukul 2 siang pihak manajemen mengumumkan “Karena ada suatu hal di perusahaan, maka khusus hari ini karyawan bisa pulang pukul 3 sore”.

Mendengar ada informasi mendadak itu, ternyata ada dua kelompok karyawan yang mensikapi secara berbeda. Kelompok pertama mengatakan: “Wah…masih ada waktu satu jam untuk menyelesaikan pekerjaan saya”. Mereka terus bekerja dengan semangat mengejar waktu satu jam agar pekerjaannya selesai.

Sedangkan kelompok kedua mengatakan: “Wah…masih satu jam lagi kita baru bisa pulang”. Dan mereka pun sudah tidak memiliki semangat kerja lagi. Di pikirannya hanya menunggu pulang. Terlihat jenuh menunggu waktu satu jam.

Mereka mendapat informasi sama. Jam pulang juga tidak berbeda. Pola pikir masing-masing yang berbeda sehingga terjadi dua kelompok. Pola pikir pesimis, negatif, dan sejenisnya akan membentuk etos kerja statis. Namun sebaliknya, jika memiliki semangat kerja, maka pikiran menjadi produktif untuk berkarya. Pada akhirnya tidak mustahil dengan karya akan melahirkan prestasi.

Karyawan yang memiliki etos kerja tinggi tidak akan memposisikan dirinya sebagai bawahan terhadap bosnya. Melainkan berada di posisi bargaining. Dirinya adalah profesional, bukan anak buah. Semakin berkualitas etos kerja maka semakin tinggi nilai profesionalismenya. Semakin tinggi profesionalismenya secara otomatis semakin kuat posisi bergainingnya.

Seorang bos yang memahami profesionalisme kerja tidak akan memandang bawahannya sebagai anak buah. Melainkan dipandang sebagai mitra kerja. Sebab, dalam posisi bargaining kedudukan bos dengan karyawan di posisi sejajar. Adanya hirarki dalam suatu organisasi industri adalah sebagai strata penataan manajemen dalam pembagian tugas.

Berbicara etos kerja pikiran saya langsung ke orang-orang Jepang. Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki etos kerja yang hebat.Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Jepang itu sendiri.

Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang Jepang, dari semboyan samurai yang menyatakan “Lebih baik mati daripada berkalang malu”, ada juga istilah MAKOTO yang artinya bekerja dengan giat semangat, jujur serta ketulusan. Belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos kerja para pekerja di luar negara Jepang.

Saya pernah mendengarkan pengajian KH. Miftah Faridh. Ketika dia ke Jepang ada hasil penelitian, ternyata banyak istri-istri yang tersinggung ketika suaminya pulang lebih cepat. Karena istrinya berpandangan, “Pasti suami saya tidak dipakai di perusahaan.”

Begitu tingginya etos kerja mereka sampai menyentuh harga diri. Bandingkan dengan budaya kita pada umumnya. Pulang lebih cepat sangat diharapkan. Alasannya ada saja dibuat-buat. Bahkan, belum jam pulang sudah merengek-rengek minta pulang, alasannya tidak ada kerjaan. Aneh, mana mungkin di tempat kerja tidak ada kerjaan? Minimal berpikir dan membuat perencanaan. Lebih aneh lagi, sudah datang terlambat tapi pulang paling cepat. Wajar saja kalau negara kita selalu terlambat dengan negara lain.





Selanjutnya......

Jumat, 02 April 2010

Sajak Sufistik Mahmud Syaltut Usfa

Pelayanku

Jiwa yang hakiki, keluarlah sejenak dari tubuh tuanmu
Lihatlah tarian kemunafikan
Menjijikkan bukan…?
Di situlah selama ini engkau melayaninya


Aku Ingin

Aku ingin menatap-Mu tanpa kata
Ketika perut hening tanpa nafsu
Ketika semua mata terpejam tanpa rasa
Ketika roh terangkat tanpa keluh kesah


Tiada Umpama

Asmaul husnah menjalar setiap detik di nafasku
Kupegang erat agar tak jatuh dari kebodohanku
Lidahku lelah hingga berjalan membungkuk
Tak sanggup membaca perumpamaan
Kubiarkan mengembara
Karena aku sudah menyatukannya dengan hati


Wahai Nafsu


Wahai nafsu, penjarakan segala kebaikanku
Saat ini engkau telah memiliki hatiku


Selalu Ada


Setiap amarah datang, kesabaranku selalu menyambutnya
Setiap kesabaran goyah, keihlasanku selalu memapahnya
Setiap kehinaan menghampiri, kemuliaanku selalu datang tersenyum
Setiap kesedihan datang, kebahagiaan selalu mendekapku





Selanjutnya......

Selasa, 23 Maret 2010

Alunan Ayat Al-Qur’an Anak Kecil Menyiram Hati

(Catatan Hati Mahmud Syaltut Usfa)
Sudah dua bulan ini aktifitas pekerjaan saya benar-benar intens. Terlebih dalam dua minggu ini. Biasa, tugas rutin di tempat kerja serta berbagai tetek bengek urusan di luar. Malam harus ‘nongkrong’ di studio musik. Sampai-sampai saya harus ketiduran di meja karena gak kuat nahan ngantuk.

Khusus hari ini (Selasa, 23 Maret 2010) bisa dikatakan full dari pagi sampai sore. Belum lagi harus bolak-balik urusan di luar. Wuih…lumayan capek. Maklum, pada Hari Kamis nanti, 25 Maret 2010 pembukaan Porseni tingkat kecamatan. Kebetulan saya wakil ketua (kadang posisinya gak jelas, kadang jadi ketua, kadang jadi sekretaris). Menjelang pembukaan, sudah pasti menjadi saat-saat yang menyibukkan. Banyak persiapan harus diselesaikan.

Menjelang gladi resik tadi sore, saya langsung ke kantor dewan guru SDN 008 dan mempersiapkan konsep acara. Badan masih terasa capek, otak juga terasa penuh pikiran. Apalagi cuaca panas membuat badan terasa gerah. Hanya hati yang terasa masih ada semangat. Kalau tenaga jangan ditanya, mungkin tinggal 5 watt.

Ketika sedang mengetik, saya mendengar suara anak SD melantunkan ayat suci al-Qur’an dari ruang kepala sekolah. Subhanallah…Allahuakbar merdu sekali. Seketika itu segala perasaan penat terasa rontok. Pikiran terasa ringan, hati rasanya adem. Saya berhenti mengetik, tertegun sejenak dan bertanya ke gurunya. “Merdu sekali suaranya, anak itu kelas berapa?” tanyaku masih dengan rasa tertegun. “Kelas IV pak, dia yang mau ikut Porseni nanti.” Jawab gurunya bangga.

Saya jadi teringat dengan nenek dan bapakku yang memang sangat senang mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Nenek punya radio kuno dan bentuknya antik betul. Nenekku biasa mendengarkan pangajian atau pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an lewat radio. Apalagi kebiasaan dia bertasbih, rasanya asyik betul bertasbih sambil mendengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Qur'an.

Begitu juga dengan bapak, selalu terlihat asyik mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi teringat masih kecil. Saya punya kakak (dua pupu) perempuan, dia juara qori'ah nasional. Saat mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat nasional, bapak selalu menunggu giliran dia. Bapak gak pernah ketinggalan, bahkan saat itu radio seharian hanya mendengarkan siaran langsung MTQ.

Saya juga teringat kisah WS. Rendra sebelum masuk Islam. Setiap sakit, dirinya merasa tenang, bersemangat dan sembuh ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dari jauh. Hingga akhirnya dia benar-benar mempelajari Islam dan menjadi muallaf.

Setelah gladi resik selesai, suara alunan ayat-ayat Al-Qur’an masih terngiang di telinga. Dalam perjalanan naik motor masih saya rasakan. Terbayang bagaimana Umar bin Khattab. Saat itu, seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur'an.

Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur'an.

Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya.

Saya bukan seperti nenek dan bapakku, juga tidak sesakral WS. Rendra. Apalagi laksana Umar bin Khattab hingga hati bergetar mendengar alunan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, yang pasti ayat-ayat Al-Qur’an dari mulut anak kecil itu telah merontokkan segala kepenatan pikiranku. Hati terasa adem menghempaskan suasana panas mentari.





Selanjutnya......

Jumat, 19 Maret 2010

“Bahavior-isme Ayam dan Wanita”

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Jenis-jenis ilmu sangat beragam. Ada ilmu yang membahas tentang tubuh manusia, hubungan antar manusia, kesehatan manusia, alam semesta, komunikasi antara individu, tumbuhan, binatang, spiritual, dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Dalam ilmu psikologi sendiri sudah pasti mempelajari ilmu perilaku (behavior).

Menariknya adalah kaitan yang erat antara ilmu tentang perilaku hewan (animal behavior) dan perilaku manusia (human behavior). Karena di dalam diri manusia ada sifat-sifat hewan yang kerap muncul. Kita pasti sering mendegar istilah-istilah perilaku manusia yang dikaitkan dengan hewan. Misalnya, “Jinak-Jinak Merpati” bermakna orang yang jatuh cinta tapi menunjukkan sikap malu-malu. Ada juga istilah untuk lelaki penggoda wanita dengan sikap gombalnya, yaitu “Buaya Darat”.

Bahkan pernah ada hasil penelitian, bahwa, harimau untuk membatasi area kekuasaannya dengan cara mengencingi area tersebut. Ternyata cara seperti itu juga sama yang dilakukan para gangster di perkotaan. Hanya bedanya, para gangster tidak dengan mengencingi, tapi dengan mencoret-coret dinding di sekitarnya (graffiti).

Istilah tak kalah sangat popular adalah bagi orang-orang yang sangat rakus. Mereka digambarkan seperti “Monyet”. Sedangkan bagi para pengutil, koruptor, dan sejenisnya disamakan dengan “Tikus”. Banyak istilah-istilah lain dari sikap manusia yang disamakan dengan binatang. Ini menjukkan kalau dalam diri manusia memiliki “nafsu” hewani.

Wah, jadi serius nih nulisnya. Padahal ingin nulis sederhana-sederhana saja. Nah, ada lagi istilah yang sangat menarik. Yaitu “Ayam”. Biasanya istilah ini dikhususkan bagi ‘perempuan-perempuan nakal’. Bisa diboking, pereks, dan sejenisnya. Kenapa ya? Saya kurang bisa menjelaskan secara rinci.

Tapi saya jadi teringat ketika masih kecil, saat di kampung. Sangat hobi memelihara ayam. Saking senangnya, setiap hari memperhatikan perilaku-perilakunya. Ada perilaku yang menarik. Sering sekali apabila ayam mau berhubungan seks, si jantan selalu mengejar si betina. Saat itu saya berpikir “kok maksa sekali”. Bahkan, tak jarang saya pukul si jantan karena kasihan si betina seperti mau diperkosa saja. Eh….ternyata pikiran saya meleset jauh.

Buktinya, setelah kejar-kejaran pasti si betina lari ke semak-semak atau ke tempat sepi. Setelah menemukan tempat yang nyaman si betina langsung nungging dengan pasrahnya. “Busyet” pikirku. Ternyata lari bukan tidak mau, tapi mencari tempat sepi.

Setelah banyak membaca buku-buku psikologi saya bisa mengkajinya. Hipotesa saat ini, berarti perempuan saat mengatakan “tidak” kepada laki-laki untuk diajak kencan, bukan berarti “kata mati”. Bisa saja karena belum menemukan tempat yang cocok. Si laki-laki berarti harus mengerti untuk berusaha menggiring ke tempat-tempat romantis. Setelah tempatnya cocok, sepertinya tidak usah bersusah payah lagi, tunggu saja reaksi si wanita. (Maaf saya tidak berani mengatakan si wanita akan nungging).

Hipotesa ini sangat beralasan. Sudah banyak kasus-kasus perselingkuhan. Bahkan, dilakukan terang-terangan kepada mereka yang sudah berkeluarga. Wah…sangat banyak kasus, panjang ceritanya jika diulas di sini. Apakah karena itu ‘perempuan nakal’ diistilahkan “Ayam”? Pastinya, jika tidak ingin disebut “Ayam” jaga kemuliaan diri.




Selanjutnya......

Kamis, 18 Maret 2010

Syair Hati - Mahmud Syaltut Usfa

“Sang Pemuji Cinta”

Mata hati terus menatap langit-langit pikiranku
Resah bila cinta berlalu tanpa kata
Rindu ini berjalan tanpa suara
Hanya detak langkah mendekat ke hulu gelisah

Di sisi hati cinta berdiri begitu angkuh
Bagai nafsu menerjang kelelakianku

Aku bukanlah Qais yang mampu menjadikanmu Laila
Aku bukanlah Romeo yang sanggup mewujudkanmu Juliet
Namun, hati ini setahta dengan sang legenda cinta itu

Ambillah hati ini dengan senyummu
Sekalipun cinta tak terukir di hatimu
………..Sayat-sayatlah hati ini dengan senyummu
………..Mataku akan terus menatap dengan keihlasan

Hati ini sudah kuserahkan pada pemilik-Nya
Cinta ini sudah kulebur dengan kekasih-Nya

Rasa benci hambar merapat pada keindahan
Rasa duka menyebar terangkai senyuman

Cinta adalah sejarah
Tersusun indah dalam prosa hati
………..Bentangkan layar kehidupan
………..Agar sejarah cinta terus ada di nafas zaman




Selanjutnya......

Senin, 15 Maret 2010

Rasulullah Saja Sahabatnya Empat

(Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa)

Kira-kira setahun lalu seorang anak kecil yang masih duduk di kelas I SD bertanya pada saya “Berapa temannya di facebook?”. Saya jawab, hanya sedikit gak sampai 30. “Hah….sedikit sekali, saya saja punya teman lebih seratus.” Jawabnya dengan nada polos.

Saya berpikir sejenak…”Apa susahnya cari teman di facebook, jangankan ratusan, ribuan juga gampang saya dapat.” Pikirku dalam hati sambil senyum-senyum. Tapi apalah artinya ribuan teman jika semuanya hanya dari kuantitas. Di facebook kan lebih banyak teman nempel daripada yang benar-benar berisi secara kualitas. Ya…itu hanya sekadar analogi ringan saja. Toh kenyataannya teman-teman di luar yang tidak tercatat di facebook lebih banyak.

Tentu kuantitas teman di facebook tidak bisa disamakan dengan sisi kualitas teman di pergaulan sehari-hari. Artinya, bukan berarti yang memiliki teman sedikit di facebook tidak pandai bergaul sehingga relasinya sedikit. Contoh ringan saja, dari sekian banyak saudara kandung, keponakan, sepupu, hanya sekitar 8 saja yang suka main facebook.

Pernah ada teman tanya juga sama saya “Sahabatmu pasti banyak, kan pergaulanmu luas.” Jujur saja, saya bingung menjawabnya. Dengan kata lain, saya tidak memiliki sahabat. Tapi kalau teman-teman berjubel. Mereka sangat baik, tidak pernah ada masalah serius. Teman-teman saya hampir dari berbagai lapisan masyarakat. Itu pun wajar-wajar saja karena saya pernah jadi jurnalis. Begitu juga kegiatan sehari-hari yang beragam membuat saya banyak kenalan. Mulai aktifitas di praktisi pendidikan, psikologi, musik, menulis, LSM dan lain-lain. Saya rasa semua orang juga sama, bahkan lebih, kecuali yang memang malas berinteraksi.

Kembali ke persoalan sahabat. Sempat membuat saya mikir-mikir “siapa ya sahabat saya? Pacar saja belum seratus persen bisa dijadikan sahabat.” Begitu pikiran saya saat itu. Tapi setelah dipikir-pikir Rasulullah saja yang begitu dicintai ummatnya, bahkan disegani musuh-musuhnya karena ahlaknya sangat luar biasa, ternyata sahabatnya hanya empat orang. Yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja sahabat-sahabat lainnya yang tidak sering kita dengar juga banyak. Begitu juga tokoh-tokoh dunia yang banyak ‘dikerumuni’ para relasi, ternyata sahabatnya juga bisa dihitung jari. Pimikiran itu yang membuat saya tenang.

Memang benar kata orang-orang, sahabat tidak sama dengan teman. Mencari teman sangat gampang apalagi saat kita senang dan sedang dibutuhkan. Tapi begitu kita susah, terpuruk, teman pada menghindar. Dalam perspektif psikologi sendiri dikatakan cinta sejati itu ada apabila sudah sampai kepada titik persahabatan. Suami istri belum mencapai cinta sejati jika belum sampai ke ruang cinta persahabatan.

Carilah teman sebanyak-banyaknya. Belajarlah terus memahami dengan cara menjadi pendengar yang baik. Jangan menoleh ke belakang saat berbuat baik agar keihlasan selalu menemani. Berusahalah untuk menjadi pemaaf dan pemberi maaf.

Dalam pergaulan merupakan hal yang lumrah jika terjadi perselisihan. Kata pepatah Melayu “Sepandai-pandainya lidah menguyah akan tergigit juga”. Redam sekuat-kuatnya jika terbesit rasa dendam. Teman selalu berarti. Kenanglah kebaikannya, buanglah prasangka negatif agar hati selalu lapang menerima segala fenomena pertemanan. Insya Allah kita bisa menemukan sahabat. Hal terberat yang saya rasakan, jika harus kehilangan teman di saat hati gelisah menunggu jawaban.





Selanjutnya......

Sabtu, 13 Maret 2010

Syair Lara - Mahmud Syaltut Usfa

KESAKSIAN HATI

Aku mendengar suara jiwa yang terluka
Menjerit syahdu di antara celah-celah pengharapan
Batinnya mulai galau menatap kebenaran

Luka…
Luka…
Ada lagi tentang luka..


Aku..
Mencoba memanah rembulan
Ketika matahari tersungkur di kelopak mata bumi

Ada sangsi yang harus dibangunkan
Di saat hati masih menunggu bening

Dia…
Hati beningnya harus keruh menunggu gelisah berlalu

Aku..
Terpanah menatap mata batinnya yang begitu kokoh
Kucoba mengumpulkan serpihan lara
Biarlah air mata menjadi perekat di hening hati
Agar duka tersingkir berganti rangkaian prosa hati

Kebenaran harus dikabarkan
Agar hati menjadi saksi
Sampai rembulan berjalan terang menuju ufuk hati




Selanjutnya......

Cantik Seharusnya Praktis

(Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Bung Karno adalah sosok yang selalu terang-terangan mengagumi kecantikan wanita. Jika lagi sakit, dirinya minta dirawat oleh perawat yang berwajah cantik. Alasannya, mensugesti dirinya cepat sembuh. Dia tidak hanya mengagumi kecantikan wanita dari segi lahir saja, namun juga dari sisi batin. Kagum di sini karena Bung Karno memandang perempuan sebagai sosok sempurna. Tak heran kalau akhirnya dia menulis buku Sarinah yang diambil dari figur pembantunya.

Jadi teringat cerita dosen saya. Ketika itu dia masih kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM). Pada saat acara peresmian UGM, langsung dipimpin oleh Bung Karno. Ketika mau menggunting pita, Bung Karno melihat wanita cantik (dosen) yang juga panitia di situ. Bung Karno berhenti sejenak dan memandang wanita tersebut. Kemudian dia bertanya “Siapa wanita itu?”. Tentu saja para panitia dan tamu di situ merasa kikuk, khususnya si wanita cantik itu.

Kamudian rektornya menjelaskan ke Bung Karno kalau wanita cantik itu adalah dosen di UGM dan suaminya juga dosen di situ. “Wah kebetulan, mana suaminya?” kata Bung Karno. Suami wanita itu langsung memperkenalkan diri ke Bung Karno. “Maaf, bolehkah saya berbicara sebentar dengan istri Anda?” tanyanya minta izin. “Baik pak presiden silahkan.” Jawab suaminya. Setelah mendapat izin, langsung Bung Karno menghampiri wanita cantik itu. Ternyata Bung Karno hanya berbicara sebentar dan bertanya biasa-biasa saja. Setelah itu dia merasa senang dan langsung melanjutkan pengguntingan pita.

Lain lagi dengan WS. Rendra. Dia sangat terinspirasi menulis puisi ketika melihat wanita cantik. Hal ini juga diakui mantan istrinya, Rr. Sito Resmi Prabuningrat. “Kalau melihat wanita cantik dia sangat terinspirasi menulis puisi, istri-istri dia semua dapat puisi, kecuali saya.” Ujar perempuan cantik itu saat wawancara dengan Metro TV ketika WS. Rendra meninggal.

Kalau Anda bertanya pada saya “apakah saya suka wanita cantik? “ Jawabnya sudah pasti tahu semua “Iya”. “Apakah perempuan cantik mampu mensugesti saya layaknya yang dialami Bung Karno?” Saya juga akan menjawab “Iya”. Apakah puisi-puisi saya juga terinspirasi oleh wanita-wanita cantik, seperti WS. Rendra?”. Jujur, dengan tegas saya katakan “Iya”.

Mungkin, saya memiliki sudut pandang berbeda dengan dua tokoh yang saya kagumi itu. Pandangan saya, perempuan cantik itu “praktis”. Orang cantik seharusnya praktis !!. Karena, sekali pun bangun tidur terus cuci muka, pakai daster, pergi ke pasar akan tetap cantik. Tidak perlu repot-repot wajahnya dipoles make up. Seharusnya begitu. Bahkan, tidak perlu repot-repot memakai pakaian mahal. Karena memakai pakaian seadanya juga akan tetap cantik kok.

Tapi, ada juga perempuan cantik malah tidak praktis? Nah, perempuan cantik jenis itu sangat kasihan. Seharusnya hidupnya praktis malah berubah menjadi rumit. Coba saja bayangkan, bangun tidur langsung bercermin, mau mandi bercermin dulu, saat mandi juga masih sempat bercermin, setelah mandi (apalagi) langsung menyodorkan wajahnya ke cermin, mau keluar rumah lagi-lagi harus bercermin. Ah…rumit sekali, padahal wajahnya itu-itu juga !!.

Belum lagi harus dandan, wajahnya dipoles mak up sana-sini dengan berbagai aneka corak dan merk. Huh…sangat rumit !! Masih ditambah balutan pakaian di tubuhnya. Memakai yang serasi dengan dandanan make up-nya. Memilih pakaian masih harus “cerewet”, alasannya menserasikan dengan bentuk tubuhnya. Aduh…rumit sekali !!. Seharusnya yang rumit itu bagi wanita yang kurang beruntung punya wajah cantik.

Sama halnya dengan orang kaya. Sebenarnya kekayaan untuk membuat hidupnya lebih praktis. Iya, orang kaya seharusnya hidupnya praktis. Mau jalan-jalan tinggal pesan tiket saja langsung berangkat. Keluar rumah tidak khawatir kepanasan dan kehujanan karena ada mobil. Jika ingin makan enak juga tinggal pesan bisa langsung diantar. Mau shoping tinggal tunjuk saja sesuai selera. Dan seabrek kepraktisan lainnya.

Malah yang kasihan itu jika ada orang kaya tapi hidupnya tidak praktis!! Mau makan enak saja harus rumit karena terlalu banyak hitung-hitungan. Punya mobil mewah tapi merasa sayang dipakai kuatir kotor. Tidur harus nahan-nahan kepanasan karena kalau pakai AC takut rekening listrik membengkak. Wah…mendingan gak usah kaya kalau hidupnya harus rumit. Hidup praktis bukan berarti harus boros, tapi justru memudahkan dari kelebihan yang kita miliki.

Begitu juga jika kita diberi kelebihan kepandaian atau ilmu pengetahuan. Juga seharusnya membuat praktis dalam menjalani kehidupan. Sangat kasihan jika orang pandai justru membuat hidupnya rumit. Semoga kita mampu menikmati kehidupan dengan segala kelebihannya secara praktis. Kalau bisa dibuat praktis kenapa harus menjadi rumit.





Selanjutnya......