"Perempuanku"
Tulisan ini sama sekali tidak mengisahkan perjalanan hati atau jiwa dengan seorang perempuan yang penuh dengan dinamika dan romantisme. Bukan kisah cinta laksana Romeo dan Yuliet atau kisah tragedi Sam Pek Ing Tai.
Tulisan ringkas ini merupakan perjalanan roh mencari singgah sana. Untuk berteduh dari segala kepenatan pikiran, seluk beluk kisah nasib selama menjadi orang Batam.
Batam tidak hanya gersang akibat gundulnya hutan. Karena banyak masuk ke dalam perut para pebisnis dan orang-orang ambisius dalam mengejar target hidup saja.
Batam dengan keberhasilan sebagai kota metropolis, betul-betul menyulap menjadi kota laksana tempat tinggal Ali Baba di negei seribu satu malam.
Hanya sayang, bangunan megah dan gemerlap justru menjadikan pembangunan rohani Batam semakin tertinggal jauh dibanding dengan pembangunan fisik.
Batam sudah menjelma menjadi kota yang "tidak memiliki jiwa". Bahkan mencuci barang najis dengan najis lainnya sudah jalan lumrah, alias "mensucikan uang dengan jalan apapun" termasuk harus menanggalkan harga diri.
Pegangan roh suci sebagai sandaran sisi kodrati sudah berubah menjadi "hamba perut". Yang penting urusan perut selesai habis perkara! Terkadang harga diri harus terkisis habis tidak menjadi persoalan, yang penting kepentingan perut teratasi.
Pemberi dengan penerima sama saja. Sudah tidak ada perbedaan karena batas konsekwensi logika dengan budi hampir tidak ada batas walau seutas laksana titian rambut dibelah tujuh.
Hati sudah begitu menjadi gersang, jiwa sudah begitu tidak ada peggangan, sementara seonggok badan hanya berkutat pada putaran hidup formalitas saja.
Ratusan jiwa seperti melayang mencari jati diri dan eksistensinya. Mereka butuhkan penyejuk dari sentuhan hati dan nurani dari intuitif "Perempuan".
Tapi lagi-lagi sungguh malang nasib jiwa karena harus tetap melayang karena "Perempuanku" juga teramat sibuk dengan arus permainan zaman.
"Perempuanku" sudah semakin asyik mengejar dan menuntut persamaan gender yang tidak pernah berujung. "Perempuanku" sudah semakin asyik terlena dengan permainan ambisi.
Karena tidak mau kalah dengan rivalnya kaum adam yang sudah lama menekuni permainan logika di batas ambang akal yang salah kaprah.
Ratusan nurani semakin merasakan gersang dan teramat rapuh dihembus angin berbagai kepentingan permaianan hidup. Tetapi lagi-lagi jiwa harus sabar karena "Perempuanku" juga terlalu sibuk ikut bermain sehinngga jiwanya juga ikut sibuk mencari eksistensi.
"Perempuanku" adalah nurani yang seharusnya mampu membawa keteduhan hati serta mampu membawa pulang roh Batam untuk mendekap jiwa orang Batam yang semakin merindukan dekapan. ___________________________________________________________________________
Akhir Sebuah Pesta Demokrasi
Permasalahan bukan kesulitan hidup, melainkan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Karena dalam kehidupan pasti ada persoalan, dan tugas kita adalah menghadapi persoalan tersebut dengan jiwa besar. S
ama halnya dengan perhelatan akbar, demokrasi tingkat daerah atau yang lebih kita kenal dengan pilkada juga baru saja usai.
Perolehan masing-masing kandidat juga sudah ditentukan. Pasangan Drs. Ismeth Abdullah dan H. Muhammad Sani meraih kemenangan mutlak diantara dua pasangan lainnya.
Dari awal perjalanan pilkada sangat banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui. Bahkan terkadang masyarakat menjadi was-was menjelang pelaksanaan pencoblosan.
Karena berkaca dari beberapa daerah lain di Indonesia pilkada sering diwarnai dengan berbagai karawanan konflik.
Tatapi, masyarakat Kepri sudah menunjukkan kecerdasan serta kedewasaan dalam berdemokrasi.
Hari pencoblosan berlangsung lancar, sukses, dan betul-betul aman. Namun, masyarakat belum bisa bernafas legah, hasil penghitungan suara tidak berjalan mulus.
Ada beberapa kelompok massa yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Akhirnya, berbagai demo tidak bisa dihindari lagi.
Mereka bersikukuh kalau harus dilaksanakan pilkada susulan. Pasalnya, menurut mereka sangat banyak masyarakat yang tidak memiliki kartu pemilih, sehingga mereka tidak bisa menyalurkan hak politknya.
Selama tiga hari demo tersebut berjalan, namun, muaranya berakhir dengan tenang. Persoalan yang saat itu muncul dalam wacana politik pilkada adalah kekhawatiran atas gagalnya penyelenggaraan pilkada langsung untuk bulan Juni 2005.
Mengikuti Ray Rangkuti dalam tulisannya di Koran Tempo, 6 April 2005, setidaknya ada dua kendala besar yang siap mengganjal pelaksanaan pilkada Juni 2005, yaitu kendala subtantif dan kendala teknis.
Pertama, kendala subtantif. Kendala subtantif utama adalah perangkat peraturan pelaksanaan pemilihan yang belum sepenuhnya tersedia. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal dalam UU No32/2004 mengubah subtansi pilkada.
Perubahan itu berupa hilangnya wewenang DPRD dalam pilkada dan diperkenankannya partai politik tanpa kursi di DPRD mencalonkan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Perubahan ini membawa dampak bagi PP No.6/2005 dan SK KPUD yang berkenaan dengan tata pendaftaran pasangan calon. Jika tidak segera direvisi, maka PP N06/2005 ini tidak dapat diberlakukan karena legitimasinya lemah.
Kedua, kendala teknis. Ada banyak kendala teknis pilkada Juni nanti. Yang utama adalah masalah dana. UU No. 32/2004 mengatakan bahwa pendanaan pilkada yang dilaksanakan tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD.
Estimasi kebutuhan dana Pilkada 2005 mencapai Rp 1,255 triliun. Itu belum termasuk dana khusus untuk daerah pemekaran yang mencapai Rp 116,428 miliar.
Selain itu, pemerintah pusat sendiri juga masih menyerap dana sebesar Rp 185,269 miliar untuk kegiatan dukungan fasilitasi pilkada. Dari semua kebutuhan itu, dana pilkada yang harus ditanggungkan pada APBN diperkirakan mencapai Rp 929,568 miliar.
Namun, menjelang Juni 2005, mayoritas daerah belum mengantungi dana. Janji pemerintah mengucurkan Rp 400 juta pun tak kunjung tersalurkan ke rekening KPUD-KPUD di daerah.
Juga di sebagian daerah, dana APBD belum sampai ke KPUD. Padahal KPUD adalah penyelenggara sah pilkada menurut undang-undang.
Dengan mepetnya waktu persiapan pilkada, belum tersedianya dana akan mengakibatkan pembelanjaan logistik tidak berjalan. Padahal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mencetak kartu pemilih, formulir, surat suara, dan pembentukan KPPS, PPS, dan PPK.
Sebagai pengandaian saja, untuk mencetak dan mendistribusikan surat suara, normalnya dibutuhkan waktu 30 hari. Waktu 30 hari itu sudah dihitung di luar waktu pelaksanaan tender.
Maka, jika dana tidak segera cair, pelaksanaan pilkada akan sangat terganggu, bahkan terancam batal. Kondisi ini terutama membayangi daerah-daerah miskin yang APBD-nya rendah.
Tapi, lagi-lagi kita harus bersyukur karena pilkada Provinsi Kepri berjalan dengan aman dan damai tanpa diwarnai tindakan anarkis. Semoga Gubernur terpilih mampu bekerja dengan maksimal sesuai dengan harapan rakyat. ___________________________________________________________________________
Hemat Energi Proses Pembelajaran Mental
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang dikeluarkan pada hari Minggu (10/7) lalu sangat menarik dikaji.
Menariknya, karena sudah seharusnya bangsa Indonesia ini melakukan pengehematan energi. Pemerintah harus mengajarkan rakyat untuk merasa prihatin dengan kondisi bangsa ini.
Terutama harus dimulai dari kalangan atas atau kantor instansi pemerintah. Terkadang, banyak ditemukan penggunaan energi di beberaia instansi pemerintah yang terlalu berlebihan. Listrik hidup siang malam, Air Conditioner (AC) juga digunakan secara berlebihan.
Begitu juga dengan penggunaan lampu jalan yang menonjolkan sisi kemegahaan namun kurang memiliki makna efektif.
Dengan adanya inpres tersebut tentu mempunyai konsekuensi positif dan negatifnya. Namun, bagaimana lebih lanjut dari inpres tersebut, akan dirinci masing-masing instansi yang diinstruksikan Presiden.
Makna urgensinya adalah bagaimana menanamkan mental kepada jajaran pemerintahan, pengusaha, serta masyarakat Indonesia secara luas.
Pembentukan mental memang harus tertanam sedari dini. Bahkan dalam telaah psikologis, sebaiknya mental dan krpibadian harus dibentuk di saat usia Balita. Untuk soal yang satu ini bangsa Indonesia memang harus mundur laksana anak Balita.
Janganlah mencoba tuk berlari, merangkak saja masih tertaih-tatih. Rasa keprihatinan yang terbina saat ini akan mampu membentuk mental prihatin terhadap generasi berikutnya.
Tetapi yang perlu diperhatikan rasa keprihatinan secara berlebihan juga bisa mempengaruhi sisi mental ke arah perkembangan kurang baik.
Dikuatirkan, apabila gerakan hemat energi tidak diimbangi dengan sistem pengawasan serta tolak ukur. Dampak bagi perkembangan mental justru dikuatirkan mengarah kepada dimensi pembatasan dan bahkan pengekangan.
Karena dengan adanya tolak ukur, maka masyarakat bisa merasakan kompensasi langsung yang dirasakan dari adanya penghematan ini.
Inti dari inpres adalah mengambil langkah penghematan energi di lingkungan instansi masing-masing atau di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Hal itu khususnya berkaitan dengan penggunaan penerangan, alat pendingin ruangan, peralatan dan perlengkapan gedung dan kantor, termasuk penggunaan kendaraan dinas.
Gubernur, bupati, dan wali kota diinstruksikan pula untuk menyosialisasikan inpres tersebut kepada masyarakat. Dalam beberapa hari ini, inspres tersebut memang berjalan efektif. Karena salah satu tujuannya adalah agar para pejabat tak gerah.
Karena itu alat pengatur suhu udara (AC) tak dimanfaatkan secara full. Selain itu, iring-iringan mobil presiden juga dikurangi agar dapat menghemat BBM. Begitu juga siaran televisi dihentikan sampai pukul 01.00 WIB serta mall-mall harus ditutup sejam dari biasanya.
Sungguh merupakan langkah bijak dari pemerintah, karena selama ini para elit banyak memberikan pelajaran mental tidak terpuji kepada rakyat. Misalnya saja, bagaimana pejabat dengan mudahnya mencuri uang rakyat, lamahnya supremasi hukum, kesewenang-wenangan, dan sebagainya.
Hemat eneri merupakan sikap pemerintah dalam memberi teladan kepada masyarakat. Tetapi, langkah tersebut bisa menjadi bomerang apabila ternyata sikap pemerintah masih egois menuntut kesejahteraan lebih di saat masyarakat tolelir bersikap prihatin.
Makna dari pehematan bukan merupakan bentuk pengekangan. Kunci utama adalah bagaimana agar pemerintah mampu membangun fondasi mental dengan melihat realitas kondisi bangsa saat ini. Apabila masyarakat masih disilaukan oleh berbagai tontonan kesemuan.
Maka sangat mustahil kesadaran masyarakat mampu terbuka. Kalau sudah demikian, inpres hemat energi hanya menjadi justifikasi dan gerakan serimonial saja. Kiranya saat ini merupkan waktu tepat untuk mengasah para elit dan seluruh anak bangsa agar menata mental dengan merasa prihatin. ________________________________________________________________________
Ijazah Palsu Sang Pejabat
Maraknya para pejabat menggunakan ijazah palsu untuk kepentingan suatu jabatan tertentu menarik untuk dikaji secara prikologis. Kita terkadang merasa terheran-heran.
Ketika seseorang yang kebetulan kita kenal dan sebelumnya tidak memiliki gelar apa-apa tiba-tiba sudah menyandang gelar setingkat Magister atau Doktor bahkan profesor.
Lebih heran lagi jika hal itu terjadi pada individu yang tinggal di kota dimana tidak ada Universitas resmi yang menyelenggarakan program setingkat S2 (magister) atau S3 (doktor).
Komentar yang keluar dari sebagian orang adalah: kapan kuliahnya? Kok gampang amat dapat gelar doktor? Tesisnya tentang apa ya? Kok bisa dia dapat gelar itu padahal dia kan cuma tamatan SMU?
arus diakui kalau di sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung masih memiliki pola pikir feodalistik, gelar (degree) merupakan suatu kebanggaan luarbiasa dan sekaligus lambang status sosial pemiliknya di dalam masyarakat.
Apalagi hal itu dilakukan untuk kepentingan meraih jabatan tertentu. Secara psikologis ada gangguan keperibadian tertentu shingga orang bersangkutan sehingga tidak merasakan ada kesalahan melakukan prilaku tersebut.
Salah satu bentuk gangguan kepribadian adalah Gangguan Kepribadian Narsisistik atau Narcissistic Personality Disorder.
Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain (DSM-IV).
Perasaan-perasaan tersebut mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun juga.
Ciri-ciri orang tersebut merasa dirinya paling hebat, padahal sebenarnya tidak sebanding dengan potensinya. Bahkan tipe pribadi sperti ini dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati (is preoccupied with fantasies of unlimited success, power, briliance, beauty, or ideal love).
Kemudian adanya juga kpribadiannya masih didominasi rasa fantasi. Sehingga menagnggap kalau kepandaiannya atau meraiah jabatan tidak lengkap kalau tidak diimbangi dengan memiliki gelar. Masak pejabat tidak memiliki gelar sarjana?
Mungkin mereka menganggap bahwa kesuksesan yang telah mereka capai (cth: punya jabatan) belum cukup jika tidak diikuti dengan gelar akademik yang seringkali dianggap sebagai simbol "kepintaran" seseorang.
Sayangnya untuk mencapai hal ini mereka seringkali tidak memiliki modal dasar yang cukup karena adanya berbagai keterbatasan seperti tidak punya latarbelakang pendidikan yang sesuai, tidak memiliki kemampuan intelektual yang bagus atau tidak memiliki waktu untuk sekolah lagi.
Hal ini membuat mereka memilih jalan pintas dengan cara membeli gelar sehingga terlihat bahwa dirinya telah memiliki kesuksesan dan kepintaran (kenyataannya hal tersebut hanyalah fantasi karena gelar seharusnya diimbangi dengan ilmu yang dimiliki).
sangat bisa dibayangkan kalau beberapa pejabat kita memiliki ijazah palsu. Betapa mirisnya kita kalau ternyata pejabat yang kita hormtai dan diharapkan membangun daerah ini justru orang-orang yang memiliki mental rusak. __________________________________________________________________________
Belajar dari Mitos Sisipus
Sejenak kalau kita renungkan, rasanya tidak henti-hentinya berbagai cobaan, ujian, atau mungkin juga peringatan menerpa negeri kita ini. Belum lagi usai tragedi Aceh dari ganasnya tsunami, bueung lapar dan gizi buruk, kini kelangkaan BBM dan melemahnya nilai rupiah terjadi lagi.
Tak bisa dipungkiri, kini sebagian masyarakat kita merasa was-was kalau-kalau berbagai barang kebutuhan pokok akan melonjak naik.
Berbagai elemen masyarakat sudah melakukan aksi demo menentang rencana pemerintah menaikkan BBM.
Tapi biasanya demo hanya tingga demo, pemerintah tak akan bergeming untuk terus menikkan harga BBM dengan alasan meyelamatkan kondisi ekonomi bangsa.
Sebab, nilai subsidi untuk BBM dirasakan dangat besar, sehingga salah satu solusi harga BBM harus dinaikkan. "Rakyat sudah susah, malah dibebani lagi" kalimat itu seolah sudah menjadi klise di pendengaran kita.
Tetapi, suara hati rakyat tidak bisa dipandang klise begitu saja. Kondisi bangsa yang bertubi-tubi dirundung duka tetap menjadi teka-teki, sebagai ujian, cobaan, atau peringatan? Haruskah kita bertanya kepada "rumput yang bergoyang" seperti syair lagu Ebiet G Ade?
Albert Camus juga pernah menulis suatu esai besar berjudul Mitos Sisipus, yang mengatakan bahwa manusia itu seperti sisipus. Sisipus itu dikutuk dewa-dewa untuk mengangkat batu dari bawah ke puncak gunung.
Sampai di atas, dia jatuh lagi. Dia turun untuk mengangkut lagi, dan begitu seumur hidupnya.
Tapi dalam esai itu disebut juga bahwa lama-kelamaan ada pertautan antara sisipus dan batu. Lama-kelamaan, dia merasakan bahwa dia harus menguasai hukuman ini dan menjadi di atas hukuman ini.
Dia mempertahankan penderitaan itu dengan gagah berani sampai melakukan protes pada dewa-dewa. Jadi di situ ada dua sikap yang diambil, yang satu negatif dengan cara bunuh diri, yang lainnya adalah afirmatif, yaitu hidup berharga meskipun kita di dalam hukuman.
Tidak harus menyempitkan pola pemikiran ke arah sana, karena hati nurani dan logika kita masih sanggup menganalisa dengan bijak.
Terutama terkait dalam menentukan sikap, minimal melakukan instrospkesi. Di samping itu harus terus mengembangkan pola pemikiran positif dan mengesampingkan berbagai sikap apriori.
Saat ini percayakan saja kepada langkah pemerintah, karena tidak mungkin pemimpin kita akan membuat rakyat Indonesia menderita. Hanya yang pasti, sangat besar harapan kita agar pemerintah juga memberikan harapan guna memberi pencerahaan terhadap kondisi hati yang gundah.
Kalau dalam filsafat Eropa, sikap afirmatif adalah gema dari pandangan Nietzsche mengenai amor fati, atau cintailah nasibmu. Ada kegagahan di situ. Cuma problemnya adalah, memang bukan satu-satunya alternatif ketika orang memerlukan harapan.
Alternatif lain adalah menjadi budak, melihat kesengsaraan orang mati, orang sakit, orang yang sudah tua, dan akhirnya mengatakan bahwa hidup adalah samsara dan dia mencoba membebaskan diri dari keinginan, karena keinginan pada hakikatnya adalah awal dari penderitaan.
Mungkin saat ini kita harus pandai-pandai meredam berbagai keinginan. Sadarlah terhadap kondisi bangsa saat ini dengan sedikit saja mengencangkan ikat pinggang untuk hidup prihatin.
Kita cukup berbicara kebutuhan dan tahan dulu berbicara keinginan.Sebab, terkadang memenuhi keinginan saja begitu susahnya dan harus berjibaku. _________________________________________________________________________
Belajar dari Fenomena
Ketika takdir berbicara, maka tak satupun yang mampu mencegahnya. Kekuatan manusia hanya diujung kuku dan sangat-sangat tak berdaya. Rentetan musibah yang menimpa negeri kita hendaknya dijadikan evaluasi diri agar ada hikmah yang bisa diambil.
Tanpa mampu memberikan evaluasi, maka kita tetap saja akan menjadi negeri yang tidak mau belajar.
Bukankah kita diciptakan untuk mempelajari dari segenap fenomena yang ada di sekitar kita. Apapun bentuknya musibah, itu mendakan dan menuntun agar kita membaca. Baik dari hal-hal yang terkecil maupun sebesar apapun bentuknya.
Walaupun kita patut turut berduka cita atas musibah yang telah menimpa saudara-saudara kita. Namun demikian, kita juga harus sadar bahwa mereka merupakan penuntun mata hati kita agar belajar terhadap fenomena.
Para korban merupakan orang-orang yang diangkat derajat dan kemuliaannya agar kita mampu membersihkan segala kekotoran yang masih melekat.
Musibah hanya merupakan istilah dari kacamat logika kita karena tidak mampu membaca rencana Tuhan. Kita adalah orang-orang yang masih diberi kesempatan memebersihkan segala kotoran. Apabila tidak segera berupaya membersihkan, sungguh kita termasuk golongan yang merugi.
Sejenak kalau kita introspeksi terhadap berbagai kepongahan bangsa ini, di mana segala bentuk maksiat terus saja mewarnai fenomena bangsa ini. Kebenaran sudah tidak dihiraukan lagi, karena banyak di antara kita yang mengaku dan merasa benar.
Segala bentuk tuntunan sudah dijadikan tontonan. Egoisme dengan mengatasnamakan kebenaran terus berpacu, sehingga kehinaan sudah terbungkus oleh kemuliaan yang lahir dari persepsinya sendiri.
Zaman sudah begitu terbalik, mereka berbicara mengatasnamakan perdamaian, tetapi justru terus berupaya menciptakan perang. Persoalan besar telah dikecilkan, bahkan berupaya untuk ditenggelamkan agar tidak ada jejak.
Namun sebaliknya, beberapa persoalan kecil yang seharusnya berdiri dalam eksistensinya malah dibesar-besarkan. Tak jarang, sesuatu yang kecil dihembuskan menjadi besar, menggelembung dan diledakkan sebagai rangakain dari rekayasa kepentingannya.
Bacalah! Bacalah segala fenomena, agar bangsa ini mampu meletakkan kemuliaan di balik rentetan musibah. Silahkan kemukakan segala bentuk analisa terhadap munculnya musibah yang menimpa negeri ini.
Namun tanpa mau belajar dengan terus membaca fenomena, tetap saja musibah akan berlalu tanpa bisa mencerdaskan nurani kita. ____________________________________________________________________________
Budaya Latah
Latah, biasanya identik dengan dengan respon sepontan ketika mendapatkan stimulus mengejutkan. Perilaku latah ini beberapa tahun belakangan ini memang sangat populer.
Bahkan kerap dijadikan lelocon karena orang yang latah kepar menunjukkan respon prilaku sangat lucu dan konyol. Kita tentu menenal nama mpok Ati karena prilaku latahnya memang membuat orang yang melihatnya harus tertawa terpingkal-pingkal.
Bahkan dengan kelatahan ini, Mpok Atik mampu menjadikan lahan komersial yang menghasilkan dan mengalirkan job manggungnya. Baik di pentas terbuka maupun di beberapa stasiun televisi.
Tidak hanya mpok Ati, beberap selebriti lainnya juga harus ikut-ikutan latah karena dipandang mampu mendatangkan "rezeki" sebagai daya tariknya.
Kelatahan ini tidak saja dimiliki oleh orang atau kalangan selebriti saja. Bangsa kita sudah lama disebut-sebut sebagai bangsa yang cendrung latah. Ketika ada peristiwa kecelakaan kapal, maka pemerintah ramai-ramai meningkatkan pelayanan dan tindakan penertiban serta pengecekan dengan ketat.
Begitu juga saat terjadi kelecelakaan kereta api, pemerintah juga terkesan terburu-buru melakukan tindakan secara tegas. Sama halnya ketika beberapa daerah di Indonesi terjadi polio, lagi-lagi pemerintah juga melakukan sikap latahnya.
Kelatahan pemerintah dan tentunya para orang-orang kita terakhir ditunjukkan saat terjadi kecelakaan Mandala Airline di Medan.
Sikap latah ini juga harus ditunjukkan. Saat ini beberapa maskapai penerbangan di Indonesia temasuk Garuda Airlines akan menukar beberapa pesawatnya dengan pesawat baru. Begitu juga mengenai keberadaan beberapa bandara di Indoneseia juga dilakukan analisa kelayakan.
Walupun sebenarnya bandara Polonia Medan dinilai layak, tetapi masih berisiko tinggi. Dan pemerintah sudah menyadarinya serta berupaya untuk memindahkan, namun terbentur dengan persoalan dana.
Kelatahan yang satu ini sama sekali tidak membuat masyarakat tertawa karean bersifat menghibur. Latah yang satu ini sangat-sangat tidak patut dicontoh dan dipelihara. Kalau memang sudah ada indikasi akan merugikan dan berdampak negatif, kenapa harus menunggu terjadi musibah? Bukankah melakukan tindak preventif lebih baik daripada harus memperbaiki. ____________________________________________________________________________
Kecil Selalu Jadi Korban
Bangsa ini memang harus terus prihatian melihat gelagat para orang "gedean" atau pejabat yang masih dukuk di tahta tertinggi kekuasaannya. Kaum kecil masih harus tertindas manakala si boss harus terjebak dan tersudut. Pelarian tanggungjawab sering ditampakkan oleh para pejabat yang mencoba lari dari masalah. Lihat saja contoh nyata yang terjadi akhir-akhir ini.
Manaka pemerintah menemukan modus penyelundupan BBM lepas pantai melalui pipa. Sungguh menjadi pemandangan ironis, sebab yang digelandang ke pengadilan dan harus menerima sangsi pemecatan justru para bahahan. Sementara itu, para pimpinannya hanya berkoar-koar dan sibuk membela diri.
Dalam logika sederhana saja, mana mungkin karyawan bahahan memiliki keberanian melakukan penyelundupan dengan modus oprandi yang begitu "canggih dan kotor". Sampai-sampai Presiden SBY harus bergeleng-geleng kepala karena merasa heran melihat ulah "pencuri" kelas kakap tersebut.
Begitu buruk mental para pejabat yang sengaja menjerumuskan bangsa ini dengan mengambil keuntungan pribadinya saja. Sedangkan nilai pertanggungjawaban harus terpental hanya dengan sebait kalimat nyentrik saja.
Kalimat bernada pembelaan diri dengan tidak saja menjerumuskan para karyawan bahahan, melainkan juga menimbun rakyat dengan berlapis penderitaan.
Kalimat-kalimat bernada akan mengundurkan diri dan sejensinya tak ubahnya hanyalah berupa kepicikan yang tetap tidak bernilai tanggungjawab sejati.
Sebagai seorang pemimpin, siapaun yang telah menyuburkan jalan penyelundup harus duhukum setimpal. Tanpa mendapat "restu" dari pemimpin, mana mungkin penyelundupan mampu berjalan mulus.
Sungguh teramat licin argumentasi dan berbagai taknik kejahatan yang dilakukan, selicin minyak yang menempel di kelopak matanya. Tetapi sayang sekali, mata hati terus ditutup karena merasa nikmat mandi kecing minyak.
Tidak rumit dalam mendongkel rapuhnya eksistensi mental bangsa ini, apabila para penegak hukum berani bersikap tegas menghukum para atasan yang telah bermain.
Bawahan memang kerap dijadikan tumbal mengingat posisinya sangat lemah manakala berhadapan dengan penegakan hukum.
Mental para pemimpin kita memang sulit menghadapi transformasi mental sebagai wujud dari tanggungjawabnya. Atau jangan-jangan pertanggungjawaban sudah dinilai tidak memiliki harga lagi.
Manakala nurani sudah terbendung oleh nilai-nilai ingin dihormati, maka untuk mempertahankan kehormatan terkadang memang harus ada tumbal. Biasanya, yang kecil merupakan sasaran empuk untuk dijadikan tumbal dalam mempertahankan keserakahan. ___________________________________________________________________________
Budaya Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah begitu menggorogoti di setiap lini, rasanya di setiap jengkal kesempatan selalu tidak disia-siakan. Sampai-sampai banyak yang tidak mampu membedakan antara kurupsi dengan tidak.
Walaupun juga sengaja memblurkan dengan berbagai kalimat pembelaan, misalnya mengatakan, ini hanya uang administrasi dan sebagainya. Ada saja sejuta alasan untuk melegalkan korupsi. Segalan bentuk yang berbau duit juga menjadi incaran dan sasaran empuk untuk melahirkan kurupsi baru.
Sekalipun tidak bisa dibenarkan, banyak yang menilai kalau korupsi di Indonesia sudah merupakan budaya. Kita mungkin bisa membenarkan Bung Hatta, katanya korupsi telah menjadi budaya bangsa ini.
Karena itu, wajar jika kian hari kian banyak pelakunya. Namanya saja sebuah kultur, masuk akal jika betapa sulitnya memberantas penyakit yang amat menyengsarakan ini.
Coba saja bayangkan, departemen yang seharusnya bersih dari berbagai tindak korupsi malah ikut-ikutan menggerogoti uang negara.
Sebut saja kasus dugaan korupsi dana abadi umat yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar. Kita tidak pernah bisa memahami seorang menteri agama bisa amat melantur dan memalukan memakai uang yang bukan miliknya.
Lho, bukankah depertemen agama seharusnya memberi contoh yang baik sebagai benteng moralitas bangsa? Korupsi memang bisa dilakoni oleh siapa saja dan tidak memandang dari agama manapun. Benteng agama, tingkat pendidikan dan intelektual yang tinggi, bisa tidak berarti apa-apa.
Seolah semuanya sudah mabuk duit, dan silai oleh kemilau hedonisme. Orang-orang yang dipandang sucipun juga sangat rawan melakukan tindak kriminal ini. Siapa yang tidak tergoda dengan uang milyaran rupiah dengan hanya "bim salabim".
Contoh lainnya, dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum yang menyeret sang ketuanya, Nazaruddin Sjamsuddin.
Dugaan yang sama dan sangat memalukan, kini tengah dibidikkan ke Mahkamah Agung (MA). Pengacara pengusaha Probosutedjo menyebut Ketua MA Bagir Manan diplot menerima suap Rp5 miliar.
Kita psti tahu dan sangat mengenal nama Said Agil, Nazaruddin, Bagir Manan adalah orang-orang intelektual, yakni para guru besar. Namun sayang, prilaku mereka tidak jauh beda dengan maling ayam, bahkan lebih hina lagi karena mereka sudah mencuri uang rakyat milyaran rupiah.
Pada awal pemerintahannya, SBY-JK menabuh genderang perang terhadap para korupstor. Satu persatu mereka sudah diproses dan diseret ke pengadilan.
Walau belum memperoleh hasil yang memuaskan, namun kita harus tetap optimis dan mendukung sepenuhnya terhadap langkah pemerintah.
Semoga korupsi bukan bagian lagi dari hudaya kita, sangat malu rasanya kita hidup di dalam negara besar yang memiliki nilai-nilai budaya luhur, kini harus luntur dengan gelar budaya korupsi. ____________________________________________________________________________
Hedonis, Mistik dan Pornografi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan mistik segera dihentikan karena tidak mendidik dan merusak akhlak bangsa, apalagi saat ini adalah bulan suci Ramadhan. Apabila diamati, paling tidak ada tiga hal yang sedang menghinggapi kognisi masyarakat Indonesia.
Pertama, gaya hidup hedonisme yang banyak mengantarkan pemikiran, sikap, dan prilaku masyarakat kepada kenikmatan duniawi. Celakanya, demi untuk memperoleh semuanya harus rela menempuh jalan singkat dan singkat. Kedua, Mistik yang akhir-akhir ini bentul-betul menggerogoti masyarakat kita.
Apalagi setiap hari hampir seluruh menayangkan film atau sinetron yang berbau mistik. Sedangkan yang ketiga adalah pornografi, setipa hari banyak sudah berbagai kasus kriminal yang disebabkan oleh pengaruh pornografi. Bahkan, banyak orang yang ingin mendapatkan kepopuleran harus rela melakukan aksi porno atau erotis.
Ketiganya sebenarnya sangat terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sikap hidup hedonisme membuat sesorang harus rela melakukan berbagai ritual mistik.
Berbagai jalan untuk mendapatkan harta melimpah membuat dirinya harus mengikuti berbagai permainan mistik.
Berbagai kasus saat ini bermunculan, bagaimana sesorang yang ingin mendapatkan pesugihan harus rela melakukan perintah sang dukun. Gaya hidup hedonis juga kerap menyeret seseorang untuk melakukan aksi erotis.
Seolah cara-cara berporno ria merupakan sasaran empuk untuk mendongkrak popularitas dan dengan demikian duit akan mengalir dengan sendirinya. Ketiganya benar-benar sudah bersenyawa dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Rupanya industri media dan hiburan terutama stasiun TV dan rumah produksi tidak mau sisa-sia memanfaatkan kecendurngan dan polah hidup masyarakat saat ini. Kini, tayangan-tayangan televisi sudah didominasi oleh hal-hal yang berbau ketiganya.
Asalasannya karena masyarakat menyukai, tentu sangat beralasan, tetapi kita juga harus menganalisa sumber dari kecendrungan tersebut. Jangan-jangan media yang sudah membentuk mesyarakat ke arah sana. Sehingga kognisi masyarakat Indonesi benar-benar telah dijubeli oleh pola hidup ketiganya.
Ketua MUI Amidhan kepada pers dalam Tausiyah Ramadhan di Jakarta, Jumat. Amidhan mengatakan TV memiliki peran yang luar biasa yang menggantikan peran ulama, guru dan orang tua karena itu pengelola stasiun TV seharusnya bijak, jangan sampai tayangannya berpengaruh buruk pada mentalitas dan moral anak-anak dan remaja.
Kebebasan berekspresi dalam bidang seni memang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat dan ajaran agama.
Pemerintah dan parlemen, bertanggung jawab agar RUU Pornografi dan Pornoaksi segera disahkan menjadi UU sehingga masalah tersebut dapat ditangani dengan hukum yang jelas dan tegas. ____________________________________________________________________________
Untung Masih Punya Peringkat
Perang terhadap korupsi dikumandangkan secara besar-besaran oleh setiap presiden. Bahkan, pemberantasan korupsi sudah menjadi janji rutin bagi calon presiden dalam setiap kampanyenya. Apalagi sang peresiden yang naik tahta tersebut di era reformasi, seolah korupsi menjadi musuh utama yang akan dihunusnya.
Tetapi kenyataannya, seolah pedang yang akan menghunus korupsi sangat-sangat teramat tumpul. Korupsi di Indonsesia tidak banyak mengalami perbaikan, jalan di tempat, bahkan kondisinya malah makin parah.
Sangat mengejutkan, Transparency International, lembaga dunia yang menaruh perhatian serius terhadap korupsi, mengeluarkan indeks persepsi korupsi untuk 2005. Dalam IPK terbaru yang diumumkan di Jakarta, Selasa (18/10), peringkat Indonesia mandek.
Indonesia berada pada peringkat keenam negara terkorup di dunia bersama Ethiopia, Kamerun, dan Azerbaijan dengan IPK 2,2. Di ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Myanmar dan kalah bila dibanding dengan Kamboja, Laos, dan Vietnam, tiga negara yang selama ini dianggap amburadul.
IPK Indonesia bukannya tidak membaik. Dari angka 1,9 pada 2003, naik menjadi 2,0 pada 2004, dan tahun ini naik lagi menjadi 2,2. Bagaimanapun juga, perbaikan ini harus diapresiasi. Namun bila dibandingkan dengan China dan Vietnam, misalnya, perubahan di Indonesia kalah cepat.
Pertanyaannya, kenapa negara yang sebelumnya berada lebih buruk dibanding Indoensia malah lebih cepat melakukan perbaikan dalam memberantas korupsi?
Haruskah kita berkata dengan kalimat "untung kita masih punya peringkat" kalau tidak, entah akan menjadi apa korupsi di Indonesia ini. Ada barometernya saja masih saja tetap mandek dan tidak bergerak ke arah perubahan, bagaimana lagi kalau tidak ada barometer. ____________________________________________________________________________
Bacalah!
Al-Qur'an merupakan kitab yang diturunkan dengan segenap kesempurnaan yang terkandung di dalamnya. Kandungan dalam ayat-ayat suci Al-qur'an terbentang makna yang teramat dalam. Bukan sekedar kisah-kisah para nabi, atau seribu kisah relegius yang patut direnungkan. Melainkan, juga terbentang nilai-nilai intelektual dan ilmiah apabila dikaji dengan cermat dan mendalam.
Teramat banyak ayat-ayat yang memiliki esensi pengetahuan ilmiah, tentu saja untuk memperolehnya memerlukan kajian-kajian dari ilmu pengetahuan lain. Seperti harus memadukan dengan ilmu nahwu dan sharaf, serta dengan berbagai dispilin ilmu lainnya.
Berpijak dari seribu makna dalam Al-qur'an tersebut menegaskan bahwa kitab suci umat Islam tersebut tidak sekedar mampu dimaknakan secara kontekstual saja. Melainkan harus dengan mengkaji secara cermat agar mampu menggali makna yang terkandung di dalamnya.
Makna fungsional hendaknya menjadi target utama dari peringatan Nuzulul Qur'an. Intinya, ada pembelajaran jangka panjang yang harus dicermati. Karena aplikasi dari kajian-kajian al-qur'an akan mampu memberikan perubahan pada tatanan iman, mental serta prilaku kita menuju ketaqwaan kepada Allah sang pencipta.
Batam sebagai kawasan yang semakin menapak kepada moderenisasi yang cendrung menganut kepada loberalisasi. Harus dibendung dengan kekuatan nilai-nilai religius agar rasa keimanan serta mental masyarakat tidak terjebak kepada dekadensi moral.
Peringatan Nuzulul Qur'an bukan sekadar kegiatan religius yang bersifat formalitas tahunan, melainkan mengingatkan kita agar mampu membaca sebagaimana yang diturunkan dalam ayat pertama.
Iqra' artinya bacalah! kita memang harus tetap dan selalu membaca berbagai fenomena. Baik fenomena yang terjadi pada diri kita, terjadi kepada orang lain, serta terjadi kepada alam. Sudah begitu banyak contoh-contoh kongkrit yang Allah turunkan, baik itu namanya musibah, cobaan, bahkan peringatan. Disinilah dibutuhkan kepekaan kita dalam membaca fenomena terhadap apa yang Allah berikan.
Kita sebagai manusia harus mampu membaca ayat-ayat Allah atas segala kebesarannya agar menjadi petunjuk kepada kita. Terkadang hati kita teramat buta, tuli dengan segala atribut kesombongan kita.
Dengan memperingati Nuzulul Qur'an maka hati kita diharapkan terbuka membaca segala fenomena yang telah diturunkan kepada kita. Kita teramata kecil di hadapan Allah, dan Al-qur'an sebagai wahyu Allah memiliki kekuatan besar untuk membentuk pribadi islami.
Dengan kekuatan membaca maka niscaya Allah membuka hati kita dari segala kebutaan, ketulian akibat tertutupnya mata hati kita. ___________________________________________________________________________
* Isi Seluruh Tulisan Murni Hasil Analisa Mahmud Syaltut Usfa Terhadap Fenomena Bangsa, Dan Sudah Dipublikasikan di Harian Media Kepri
Tulisan ini sama sekali tidak mengisahkan perjalanan hati atau jiwa dengan seorang perempuan yang penuh dengan dinamika dan romantisme. Bukan kisah cinta laksana Romeo dan Yuliet atau kisah tragedi Sam Pek Ing Tai.
Tulisan ringkas ini merupakan perjalanan roh mencari singgah sana. Untuk berteduh dari segala kepenatan pikiran, seluk beluk kisah nasib selama menjadi orang Batam.
Batam tidak hanya gersang akibat gundulnya hutan. Karena banyak masuk ke dalam perut para pebisnis dan orang-orang ambisius dalam mengejar target hidup saja.
Batam dengan keberhasilan sebagai kota metropolis, betul-betul menyulap menjadi kota laksana tempat tinggal Ali Baba di negei seribu satu malam.
Hanya sayang, bangunan megah dan gemerlap justru menjadikan pembangunan rohani Batam semakin tertinggal jauh dibanding dengan pembangunan fisik.
Batam sudah menjelma menjadi kota yang "tidak memiliki jiwa". Bahkan mencuci barang najis dengan najis lainnya sudah jalan lumrah, alias "mensucikan uang dengan jalan apapun" termasuk harus menanggalkan harga diri.
Pegangan roh suci sebagai sandaran sisi kodrati sudah berubah menjadi "hamba perut". Yang penting urusan perut selesai habis perkara! Terkadang harga diri harus terkisis habis tidak menjadi persoalan, yang penting kepentingan perut teratasi.
Pemberi dengan penerima sama saja. Sudah tidak ada perbedaan karena batas konsekwensi logika dengan budi hampir tidak ada batas walau seutas laksana titian rambut dibelah tujuh.
Hati sudah begitu menjadi gersang, jiwa sudah begitu tidak ada peggangan, sementara seonggok badan hanya berkutat pada putaran hidup formalitas saja.
Ratusan jiwa seperti melayang mencari jati diri dan eksistensinya. Mereka butuhkan penyejuk dari sentuhan hati dan nurani dari intuitif "Perempuan".
Tapi lagi-lagi sungguh malang nasib jiwa karena harus tetap melayang karena "Perempuanku" juga teramat sibuk dengan arus permainan zaman.
"Perempuanku" sudah semakin asyik mengejar dan menuntut persamaan gender yang tidak pernah berujung. "Perempuanku" sudah semakin asyik terlena dengan permainan ambisi.
Karena tidak mau kalah dengan rivalnya kaum adam yang sudah lama menekuni permainan logika di batas ambang akal yang salah kaprah.
Ratusan nurani semakin merasakan gersang dan teramat rapuh dihembus angin berbagai kepentingan permaianan hidup. Tetapi lagi-lagi jiwa harus sabar karena "Perempuanku" juga terlalu sibuk ikut bermain sehinngga jiwanya juga ikut sibuk mencari eksistensi.
"Perempuanku" adalah nurani yang seharusnya mampu membawa keteduhan hati serta mampu membawa pulang roh Batam untuk mendekap jiwa orang Batam yang semakin merindukan dekapan. ___________________________________________________________________________
Akhir Sebuah Pesta Demokrasi
Permasalahan bukan kesulitan hidup, melainkan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Karena dalam kehidupan pasti ada persoalan, dan tugas kita adalah menghadapi persoalan tersebut dengan jiwa besar. S
ama halnya dengan perhelatan akbar, demokrasi tingkat daerah atau yang lebih kita kenal dengan pilkada juga baru saja usai.
Perolehan masing-masing kandidat juga sudah ditentukan. Pasangan Drs. Ismeth Abdullah dan H. Muhammad Sani meraih kemenangan mutlak diantara dua pasangan lainnya.
Dari awal perjalanan pilkada sangat banyak tantangan dan rintangan yang harus dilalui. Bahkan terkadang masyarakat menjadi was-was menjelang pelaksanaan pencoblosan.
Karena berkaca dari beberapa daerah lain di Indonesia pilkada sering diwarnai dengan berbagai karawanan konflik.
Tatapi, masyarakat Kepri sudah menunjukkan kecerdasan serta kedewasaan dalam berdemokrasi.
Hari pencoblosan berlangsung lancar, sukses, dan betul-betul aman. Namun, masyarakat belum bisa bernafas legah, hasil penghitungan suara tidak berjalan mulus.
Ada beberapa kelompok massa yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Akhirnya, berbagai demo tidak bisa dihindari lagi.
Mereka bersikukuh kalau harus dilaksanakan pilkada susulan. Pasalnya, menurut mereka sangat banyak masyarakat yang tidak memiliki kartu pemilih, sehingga mereka tidak bisa menyalurkan hak politknya.
Selama tiga hari demo tersebut berjalan, namun, muaranya berakhir dengan tenang. Persoalan yang saat itu muncul dalam wacana politik pilkada adalah kekhawatiran atas gagalnya penyelenggaraan pilkada langsung untuk bulan Juni 2005.
Mengikuti Ray Rangkuti dalam tulisannya di Koran Tempo, 6 April 2005, setidaknya ada dua kendala besar yang siap mengganjal pelaksanaan pilkada Juni 2005, yaitu kendala subtantif dan kendala teknis.
Pertama, kendala subtantif. Kendala subtantif utama adalah perangkat peraturan pelaksanaan pemilihan yang belum sepenuhnya tersedia. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal dalam UU No32/2004 mengubah subtansi pilkada.
Perubahan itu berupa hilangnya wewenang DPRD dalam pilkada dan diperkenankannya partai politik tanpa kursi di DPRD mencalonkan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Perubahan ini membawa dampak bagi PP No.6/2005 dan SK KPUD yang berkenaan dengan tata pendaftaran pasangan calon. Jika tidak segera direvisi, maka PP N06/2005 ini tidak dapat diberlakukan karena legitimasinya lemah.
Kedua, kendala teknis. Ada banyak kendala teknis pilkada Juni nanti. Yang utama adalah masalah dana. UU No. 32/2004 mengatakan bahwa pendanaan pilkada yang dilaksanakan tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD.
Estimasi kebutuhan dana Pilkada 2005 mencapai Rp 1,255 triliun. Itu belum termasuk dana khusus untuk daerah pemekaran yang mencapai Rp 116,428 miliar.
Selain itu, pemerintah pusat sendiri juga masih menyerap dana sebesar Rp 185,269 miliar untuk kegiatan dukungan fasilitasi pilkada. Dari semua kebutuhan itu, dana pilkada yang harus ditanggungkan pada APBN diperkirakan mencapai Rp 929,568 miliar.
Namun, menjelang Juni 2005, mayoritas daerah belum mengantungi dana. Janji pemerintah mengucurkan Rp 400 juta pun tak kunjung tersalurkan ke rekening KPUD-KPUD di daerah.
Juga di sebagian daerah, dana APBD belum sampai ke KPUD. Padahal KPUD adalah penyelenggara sah pilkada menurut undang-undang.
Dengan mepetnya waktu persiapan pilkada, belum tersedianya dana akan mengakibatkan pembelanjaan logistik tidak berjalan. Padahal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mencetak kartu pemilih, formulir, surat suara, dan pembentukan KPPS, PPS, dan PPK.
Sebagai pengandaian saja, untuk mencetak dan mendistribusikan surat suara, normalnya dibutuhkan waktu 30 hari. Waktu 30 hari itu sudah dihitung di luar waktu pelaksanaan tender.
Maka, jika dana tidak segera cair, pelaksanaan pilkada akan sangat terganggu, bahkan terancam batal. Kondisi ini terutama membayangi daerah-daerah miskin yang APBD-nya rendah.
Tapi, lagi-lagi kita harus bersyukur karena pilkada Provinsi Kepri berjalan dengan aman dan damai tanpa diwarnai tindakan anarkis. Semoga Gubernur terpilih mampu bekerja dengan maksimal sesuai dengan harapan rakyat. ___________________________________________________________________________
Hemat Energi Proses Pembelajaran Mental
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang dikeluarkan pada hari Minggu (10/7) lalu sangat menarik dikaji.
Menariknya, karena sudah seharusnya bangsa Indonesia ini melakukan pengehematan energi. Pemerintah harus mengajarkan rakyat untuk merasa prihatin dengan kondisi bangsa ini.
Terutama harus dimulai dari kalangan atas atau kantor instansi pemerintah. Terkadang, banyak ditemukan penggunaan energi di beberaia instansi pemerintah yang terlalu berlebihan. Listrik hidup siang malam, Air Conditioner (AC) juga digunakan secara berlebihan.
Begitu juga dengan penggunaan lampu jalan yang menonjolkan sisi kemegahaan namun kurang memiliki makna efektif.
Dengan adanya inpres tersebut tentu mempunyai konsekuensi positif dan negatifnya. Namun, bagaimana lebih lanjut dari inpres tersebut, akan dirinci masing-masing instansi yang diinstruksikan Presiden.
Makna urgensinya adalah bagaimana menanamkan mental kepada jajaran pemerintahan, pengusaha, serta masyarakat Indonesia secara luas.
Pembentukan mental memang harus tertanam sedari dini. Bahkan dalam telaah psikologis, sebaiknya mental dan krpibadian harus dibentuk di saat usia Balita. Untuk soal yang satu ini bangsa Indonesia memang harus mundur laksana anak Balita.
Janganlah mencoba tuk berlari, merangkak saja masih tertaih-tatih. Rasa keprihatinan yang terbina saat ini akan mampu membentuk mental prihatin terhadap generasi berikutnya.
Tetapi yang perlu diperhatikan rasa keprihatinan secara berlebihan juga bisa mempengaruhi sisi mental ke arah perkembangan kurang baik.
Dikuatirkan, apabila gerakan hemat energi tidak diimbangi dengan sistem pengawasan serta tolak ukur. Dampak bagi perkembangan mental justru dikuatirkan mengarah kepada dimensi pembatasan dan bahkan pengekangan.
Karena dengan adanya tolak ukur, maka masyarakat bisa merasakan kompensasi langsung yang dirasakan dari adanya penghematan ini.
Inti dari inpres adalah mengambil langkah penghematan energi di lingkungan instansi masing-masing atau di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Hal itu khususnya berkaitan dengan penggunaan penerangan, alat pendingin ruangan, peralatan dan perlengkapan gedung dan kantor, termasuk penggunaan kendaraan dinas.
Gubernur, bupati, dan wali kota diinstruksikan pula untuk menyosialisasikan inpres tersebut kepada masyarakat. Dalam beberapa hari ini, inspres tersebut memang berjalan efektif. Karena salah satu tujuannya adalah agar para pejabat tak gerah.
Karena itu alat pengatur suhu udara (AC) tak dimanfaatkan secara full. Selain itu, iring-iringan mobil presiden juga dikurangi agar dapat menghemat BBM. Begitu juga siaran televisi dihentikan sampai pukul 01.00 WIB serta mall-mall harus ditutup sejam dari biasanya.
Sungguh merupakan langkah bijak dari pemerintah, karena selama ini para elit banyak memberikan pelajaran mental tidak terpuji kepada rakyat. Misalnya saja, bagaimana pejabat dengan mudahnya mencuri uang rakyat, lamahnya supremasi hukum, kesewenang-wenangan, dan sebagainya.
Hemat eneri merupakan sikap pemerintah dalam memberi teladan kepada masyarakat. Tetapi, langkah tersebut bisa menjadi bomerang apabila ternyata sikap pemerintah masih egois menuntut kesejahteraan lebih di saat masyarakat tolelir bersikap prihatin.
Makna dari pehematan bukan merupakan bentuk pengekangan. Kunci utama adalah bagaimana agar pemerintah mampu membangun fondasi mental dengan melihat realitas kondisi bangsa saat ini. Apabila masyarakat masih disilaukan oleh berbagai tontonan kesemuan.
Maka sangat mustahil kesadaran masyarakat mampu terbuka. Kalau sudah demikian, inpres hemat energi hanya menjadi justifikasi dan gerakan serimonial saja. Kiranya saat ini merupkan waktu tepat untuk mengasah para elit dan seluruh anak bangsa agar menata mental dengan merasa prihatin. ________________________________________________________________________
Ijazah Palsu Sang Pejabat
Maraknya para pejabat menggunakan ijazah palsu untuk kepentingan suatu jabatan tertentu menarik untuk dikaji secara prikologis. Kita terkadang merasa terheran-heran.
Ketika seseorang yang kebetulan kita kenal dan sebelumnya tidak memiliki gelar apa-apa tiba-tiba sudah menyandang gelar setingkat Magister atau Doktor bahkan profesor.
Lebih heran lagi jika hal itu terjadi pada individu yang tinggal di kota dimana tidak ada Universitas resmi yang menyelenggarakan program setingkat S2 (magister) atau S3 (doktor).
Komentar yang keluar dari sebagian orang adalah: kapan kuliahnya? Kok gampang amat dapat gelar doktor? Tesisnya tentang apa ya? Kok bisa dia dapat gelar itu padahal dia kan cuma tamatan SMU?
arus diakui kalau di sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung masih memiliki pola pikir feodalistik, gelar (degree) merupakan suatu kebanggaan luarbiasa dan sekaligus lambang status sosial pemiliknya di dalam masyarakat.
Apalagi hal itu dilakukan untuk kepentingan meraih jabatan tertentu. Secara psikologis ada gangguan keperibadian tertentu shingga orang bersangkutan sehingga tidak merasakan ada kesalahan melakukan prilaku tersebut.
Salah satu bentuk gangguan kepribadian adalah Gangguan Kepribadian Narsisistik atau Narcissistic Personality Disorder.
Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain (DSM-IV).
Perasaan-perasaan tersebut mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun juga.
Ciri-ciri orang tersebut merasa dirinya paling hebat, padahal sebenarnya tidak sebanding dengan potensinya. Bahkan tipe pribadi sperti ini dipenuhi dengan fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kepintaran, kecantikan atau cinta sejati (is preoccupied with fantasies of unlimited success, power, briliance, beauty, or ideal love).
Kemudian adanya juga kpribadiannya masih didominasi rasa fantasi. Sehingga menagnggap kalau kepandaiannya atau meraiah jabatan tidak lengkap kalau tidak diimbangi dengan memiliki gelar. Masak pejabat tidak memiliki gelar sarjana?
Mungkin mereka menganggap bahwa kesuksesan yang telah mereka capai (cth: punya jabatan) belum cukup jika tidak diikuti dengan gelar akademik yang seringkali dianggap sebagai simbol "kepintaran" seseorang.
Sayangnya untuk mencapai hal ini mereka seringkali tidak memiliki modal dasar yang cukup karena adanya berbagai keterbatasan seperti tidak punya latarbelakang pendidikan yang sesuai, tidak memiliki kemampuan intelektual yang bagus atau tidak memiliki waktu untuk sekolah lagi.
Hal ini membuat mereka memilih jalan pintas dengan cara membeli gelar sehingga terlihat bahwa dirinya telah memiliki kesuksesan dan kepintaran (kenyataannya hal tersebut hanyalah fantasi karena gelar seharusnya diimbangi dengan ilmu yang dimiliki).
sangat bisa dibayangkan kalau beberapa pejabat kita memiliki ijazah palsu. Betapa mirisnya kita kalau ternyata pejabat yang kita hormtai dan diharapkan membangun daerah ini justru orang-orang yang memiliki mental rusak. __________________________________________________________________________
Belajar dari Mitos Sisipus
Sejenak kalau kita renungkan, rasanya tidak henti-hentinya berbagai cobaan, ujian, atau mungkin juga peringatan menerpa negeri kita ini. Belum lagi usai tragedi Aceh dari ganasnya tsunami, bueung lapar dan gizi buruk, kini kelangkaan BBM dan melemahnya nilai rupiah terjadi lagi.
Tak bisa dipungkiri, kini sebagian masyarakat kita merasa was-was kalau-kalau berbagai barang kebutuhan pokok akan melonjak naik.
Berbagai elemen masyarakat sudah melakukan aksi demo menentang rencana pemerintah menaikkan BBM.
Tapi biasanya demo hanya tingga demo, pemerintah tak akan bergeming untuk terus menikkan harga BBM dengan alasan meyelamatkan kondisi ekonomi bangsa.
Sebab, nilai subsidi untuk BBM dirasakan dangat besar, sehingga salah satu solusi harga BBM harus dinaikkan. "Rakyat sudah susah, malah dibebani lagi" kalimat itu seolah sudah menjadi klise di pendengaran kita.
Tetapi, suara hati rakyat tidak bisa dipandang klise begitu saja. Kondisi bangsa yang bertubi-tubi dirundung duka tetap menjadi teka-teki, sebagai ujian, cobaan, atau peringatan? Haruskah kita bertanya kepada "rumput yang bergoyang" seperti syair lagu Ebiet G Ade?
Albert Camus juga pernah menulis suatu esai besar berjudul Mitos Sisipus, yang mengatakan bahwa manusia itu seperti sisipus. Sisipus itu dikutuk dewa-dewa untuk mengangkat batu dari bawah ke puncak gunung.
Sampai di atas, dia jatuh lagi. Dia turun untuk mengangkut lagi, dan begitu seumur hidupnya.
Tapi dalam esai itu disebut juga bahwa lama-kelamaan ada pertautan antara sisipus dan batu. Lama-kelamaan, dia merasakan bahwa dia harus menguasai hukuman ini dan menjadi di atas hukuman ini.
Dia mempertahankan penderitaan itu dengan gagah berani sampai melakukan protes pada dewa-dewa. Jadi di situ ada dua sikap yang diambil, yang satu negatif dengan cara bunuh diri, yang lainnya adalah afirmatif, yaitu hidup berharga meskipun kita di dalam hukuman.
Tidak harus menyempitkan pola pemikiran ke arah sana, karena hati nurani dan logika kita masih sanggup menganalisa dengan bijak.
Terutama terkait dalam menentukan sikap, minimal melakukan instrospkesi. Di samping itu harus terus mengembangkan pola pemikiran positif dan mengesampingkan berbagai sikap apriori.
Saat ini percayakan saja kepada langkah pemerintah, karena tidak mungkin pemimpin kita akan membuat rakyat Indonesia menderita. Hanya yang pasti, sangat besar harapan kita agar pemerintah juga memberikan harapan guna memberi pencerahaan terhadap kondisi hati yang gundah.
Kalau dalam filsafat Eropa, sikap afirmatif adalah gema dari pandangan Nietzsche mengenai amor fati, atau cintailah nasibmu. Ada kegagahan di situ. Cuma problemnya adalah, memang bukan satu-satunya alternatif ketika orang memerlukan harapan.
Alternatif lain adalah menjadi budak, melihat kesengsaraan orang mati, orang sakit, orang yang sudah tua, dan akhirnya mengatakan bahwa hidup adalah samsara dan dia mencoba membebaskan diri dari keinginan, karena keinginan pada hakikatnya adalah awal dari penderitaan.
Mungkin saat ini kita harus pandai-pandai meredam berbagai keinginan. Sadarlah terhadap kondisi bangsa saat ini dengan sedikit saja mengencangkan ikat pinggang untuk hidup prihatin.
Kita cukup berbicara kebutuhan dan tahan dulu berbicara keinginan.Sebab, terkadang memenuhi keinginan saja begitu susahnya dan harus berjibaku. _________________________________________________________________________
Belajar dari Fenomena
Ketika takdir berbicara, maka tak satupun yang mampu mencegahnya. Kekuatan manusia hanya diujung kuku dan sangat-sangat tak berdaya. Rentetan musibah yang menimpa negeri kita hendaknya dijadikan evaluasi diri agar ada hikmah yang bisa diambil.
Tanpa mampu memberikan evaluasi, maka kita tetap saja akan menjadi negeri yang tidak mau belajar.
Bukankah kita diciptakan untuk mempelajari dari segenap fenomena yang ada di sekitar kita. Apapun bentuknya musibah, itu mendakan dan menuntun agar kita membaca. Baik dari hal-hal yang terkecil maupun sebesar apapun bentuknya.
Walaupun kita patut turut berduka cita atas musibah yang telah menimpa saudara-saudara kita. Namun demikian, kita juga harus sadar bahwa mereka merupakan penuntun mata hati kita agar belajar terhadap fenomena.
Para korban merupakan orang-orang yang diangkat derajat dan kemuliaannya agar kita mampu membersihkan segala kekotoran yang masih melekat.
Musibah hanya merupakan istilah dari kacamat logika kita karena tidak mampu membaca rencana Tuhan. Kita adalah orang-orang yang masih diberi kesempatan memebersihkan segala kotoran. Apabila tidak segera berupaya membersihkan, sungguh kita termasuk golongan yang merugi.
Sejenak kalau kita introspeksi terhadap berbagai kepongahan bangsa ini, di mana segala bentuk maksiat terus saja mewarnai fenomena bangsa ini. Kebenaran sudah tidak dihiraukan lagi, karena banyak di antara kita yang mengaku dan merasa benar.
Segala bentuk tuntunan sudah dijadikan tontonan. Egoisme dengan mengatasnamakan kebenaran terus berpacu, sehingga kehinaan sudah terbungkus oleh kemuliaan yang lahir dari persepsinya sendiri.
Zaman sudah begitu terbalik, mereka berbicara mengatasnamakan perdamaian, tetapi justru terus berupaya menciptakan perang. Persoalan besar telah dikecilkan, bahkan berupaya untuk ditenggelamkan agar tidak ada jejak.
Namun sebaliknya, beberapa persoalan kecil yang seharusnya berdiri dalam eksistensinya malah dibesar-besarkan. Tak jarang, sesuatu yang kecil dihembuskan menjadi besar, menggelembung dan diledakkan sebagai rangakain dari rekayasa kepentingannya.
Bacalah! Bacalah segala fenomena, agar bangsa ini mampu meletakkan kemuliaan di balik rentetan musibah. Silahkan kemukakan segala bentuk analisa terhadap munculnya musibah yang menimpa negeri ini.
Namun tanpa mau belajar dengan terus membaca fenomena, tetap saja musibah akan berlalu tanpa bisa mencerdaskan nurani kita. ____________________________________________________________________________
Budaya Latah
Latah, biasanya identik dengan dengan respon sepontan ketika mendapatkan stimulus mengejutkan. Perilaku latah ini beberapa tahun belakangan ini memang sangat populer.
Bahkan kerap dijadikan lelocon karena orang yang latah kepar menunjukkan respon prilaku sangat lucu dan konyol. Kita tentu menenal nama mpok Ati karena prilaku latahnya memang membuat orang yang melihatnya harus tertawa terpingkal-pingkal.
Bahkan dengan kelatahan ini, Mpok Atik mampu menjadikan lahan komersial yang menghasilkan dan mengalirkan job manggungnya. Baik di pentas terbuka maupun di beberapa stasiun televisi.
Tidak hanya mpok Ati, beberap selebriti lainnya juga harus ikut-ikutan latah karena dipandang mampu mendatangkan "rezeki" sebagai daya tariknya.
Kelatahan ini tidak saja dimiliki oleh orang atau kalangan selebriti saja. Bangsa kita sudah lama disebut-sebut sebagai bangsa yang cendrung latah. Ketika ada peristiwa kecelakaan kapal, maka pemerintah ramai-ramai meningkatkan pelayanan dan tindakan penertiban serta pengecekan dengan ketat.
Begitu juga saat terjadi kelecelakaan kereta api, pemerintah juga terkesan terburu-buru melakukan tindakan secara tegas. Sama halnya ketika beberapa daerah di Indonesi terjadi polio, lagi-lagi pemerintah juga melakukan sikap latahnya.
Kelatahan pemerintah dan tentunya para orang-orang kita terakhir ditunjukkan saat terjadi kecelakaan Mandala Airline di Medan.
Sikap latah ini juga harus ditunjukkan. Saat ini beberapa maskapai penerbangan di Indonesia temasuk Garuda Airlines akan menukar beberapa pesawatnya dengan pesawat baru. Begitu juga mengenai keberadaan beberapa bandara di Indoneseia juga dilakukan analisa kelayakan.
Walupun sebenarnya bandara Polonia Medan dinilai layak, tetapi masih berisiko tinggi. Dan pemerintah sudah menyadarinya serta berupaya untuk memindahkan, namun terbentur dengan persoalan dana.
Kelatahan yang satu ini sama sekali tidak membuat masyarakat tertawa karean bersifat menghibur. Latah yang satu ini sangat-sangat tidak patut dicontoh dan dipelihara. Kalau memang sudah ada indikasi akan merugikan dan berdampak negatif, kenapa harus menunggu terjadi musibah? Bukankah melakukan tindak preventif lebih baik daripada harus memperbaiki. ____________________________________________________________________________
Kecil Selalu Jadi Korban
Bangsa ini memang harus terus prihatian melihat gelagat para orang "gedean" atau pejabat yang masih dukuk di tahta tertinggi kekuasaannya. Kaum kecil masih harus tertindas manakala si boss harus terjebak dan tersudut. Pelarian tanggungjawab sering ditampakkan oleh para pejabat yang mencoba lari dari masalah. Lihat saja contoh nyata yang terjadi akhir-akhir ini.
Manaka pemerintah menemukan modus penyelundupan BBM lepas pantai melalui pipa. Sungguh menjadi pemandangan ironis, sebab yang digelandang ke pengadilan dan harus menerima sangsi pemecatan justru para bahahan. Sementara itu, para pimpinannya hanya berkoar-koar dan sibuk membela diri.
Dalam logika sederhana saja, mana mungkin karyawan bahahan memiliki keberanian melakukan penyelundupan dengan modus oprandi yang begitu "canggih dan kotor". Sampai-sampai Presiden SBY harus bergeleng-geleng kepala karena merasa heran melihat ulah "pencuri" kelas kakap tersebut.
Begitu buruk mental para pejabat yang sengaja menjerumuskan bangsa ini dengan mengambil keuntungan pribadinya saja. Sedangkan nilai pertanggungjawaban harus terpental hanya dengan sebait kalimat nyentrik saja.
Kalimat bernada pembelaan diri dengan tidak saja menjerumuskan para karyawan bahahan, melainkan juga menimbun rakyat dengan berlapis penderitaan.
Kalimat-kalimat bernada akan mengundurkan diri dan sejensinya tak ubahnya hanyalah berupa kepicikan yang tetap tidak bernilai tanggungjawab sejati.
Sebagai seorang pemimpin, siapaun yang telah menyuburkan jalan penyelundup harus duhukum setimpal. Tanpa mendapat "restu" dari pemimpin, mana mungkin penyelundupan mampu berjalan mulus.
Sungguh teramat licin argumentasi dan berbagai taknik kejahatan yang dilakukan, selicin minyak yang menempel di kelopak matanya. Tetapi sayang sekali, mata hati terus ditutup karena merasa nikmat mandi kecing minyak.
Tidak rumit dalam mendongkel rapuhnya eksistensi mental bangsa ini, apabila para penegak hukum berani bersikap tegas menghukum para atasan yang telah bermain.
Bawahan memang kerap dijadikan tumbal mengingat posisinya sangat lemah manakala berhadapan dengan penegakan hukum.
Mental para pemimpin kita memang sulit menghadapi transformasi mental sebagai wujud dari tanggungjawabnya. Atau jangan-jangan pertanggungjawaban sudah dinilai tidak memiliki harga lagi.
Manakala nurani sudah terbendung oleh nilai-nilai ingin dihormati, maka untuk mempertahankan kehormatan terkadang memang harus ada tumbal. Biasanya, yang kecil merupakan sasaran empuk untuk dijadikan tumbal dalam mempertahankan keserakahan. ___________________________________________________________________________
Budaya Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah begitu menggorogoti di setiap lini, rasanya di setiap jengkal kesempatan selalu tidak disia-siakan. Sampai-sampai banyak yang tidak mampu membedakan antara kurupsi dengan tidak.
Walaupun juga sengaja memblurkan dengan berbagai kalimat pembelaan, misalnya mengatakan, ini hanya uang administrasi dan sebagainya. Ada saja sejuta alasan untuk melegalkan korupsi. Segalan bentuk yang berbau duit juga menjadi incaran dan sasaran empuk untuk melahirkan kurupsi baru.
Sekalipun tidak bisa dibenarkan, banyak yang menilai kalau korupsi di Indonesia sudah merupakan budaya. Kita mungkin bisa membenarkan Bung Hatta, katanya korupsi telah menjadi budaya bangsa ini.
Karena itu, wajar jika kian hari kian banyak pelakunya. Namanya saja sebuah kultur, masuk akal jika betapa sulitnya memberantas penyakit yang amat menyengsarakan ini.
Coba saja bayangkan, departemen yang seharusnya bersih dari berbagai tindak korupsi malah ikut-ikutan menggerogoti uang negara.
Sebut saja kasus dugaan korupsi dana abadi umat yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar. Kita tidak pernah bisa memahami seorang menteri agama bisa amat melantur dan memalukan memakai uang yang bukan miliknya.
Lho, bukankah depertemen agama seharusnya memberi contoh yang baik sebagai benteng moralitas bangsa? Korupsi memang bisa dilakoni oleh siapa saja dan tidak memandang dari agama manapun. Benteng agama, tingkat pendidikan dan intelektual yang tinggi, bisa tidak berarti apa-apa.
Seolah semuanya sudah mabuk duit, dan silai oleh kemilau hedonisme. Orang-orang yang dipandang sucipun juga sangat rawan melakukan tindak kriminal ini. Siapa yang tidak tergoda dengan uang milyaran rupiah dengan hanya "bim salabim".
Contoh lainnya, dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum yang menyeret sang ketuanya, Nazaruddin Sjamsuddin.
Dugaan yang sama dan sangat memalukan, kini tengah dibidikkan ke Mahkamah Agung (MA). Pengacara pengusaha Probosutedjo menyebut Ketua MA Bagir Manan diplot menerima suap Rp5 miliar.
Kita psti tahu dan sangat mengenal nama Said Agil, Nazaruddin, Bagir Manan adalah orang-orang intelektual, yakni para guru besar. Namun sayang, prilaku mereka tidak jauh beda dengan maling ayam, bahkan lebih hina lagi karena mereka sudah mencuri uang rakyat milyaran rupiah.
Pada awal pemerintahannya, SBY-JK menabuh genderang perang terhadap para korupstor. Satu persatu mereka sudah diproses dan diseret ke pengadilan.
Walau belum memperoleh hasil yang memuaskan, namun kita harus tetap optimis dan mendukung sepenuhnya terhadap langkah pemerintah.
Semoga korupsi bukan bagian lagi dari hudaya kita, sangat malu rasanya kita hidup di dalam negara besar yang memiliki nilai-nilai budaya luhur, kini harus luntur dengan gelar budaya korupsi. ____________________________________________________________________________
Hedonis, Mistik dan Pornografi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta tayangan-tayangan pornografi, pornoaksi dan mistik segera dihentikan karena tidak mendidik dan merusak akhlak bangsa, apalagi saat ini adalah bulan suci Ramadhan. Apabila diamati, paling tidak ada tiga hal yang sedang menghinggapi kognisi masyarakat Indonesia.
Pertama, gaya hidup hedonisme yang banyak mengantarkan pemikiran, sikap, dan prilaku masyarakat kepada kenikmatan duniawi. Celakanya, demi untuk memperoleh semuanya harus rela menempuh jalan singkat dan singkat. Kedua, Mistik yang akhir-akhir ini bentul-betul menggerogoti masyarakat kita.
Apalagi setiap hari hampir seluruh menayangkan film atau sinetron yang berbau mistik. Sedangkan yang ketiga adalah pornografi, setipa hari banyak sudah berbagai kasus kriminal yang disebabkan oleh pengaruh pornografi. Bahkan, banyak orang yang ingin mendapatkan kepopuleran harus rela melakukan aksi porno atau erotis.
Ketiganya sebenarnya sangat terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sikap hidup hedonisme membuat sesorang harus rela melakukan berbagai ritual mistik.
Berbagai jalan untuk mendapatkan harta melimpah membuat dirinya harus mengikuti berbagai permainan mistik.
Berbagai kasus saat ini bermunculan, bagaimana sesorang yang ingin mendapatkan pesugihan harus rela melakukan perintah sang dukun. Gaya hidup hedonis juga kerap menyeret seseorang untuk melakukan aksi erotis.
Seolah cara-cara berporno ria merupakan sasaran empuk untuk mendongkrak popularitas dan dengan demikian duit akan mengalir dengan sendirinya. Ketiganya benar-benar sudah bersenyawa dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Rupanya industri media dan hiburan terutama stasiun TV dan rumah produksi tidak mau sisa-sia memanfaatkan kecendurngan dan polah hidup masyarakat saat ini. Kini, tayangan-tayangan televisi sudah didominasi oleh hal-hal yang berbau ketiganya.
Asalasannya karena masyarakat menyukai, tentu sangat beralasan, tetapi kita juga harus menganalisa sumber dari kecendrungan tersebut. Jangan-jangan media yang sudah membentuk mesyarakat ke arah sana. Sehingga kognisi masyarakat Indonesi benar-benar telah dijubeli oleh pola hidup ketiganya.
Ketua MUI Amidhan kepada pers dalam Tausiyah Ramadhan di Jakarta, Jumat. Amidhan mengatakan TV memiliki peran yang luar biasa yang menggantikan peran ulama, guru dan orang tua karena itu pengelola stasiun TV seharusnya bijak, jangan sampai tayangannya berpengaruh buruk pada mentalitas dan moral anak-anak dan remaja.
Kebebasan berekspresi dalam bidang seni memang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat dan ajaran agama.
Pemerintah dan parlemen, bertanggung jawab agar RUU Pornografi dan Pornoaksi segera disahkan menjadi UU sehingga masalah tersebut dapat ditangani dengan hukum yang jelas dan tegas. ____________________________________________________________________________
Untung Masih Punya Peringkat
Perang terhadap korupsi dikumandangkan secara besar-besaran oleh setiap presiden. Bahkan, pemberantasan korupsi sudah menjadi janji rutin bagi calon presiden dalam setiap kampanyenya. Apalagi sang peresiden yang naik tahta tersebut di era reformasi, seolah korupsi menjadi musuh utama yang akan dihunusnya.
Tetapi kenyataannya, seolah pedang yang akan menghunus korupsi sangat-sangat teramat tumpul. Korupsi di Indonsesia tidak banyak mengalami perbaikan, jalan di tempat, bahkan kondisinya malah makin parah.
Sangat mengejutkan, Transparency International, lembaga dunia yang menaruh perhatian serius terhadap korupsi, mengeluarkan indeks persepsi korupsi untuk 2005. Dalam IPK terbaru yang diumumkan di Jakarta, Selasa (18/10), peringkat Indonesia mandek.
Indonesia berada pada peringkat keenam negara terkorup di dunia bersama Ethiopia, Kamerun, dan Azerbaijan dengan IPK 2,2. Di ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Myanmar dan kalah bila dibanding dengan Kamboja, Laos, dan Vietnam, tiga negara yang selama ini dianggap amburadul.
IPK Indonesia bukannya tidak membaik. Dari angka 1,9 pada 2003, naik menjadi 2,0 pada 2004, dan tahun ini naik lagi menjadi 2,2. Bagaimanapun juga, perbaikan ini harus diapresiasi. Namun bila dibandingkan dengan China dan Vietnam, misalnya, perubahan di Indonesia kalah cepat.
Pertanyaannya, kenapa negara yang sebelumnya berada lebih buruk dibanding Indoensia malah lebih cepat melakukan perbaikan dalam memberantas korupsi?
Haruskah kita berkata dengan kalimat "untung kita masih punya peringkat" kalau tidak, entah akan menjadi apa korupsi di Indonesia ini. Ada barometernya saja masih saja tetap mandek dan tidak bergerak ke arah perubahan, bagaimana lagi kalau tidak ada barometer. ____________________________________________________________________________
Bacalah!
Al-Qur'an merupakan kitab yang diturunkan dengan segenap kesempurnaan yang terkandung di dalamnya. Kandungan dalam ayat-ayat suci Al-qur'an terbentang makna yang teramat dalam. Bukan sekedar kisah-kisah para nabi, atau seribu kisah relegius yang patut direnungkan. Melainkan, juga terbentang nilai-nilai intelektual dan ilmiah apabila dikaji dengan cermat dan mendalam.
Teramat banyak ayat-ayat yang memiliki esensi pengetahuan ilmiah, tentu saja untuk memperolehnya memerlukan kajian-kajian dari ilmu pengetahuan lain. Seperti harus memadukan dengan ilmu nahwu dan sharaf, serta dengan berbagai dispilin ilmu lainnya.
Berpijak dari seribu makna dalam Al-qur'an tersebut menegaskan bahwa kitab suci umat Islam tersebut tidak sekedar mampu dimaknakan secara kontekstual saja. Melainkan harus dengan mengkaji secara cermat agar mampu menggali makna yang terkandung di dalamnya.
Makna fungsional hendaknya menjadi target utama dari peringatan Nuzulul Qur'an. Intinya, ada pembelajaran jangka panjang yang harus dicermati. Karena aplikasi dari kajian-kajian al-qur'an akan mampu memberikan perubahan pada tatanan iman, mental serta prilaku kita menuju ketaqwaan kepada Allah sang pencipta.
Batam sebagai kawasan yang semakin menapak kepada moderenisasi yang cendrung menganut kepada loberalisasi. Harus dibendung dengan kekuatan nilai-nilai religius agar rasa keimanan serta mental masyarakat tidak terjebak kepada dekadensi moral.
Peringatan Nuzulul Qur'an bukan sekadar kegiatan religius yang bersifat formalitas tahunan, melainkan mengingatkan kita agar mampu membaca sebagaimana yang diturunkan dalam ayat pertama.
Iqra' artinya bacalah! kita memang harus tetap dan selalu membaca berbagai fenomena. Baik fenomena yang terjadi pada diri kita, terjadi kepada orang lain, serta terjadi kepada alam. Sudah begitu banyak contoh-contoh kongkrit yang Allah turunkan, baik itu namanya musibah, cobaan, bahkan peringatan. Disinilah dibutuhkan kepekaan kita dalam membaca fenomena terhadap apa yang Allah berikan.
Kita sebagai manusia harus mampu membaca ayat-ayat Allah atas segala kebesarannya agar menjadi petunjuk kepada kita. Terkadang hati kita teramat buta, tuli dengan segala atribut kesombongan kita.
Dengan memperingati Nuzulul Qur'an maka hati kita diharapkan terbuka membaca segala fenomena yang telah diturunkan kepada kita. Kita teramata kecil di hadapan Allah, dan Al-qur'an sebagai wahyu Allah memiliki kekuatan besar untuk membentuk pribadi islami.
Dengan kekuatan membaca maka niscaya Allah membuka hati kita dari segala kebutaan, ketulian akibat tertutupnya mata hati kita. ___________________________________________________________________________
* Isi Seluruh Tulisan Murni Hasil Analisa Mahmud Syaltut Usfa Terhadap Fenomena Bangsa, Dan Sudah Dipublikasikan di Harian Media Kepri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar