Rabu, 14 Januari 2009

Sajak Sufistik

”Banang Merah di Titian Hati”
Benang merah terus terburai di sepanjang lorong hati
Tak pernah lepas terajut indah di kepakan sayap cinta
Para bidadari berdansa menikmati fatamorgana seribu hati

Sang seribu hati
Satu persatu berpetualang melanglang jagad amora
Sang seribu hati
Siap menjadi pahlawan dengan terus mengepakkan sayap cinta

Pedang di sayap hatinya tak pernah lengah dari pandangan mata jiwa
Lengah berarti hilangnya kesempatan
Apalagi sampai tercecer di sudut akal
Lebih sakit lagi jika terhempas di sayatan hati

Jiwa-jiwa tak henti-hentinya mengejar seribu hati
Padahal hanya satu yang mampu bersandar di ruangnya
Ada ruang kosong yang terus memelas pada mata jiwa
Bersimpuh luluh agar tak pernah ada jarak dengan hati

Mata hati begitu tajam memandang setiap jengkal kesempurnaan
Walau terkadang kesempurnaan harus menjadi bagian kekurangan
Cinta kadang harus kejam sebengis kematian
Sampai mata jiwa terpejam di pelukan hati yang kosong

Benang merah terus terburai.....
Mencari titik persinggahan hati....
Melanglang jagad nurani....
Menempuh perjalanan jiwa....

Terus berjalan...berlari...bersaing dengan seribu hati
Tak pernah lelah sampai sayapnya terhempas ke titian logika
Para bidadari masih terus menikmati fatamorgana hati
Hati yang terus menari menunggu ketegasan takdir

Siap-siaplah terhempas ..............
Karena cinta hanya ada saat kejujuran tersadar
Berdansalah dengan seribu bidadari ketika pedang di sayap cinta menghunus titik hati
Dan menangislah di saat benang merah harus tercecer tak mampu menyentuh hati
Cinta akan terus ada walau tanpa harus berpetualang dengan pedang di sayapnya
Sebab jiwa terlahir dari rajutan cinta



“ Jarak Hati “
Ketika waktu bergeser menuju sepertiga malam
Hati membangunkan logika untuk berdialog.

“Mengapa ketika sedang dalam keadaan marah harus berbicara dengan suara yang kuat atau berteriak.” tanya hati memulai.

Logika terdiam sejenak, kemudian menjawab “ Karena saat seperti itu telah kehilangan kesabaran.”

“Tapi...” sang hati balik bertanya .” Bukankah lawan bicara berada di dekatnya, mengapa harus berteriak? Apakah tidak bisa berbicara dengan halus?”.

Logika semakin terdiam, terus mencoba dengan seribu argumen.
Namun, tak satupun jawaban menyentuh ruang sang hati.
Terdiam lemah tak mampu bengkit dari keakuannya.

Sang hati berkata ” Ketika sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara kedua hati akan menjauh walau kedua jasad begitu dekat.
Jarak kedua hati akan menjauh sampai tak tersentuh akal.
Untuk menggapainya harus terus berteriak...teriak....dan berteriak!
Aneh....semakin keras berteriak, jarak hati makin terpisah.
Dan....jarak hati makin menjauh tak mampu digapai.

Sang hati melanjutkan ” Sebaliknya, apa yang terjadi ketika sedang jatuh cinta?
Hati begitu dekat...tak berjarak!
Kedua hati hanya dibatasi ruang tipis laksana titian rambut dibelah tujuh.
Suara yang halus akan terdengar indah, tanpa harus berteriak.
Akhirnya....sepatah katapun tak perlu diucapkan.
Sekerdip pandangan mata sudah cukup memahami pesan.

Sang hati terus melanjutkan ” Ketika sedang dilanda kemarahan janganlah menciptakan jarak hati. Tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara bijaksana.”

Usai berdialog, kuhempaskan jasadku dan kusucikan jiwaku dengan air wudu’.
Sujud shalat malam, agar hati dan logikaku terus mendekat kepada Allah.
Hingga tak berjarak....luluh dalam dekapan istighfar.

Batam, 11 Des 2008 (Telah dipublikasikan di Media Nasional Harian Batam Pos)


Tidak ada komentar: