Batam Pos, Selasa, 23 Desember 2008
Oleh : Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)
Membicarakan wajah pendidikan di Indonesia secara umum dan daerah secara khusus selalu menarik. Pendidikan adalah jantung terhadap kemajuan bangsa ke depan. Yang diharapkan tentu saja perubahan. Baik perubahan sikap, perilaku, mental, serta pola pikir.
Untuk mencapai perubahan tersebut dibutuhkan tekat kuat dari segenap elemen yang terkait dalam dunia pendidikan. Otonomi sekolah akhir-akhir ini menjadi pembicaraan luas. Karena ada harapan yang sangat prospektif apabila otonomi pendidikan betul-betul berjalan mulus.
Lahirnya otonomi pendidikan diharapkan setiap sekolah mampu memberikan kualitas pada proses belajar mengajar bagi anak didik. Kesempatan ini bukan hanya sebagai tantangan, melainkan bisa menjadi pemicu (trigger) serta terbukanya kesempatan luas bagi setiap sekolah untuk terus berkompetesi. Dalam arti, terus mengembangkan potensi demi menciptakan iklim dunia pendidikan yang bermutu.
Harus disadari, dalam otonomi pendidikan, terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi, karena kepala daerah dewasa ini, memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing melalui Sistem Rekruitmen Guru, Rekruitmen Siswa, Pembinaan Profesionalisme Guru, Rekruitmen Kepala Sekolah, Penentuan Sistem Evaluasi, dan sebagainya.
Jadi, dalam era otonomi berbicara dengan kualitas pendidikan dasar dan menengah tingggal bergantung bagaimana keinginan daerah. Jika kita meminjamkan terminologi School Based Manajemen, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing.
Jujur saja, jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan steackholder.
Jika pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengkedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah. Maka, dapat dipastikan pendidikan di daerah akan memiliki praksis yang baik. Dengan demikian kualitas pendidikan akan bisa ditegakkan.
Sebenarnya kalau mampu diterapkan dengan maksimal, kurikulum berbasis tingkat satuan pendidikan adalah angin segar dan pencerahan bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Karena, penerapan KTSP memberi ruang kepada para pendidik untuk menggodok kurikulum sendiri seiring dengan otonomi daerah.
Tentu saja, sesuai dengan budaya, iklim lingkungan, serta serasi dengan kondisi sosial budaya masyarakat. KTSP juga memberi ruang kepada sekolah untuk menerapkan program unggulan serta karakteristik sekolah itu sendiri. Baik keunggulan dari sisi sains, religius, dan sebagainya.
KTSP mememiliki beberapa kelebihan. Pertama: Memberi ruang atau mendorong terwujudnya kemandirian atau otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kegagalan pendidikan yang selama ini terjadi di Indonesia salah satunya karena adanya penyeragaman kurikulum.
Sehingga yang terjadi, tidak adanya mengharagai potensi lokal. Dengan kata lain kurikulum terdahulu memaksakan kualitas pendidikan yang sama antara di daerah (hinterland) dengan perkotaan. Atau dengan kata lain, terjadinya penyeragaman di berbagai daerah berbeda. Misalnya, antara masyarakat nelayan, pertanian. Sehingga, potensi di daerah tidak terserap guna memberi input bagi anak.
Kedua: Mendorong setiap sekolah untuk menitik beratkan pengembangan terhadap mata pelajaran unggulan yang sesuai bagi kebutuhan itu sendiri di tengah masyarakatnya.
Ketiga: Mendorong para kepala sekolah, guru serta pihak manajemen sekolah untuk semakin kreatif dalam meningkatkan program-program pendidikan.
Keempat: Adanya kompetensi positif bagi penyelenggara pendidikan dalam memberi nilai-nilai postif.
Kelima: Memberi peluang kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.
Model pendidikan holistik ini adalah pendidikan yang secara eksplisit ditujukan untuk mengembangkan seluruh dimensi manusia. Yaitu, aspek akademik (kognitif), emosi (afektif), sosial, spiritual, motorik, dan kreatifitas.
Sebenarnya, konsep pendidikan ini sudah menjadi trend pembaruan sistem pendidikan yang dianggap cocok untuk abad ke 21. Tentu saja, ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan kita yang harus dijawab dengan bukti dan kerja keras untuk terus melakukan pembenahan.
Reformasi pendidikan di Jepang misalnya, ada tiga kalimat kunci yang sering disebut, yaitu kokoro-no-kyoiku (pendidikan untuk hati, jiwa, atau kedirian manusia), sogogakushyu (pembelajaran holistik), dan tokushyoku, koseika (keunikan masing-masing sekolah dan masing-masing individu).
Contoh lain yang tidak keliru kalau harus menjadi komparasi kita. Ministry of Education of British Columbia, Canada. Pada tahun 2000 juga mencanangkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan aspek estetika dan kesenian, emosi dan sosial, intelektual, fisik dan kesehatan, serta aspek tanggung jawab sosial.
Ternyata, perubahan ini telah membawa iklim perubahan baik dari segi manajemen sekolah (otonomi penuh), maupun kurikulum dan metode pembelajaran di kelas.
Lantas, bagaimana dengan wajah pendidikan kita, khususnya di Batam? Lagi-lagi kita harus menjawab dengan berpikir dan terus menganalisa dari kacamata logik dan objektif.
Kita tidak harus terlalu muluk-muluk melakukan revolusi pendidikan. Namun harus jujur, dalam melaksanakan perubahan memang dibutuhkan sebuah revolusi paradigma pendidikan. Karena memerlukan berbagai metode, strategi, dan teknik pembelajaran yang berbeda dengan sistem pendidikan sebelumnya.
Contoh ringan saja, dengan masih banyaknya sekolah-sekolah yang menerapkan metode klasik. Dengan kondisi kelas yang sunyi, anak duduk dengan pasif dan hanya menyimak serta mencatat. Padahal, kalau kita mau jujur, suasana proses belajar mengajar seperti itu sangat-sangat tidak efektif.
Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat meningkatkan semangat siswa adalah dengan berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan bermain (fun learning). Sehingga kemampuan verbal dan motoriknya berkembang, termasuk juga kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking).
Nah, inilah masalah yang sering kita hadapai ketika mengikutsertakan pelatihan para guru untuk mengubah metode pembelajaran di kelas. Yaitu berupa ketakutan dan keengganan para guru untuk memperbaiki metode pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teori-teori yang berlaku. ***
Selanjutnya......
Sekolah rega
11 tahun yang lalu