Selasa, 10 Maret 2009

Bahasa Cinta Ada di Rumah

(Menelaah Maraknya Kenakalan Remaja)
Batam Pos Tanggal 11 Februari 2009

Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)

Satu persatu kasus kenakalan remaja terkuak ke permukaan publik. Mulai dari aksi kebut-kebutan, pemerkosaan, aborsi, narkoba, pencurian. Sampai terang-terangan menjual diri karena alasan materi. Ada apa remaja kita ini?

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Berbagai analisa dari berbagai ahli sudah diterapkan. Tapi, ada saja celah dan alasan remaja melakukan perbutan tidak terpuji.

Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003).

Pada masa ini anak muncul gejolak dalam pencarian jati diri. Konsep diri mulai dihitung-hitung agar terserap dalam kehidupannya. Dalam masa pencarian tersebut anak butuh kompensasi. Ada keinginan yang kuat agar apa yang ada dalam dirinya mendapat pengakuan dari orangtua, teman sebaya dan masyarakat.

Kehangatan cinta dari adanya perhatian dari orangtua menjadi kebutuhan mutlak. Mereka butuh bahasa cinta saat-saat mengalami gejolak. Di saat seperti itu orangtua harus memberi bahasa cinta kepada anaknya.

Adakalanya ada rasa kekhawatiran bagi orangtua di saat anaknya memasuki masa remaja.
Namun satu sisi anak ingin bergerak dinamis, kreatif dan ekspansi serta ingin melakukan eksprimen. Menurut mereka, apabila mampu melakukan hal tersebut akan mendapat jati diri sebagai remaja. Namun sayang, rasa khawatir yang berlebihan dari orangtua dipandang oleh anak sebagai protek. Bahkan, dianggap sebagai pengekangan gerak dinamis mereka.

Misalnya, anak yang berbakat di bidang musik mereka setiap hari berkumpul dengan teman-temannya mengekspresikan bakatnya. Tapi, orangtua kadang mengkhawatirkan sisi negatifnya saja. Mereka cendrung mengatakan ”Jangan main musik nanti pasti terlibat narkoba dan pergaulan bebas”. Akibatnya anak mersa terkekang.

Sebaiknya sampaikan dengan bahasa cinta. Misalnya dengan mengatakan ”Silahkan kembangkan bakat musiknya tapi jangan ikut-ikutan menggunakan narkoba”. Yang harus diperhatikan adalah penghargaan dan perhatian atas bakat yang dimiliki anak. Apabila anak salah menangkap bahasa orangtua. Maka mereka akan menjadi bimbang, takut, dan mengalami kecemasan.

Akibatnya anak akan mencari kompensasi yang lain. Mereka menilai apa yang dilakukan adalah salah. Padahal satu sisi ingin menjadi remaja yang baik, dinamis, dan kreatif. Nah, dalam kondisi seperti itu remaja cendrung mencari kompensasi yang lain. Yang penting mendapat pengakuan dari masyarakat atau kelompok sebaya. Sekalipun itu harus melakukan perbuatan menyimpang.. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi teman yang baik dalam memberi pemahaman dan motivasi melalui bahasa cinta.

Munculnya kenakalan remaja sebaiknya menjadi bahan telaah bagi kalangan orangtua. Terlepasnya kontrol komunikasi keluarga bisa membuat jiwa anak merasa kosong. Remaja membutuhkan bahasa cinta yang terus ada dalam dirinya.

Bukan sekadar bahasa yang diungkapkan sepotong-sepotong. Tapi bahasa cinta yang utuh, mengalir secara ihlas di setiap detak kehidupannya. Bahasa cinta itu hanya bersumber dari keluarga.

Cinta adalah bahasa yang paling universal dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Sebab cinta merupakan amunisi jiwa yang sangat dahsyat. Atas nama cinta, banyak orang tua yang rela berkorban demi kemuliaan hidup anak-anaknya.

Cinta dalam perspektif psikologi, diidentifikasikan sebagai energi kehidupan positif yang bersifat afektif (emosi). Energi cinta akan membawa seseorang pada perilaku yang positip. Karena dalam cinta terkandung unsur-unsur positip. Seperti keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, ketabahan, kejujuran, kepercayaan dan kesunguh-sungguhan.

Apabila komunikasi orangtua dan anak penuh bahasa cinta. Keharmonisan akan terus berkembang. Sekecil apapaun konflik akan bisa diredam. Karena ketika energi cinta ini diimplemetasikan dalam mendidik anak-anak, maka orang tua harus berlaku ikhlas (lahir dan bathin), sabar dan penuh kasih sayang. Itu menjadi kunci utama ketika berkomunkasi dengan bahasa cinta.

Tentunya, kasih sayang dalam kontek ini tidak berarti harus selalu memberi atau menuruti semua kehendak anak. Tetapi mempertegas sikap. Untuk memberi pelajaran pada anak, bahwa tidak setiap keinginan atau kehendak itu harus terpenuhi.

Bahasa cinta memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam membentuk pola pikir dan kepribadian. Kesejukan bahasa cinta mampu menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Memelihara cinta sebagai amunisi jiwa, adalah merupakan kata kunci untuk membangun kejujuran, kepercayaan dalam mendidik anak.

Kalimat-kalimat dengan bahasa cinta tidak akan membuat jiwa anak terluka. Justru bahasa yang bernada celaan akan membuat anak belajar memaki. Dampaknya akan runyam. Anak akan merasa sensitif, serba salah, cendrung menyalahkan orang lain. Bahkan, gampang mencelah dirinya sendiri.

Begitu juga apabila bahasa yang disampaikan kepada anak ditafsirkan sebagai permusuhan, pastinya anak akan belajar berkelahi. Bahasa seperti itu tidak ubahnya mendidik anak menjadi jagoan. Akibatnya, pada jiwa anak akan tertanam sikap premanisme dan pribadi yang cendrung liar.
Jika bahasa kepada anak cendrung dengan cemoohan, Ia akan belajar menjadi rendah diri. Rasa minder kerap melekat pada pribadi anak. Anak akan merasa kikuk melakukan berbagai aktivitas karena terus dihinggapi rasa minder.

Terlebih jika bahasa kepada anak penuh dengan penghinaan. Anak akan gampang untuk menyesali diri. Ini sangat fatal, karena anak sangat gampang frustasi.

Tapi sebaliknya dengan bahasa cinta dan terus mengajari anak bertoleransi. Anak akan belajar menahan diri. Emosinya tidak gampang tersulut dan akan memiliki rasa empati yang tinggi. Berilah bahasa cinta dengan kalimat-kalimat dorongan. Niscaya anak akan terus belajar menjadi percaya diri

Siramilah jiwa anak dengan bahasa pujian agar bisa belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Tumbuhkan bahasa cinta dengan keihlasan dan niali-nilai kejujuran agar anak belajar hidup adil. Dengan bahasa cinta yang terus ada di keluarga, anak akan merasa aman. Sehingga pada pribadi anak akan terbentuk rasa hormat dan menaruh kepercayaan pada siapapun.

Tidak ada salahnya apabila orangtua terus memberi bahasa cinta dengan kalimat-kalimat motivasi. Karena anak akan relajar menyenangi dirinya sendiri. Sangat disayangkan apabila anak merasa bosan dengan dirinya.

Jika anak dibesarkan dengan bahasa cinta, kasih sayang dan persahabatan. Anak pasti belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Apabila anak sudah menemukan cinta di rumah, untuk apa lagi mencari cinta di tempat lain.



Tidak ada komentar: