(Kebangkrutan Mental dan Abunawas Sindrom)
Batam Pos, Jumat, 01 Mei 2009
Oleh: Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School.
Pemilu legislatif baru saja berakhir. Para caleg yang sudah habis-habisan berkampanye sudah diketahui hasilnya. Mereka tidak hanya terkuras tenaga dan pikirannya, tetapi juga biaya serta mental.
Jika dilihat pada masa kampanye, paling tidak ada tiga golongan caleg. Pertama, caleg dengan modal kecil. Harapan lolos juga kecil seimbang dengan modal yang dikeluarkan. Apabila gagal tidak menjadi beban besar. Caleg tipe ini lebih siap kalah dibanding siap menang.
Kedua, caleg dengan modal sedang. Harapannya masih sebatas biasa-biasa saja. Lebih cendrung adu keberuntungan. Jika tidak lolos, tidak begitu berisiko pada kondisi mental. Modal tanggung depresinya juga tanggung.
Ketiga, celeg dengan modal besar. Tidak hanya berharap besar untuk lolos, tapi harapannya sudah mengarah pada ambisi. Bagaimana jika gagal? Sudah bisa ditebak! Mereka rentan stres berat, depresi berat, bahkan berisiko mengalami psikosa (sakit mental).
Para caleg gagal yang mengalami depresi berat disebabkan tidak adanya keseimbangan mental. Harapan tinggi, modal besar, begitu sadar dirinya gagal mental langsung drop. Beban mental dirasakan terlalu berat. Jika seorang caleg gagal mulai sering marah-marah, ngoceh sendiri, kemudian termenung, itu bisa jadi pertanda si caleg gagal sudah terganggu kesehatan jiwanya. Silahkan perhatikan caleg gagal di sekitar Anda !
Lihat saja beberapa kasus, mereka mengalami sakit mental disebabkan terlilit hutang. Tidak hanya mengalami kebangkrutan modal (materi), namun juga kebangkrutan mental. Manakala modal ratusan juta hingga miliaran berbuah kekalahan harapan sirna. Menjadi anggota dewan dipandang sebagai posisi terhormat. Ketika harapan itu sirna, seakan kehormatannya juga runtuh. Di sinilah sebenarnya pentingnya belajar mentransformasi mental.
Ada dua hal sederhana yang membuat orang gampang mengalami stres dan depresi. Pertama, disebabkan salah persepesi. Harapan tak sesuai dengan kenyataan. Kedua, displacement activity, perilaku salah arah tidak sama dengan pikiran. Caleg gagal sangat rentan mengalami keduanya.
Cara sederhana dalam menetralisir keduanya adalah membuat berbagai alternatif. Kemudian, terus mencari alasan untuk berpikir postif. Sehingga sampah-sampah pikiran tidak terus melekat pada pikiran yang lambat laun membusuk dalam hati.
Ego memiliki peran penting dalam mengontrol, mengendalikan serta menetralisir berbagai gelombang pikiran. Para caleg gagal tidak ada salahnya mencontoh Abunawas dalam menetralisir mental ketika egonya terusik. Kelihatannya konyol, tapi paling tidak bisa menetralisir stres dan depresi berat.
Misalnya, ketika Abunawas mengikuti shalat jenazah dengan khusuk berada di shaf depan. Tapi ada yang janggal apa yang dilakukan oleh Abunawas. Yang semestinya shalat jenazah hanya dilakukan dengan posisi berdiri (tidak harus memakai sujud, rukuk dan seterusnya layaknya shalat lima waktu) malah Abunawas melakukannya.
Sikap Abunawas ini mengundang pertanyaan bagi jamaah. ”Kenapa engkau memakai sujud dan rukuk hai Abu? kan mestinya cukup berdiri saja?” tanya seseorang di sebelahnya. Dasar Abunawas, dengan otak cerdiknya dia menjawab enteng “Orang yang mati ini banyak dosanya, sehingga harus memakai rukuk dan sujud,”.
Mengacu pada teori psikoanalisa Sigmund Freud, dalam dinamika diri manusia memiliki Ego Devent Mekanisme. Ini sangat kuat memberikan alasan-alasan demi untuk membela egonya. Kondisi seperti ini dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali. Apalagi para caleg yang gagal.
Dalam teori psikoanalisa, ego merupakan kesatuan inti manusia. Maka ancaman terhadap ego ini merupakan ancaman pula terhadap eksistensi manusia. Kondisi ini terjadi manakala keadaan mengancam keutuhan integritas pribadinya. Ego Devent Mekanisme ini sendiri sebenarnya tidak realistis dan mengandung unsur penipuan diri sendiri serta distorsi realitas.
Mekanisme itu sangat penting. Sebab berfungsi untuk memperlunak kegagalan, menghilangkan kecemasan, mengurangi perasaan yang menyakitkan karena pengalaman yang tidak mengenakkan. Dan juga untuk mempertahankan perasaan layak dan harga diri. Abunawas ahli dalam melakukan ini!
Dari sekian banyak bentuk pembelaan ego ada beberapa bentuk pembelaan ego yang sering dilakukan oleh kita, seperti Rasionalisasi. Ini adalah berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang ia lakukan yang sebenarnya kurang baik, namun dirasionalkan adanya, dapat dibenarkan dan dapat diterima adanya.
Misalnya, ketika caleg ditanya kenapa sampai gagal, caleg tersebut dengan enteng akan menjawab “Sebenarnya yang memilih saya banyak cuma kurang beruntung saja”, padahal intinya ada rasa gengsi mengakui kekalahannya. Rasional menurut dia tapi terkadang akan menjadi lelucon bagi orang lain.
Bentuk ego devent mekanisme lainnya adalah Reaksi Formasi. Yaitu, mengalihkan kegagalannya agar bisa diterima oleh orang lain. Seperti kisah seekor ruba yang tidak bisa meraih anggur, padahal sudah berusaha keras. Akhirnya si ruba mengumumkan pada hewan-hewan lainnya ”Jangan diambil anggur itu, rasanya pahit makanya aku gak mau mengambilnya.”
Caleg yang gagal rentan menggunakan ego devent mekanisme model ini. Mengetahui dirinya gagal maka akan berkoar-koar ”Jadi anggota dewan gak enak, banyak kasus, untung aku gak jadi.” atau akan berkata ”Saya siap kalah demi memberi kesempatan pada yang lain aja kok.”
Bentuk ego devent mekanisme yang juga sering dijadikan andalan caleg gagal adalah Regresi. Bentuk pembelaan ego yang ditandai sikap kemunduran, merajuk layaknya anak kecil. Karena gagal, kecewa akhirnya pindah ke parpol lain. Sepertinya banyak dari kita yang telah belajar dari lelucon Abunawas.
Kita harus banyak mengoreksi diri dengan sedikit meluangkan waktu berpikir bening, jujur pada segenap keterbatasan. Bersikaplah sahaja, tidak larut dalam kebohongan-kebohongan yang sebenarnya kita sendiri yang menciptakannya.
Semakin kuat rasa anarki absolut pada diri kita, terlebih demi kekuasaan, jabatan, dan tidak adanya rasa qanaah. Maka akan melahirkan rasa ketakutan yang selalu menghantui diri kita. Di situlah Abunawas Sindrom akan menjadi komuditas pembenaran sampai melampaui batas sekala logika. ***
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar