(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)
Orangtua mana yang tidak senang anaknya pandai ilmu agama. Walaupun dia sendiri sangat dangkal tentang agama, tapi anaknya harus pandai. Mantap….!! memang orangtua harus berpikir gitu kok!. Akhirnya anaknya disekolahkan di salah satu SD Islam favorit di Batam.
Kurikulum agama Islamnya termasuk di atas standar. Semenjak kelas I (semester awal) sudah harus mengikuti berbagai pelajaran agama. Tidak hanya teori tapi juga praktek, atau lebih akrab dengan istilah pembiasaan.
Mulai pembiasaan bahasa Arab sampai membaca do’a - do’a pilihan. Apalagi praktek shalat, pembiasaan membaca al-qur’an dan hadis-hadis pilihan sudah menjadi keseharian mereka. Sampai-sampai orangtuanya sendiri kewalahan mengimbangi kemampuan ilmu agama anaknya.
Sehingga lama-lama kondisinya terbalik. Anak yang harus mengajari orangtuanya. Bahkan, saat ada tugas agama dari sekolah anak mulai malas bertanya ke orangtuanya. Alasannya, papa dan mama pasti gak ngerti. Akibatnya pada diri anak mulai muncul rasa kurang percaya ke orangtuanya. “Ah…percuma tanya, paling papa dan mama gak bisa jawab juga.” Begitu yang ada di pikiran anaknya.
Mau tak mau, orangtua harus (dituntut) untuk belajar berbagai pelajaran agama anaknya yang masih duduk di bangku kelas I SD. Kalau perlu harus lebih pandai. Akhirnya, setiap hari selalu membaca pelajaran agama di buku paket dan catatan anaknya. Hasilnya positif, orangtua jadi makin ngerti akan ilmu agama. Khususnya bagi sang ibu yang harus mengajari anaknya, menjadi persoalan serius.
Untuk pelajaran agama secara umum tidak ada masalah. Tapi ketika pelajaran bahasa Arab, tajwid, menulis Arab sangat menjadi kendala. Yang lebih merepotkan lagi pelajaran hafalan surat-surat pendek, hadis-hadis pilihan dan do’a – do’a pilihan. “Wah....mana mungkin bisa menghafal semuanya.” pikir ibunya. Apalagi kemampuan menghafalnya tidak setajam anak-anak. Tapi kalau bertanya ke anaknya langsung kuatir anaknya malah menertawakan. “Kok papa dan mama tidak tau sih...!!”
Nyerah...pasrah...akhirnya memutuskan “Saya harus belajar ke anak!!” Tapi sayangnya tidak mau terang-terangan, alias harus sembunyi-sembunyi. Caranya, setiap hari harus menyuruh anaknya membaca pembiasaan-pembiasaan tersebut. Misalnya, niat wudu’ dan doa setelah wudu’ sang ibu harus mendampingi anaknya yang lagi wudu’ dengan pura-pura membimbingnya. Padahal mulutnya sambil komat-kamit menirukan anaknya yang sedang baca do’a.
Seabrek hafalan do’a –do’a harus dihafalkan. Rasanya memori otak ibunya sudah penuh. Entah kenapa, untuk menghafal do’a sebelum makan kok terasa susah. “Wah...do’a – do’a dan hadis masih belum hafal ditambah lagi do’a sebelum makan.” pikirnya.
Makanya setiap anaknya mau makan sang ibu harus pasang kuping mendengarkan do’a anaknya. Tapi anaknya kadang malas-malasan membaca do’a. Pada suatu hari anak makan di ruang makan dan tidak mau diganggu ibunya. Sang ibu harus rela nguping sambil duduk di ruang tamu.
Sayang sekali, sang ibu tidak mendengar anaknya membaca do’a. Dengan penasaran dia menanyakan. “Apakah sudah membaca do’a?” tanyanya. Dengan suara enteng anaknya menjawab “Sudah membaca di dalam hati.” sahutnya. “Aduh...repot nih jadi gak kedengaran.” pikir ibunya, sambil melontarkan kalimat “Membaca do’a itu harus nyaring supaya kedengaran malaikat.” ujar ibunya setengah berteriak.
Akhirnya anaknya membaca do’a dengan keras. Sang ibu senang sambil menirukan. Tapi, sial....lagi-lagi masih belum hafal juga. Akhirnya menyuruh anaknya membaca lagi. “Ayo dibaca lagi yang keras.” Suruhnya. “Kan sudah mama.....” jawab anaknya. “Dibaca lagi yang keras supaya setannya lari gak ikut makan.” alasannya dengan suara agak keras.
Si anak menurut sambil mengulang bacaan do’a sebelum makan. Ibunya senang karena bisa menirukan. Tapi, lagi-lagi gak nyantol ke memorinya. Do’a yang sudah dihafalnya hilang lagi. Membacanya juga terbalaik-balik.
“Wah...harus menyuruh anak saya lagi nih.” Ucapnya dalam hati. “Ayo...do’a sebelum makannya diulang lagi, kayaknya setannya belum lari tuh...” suruhnya lagi. Dengan sedikit jengkel si anak menjawab “Aduh mama......kan makannya sudah selesai, kok disuruh membaca do’a sebelum makan terus sih....sekarang aku membaca do’a setelah makan ya ma...” sahut anaknya polos. “Ihhhh......do’a sebelum makan aja belum hafal malah ditambah do’a setelah makan.” ujar sang ibu agak sewot.
Belajar kepada anak kenapa harus gengsi. Apalagi untuk kebaikan anak dan diri sendiri. Gak ada salahnya terus terang, tapi terus berusaha belajar. Daripada ditahan-tahan malah hasilnya tak karuan tuh...!!
Selanjutnya......
Sekolah rega
11 tahun yang lalu