Minggu, 28 Juni 2009

Dangdut pun Berevolusi

Batam Pos, Minggu, 01 Pebruari 2009

Sonet 2 yang menggebrak pasar musik nasional dengan sentuhan baru musik dangdut, masih menjadi perhatian. Revolusi dangdut yang diusung oleh Rhoma Irama dan anaknya Ridho Rhoma (Sonet 2) menjadi pembicaraan di kalangan musisi. Revolusi dangdut dianggap membawa angin segar bagi pemusiknya.

HASANUL, Reporter Batam Pos

Di Batam ada Muhammad Syaltut Usfa, gitaris sebuah grup band yang kerap membawakan lagu-lagu berirama dangdut saat manggung. Revolusi dangdut yang dibawa oleh Sonet 2, menurutnya membawa kesegaran bagi industri musik dangdut tanah air, termasuk Batam.

Alasannya, stereotipe dangdut yang selama ini menjadi semacam ciri khas, bisa dibuang. Ciri khas dangdut yang menyolok adalah style dan cara berpakaian. Musisi dan penyanyi dangdut bisa dibedakan dengan musisi dan penyanyi pop/rock melalui penampilannya yang norak.

”Kalau manggung kami harus pakai seragam, padahal saya sangat tidak nyaman dengan seragam,” aku Syaltut, sapaannya, saat berdiskusi dengan wartawan koran ini.

Itu belum lagi dari penamaan grup musik dan penyanyi dangdut. Revolusi yang diusung oleh Raja Dangdut sekarang ini, dianggap membawa angin segar.

”Bila revolusi dangdut ini bisa berjalan dan diterima, suatu saat nanti kami manggung tidak lagi harus menggunakan seragam. Status musisi dangdut pun bisa disejajarkan dengan musisi pop atau lainnya,” komentar Syaltut.

Pandangan minus pada musisi dangdut, menurutnya bisa ditepis melalui revolusi tersebut. Syaltut mengaku, musisi dangdut kerap dipandang sebelah mata tanpa melihat latar belakang musisinya. Syaltut misalnya, walau sejak 1996 lalu sudah berkecimpung di musik dangdut dan koplo, tetapi dia justru berlatar belakang pendidikan musik klasik di Yasmi Music School, Surabaya.

”Saya terjun ke dangdut karena ada unsur akar budayanya,” katanya.

Dari membawakan musik-musik dangdut di pelosok tempat lah, Syaltut bisa mengenal karakter dari banyak orang, dari berbagai suku dan ras. Tak heran, temannya ada banyak dari berbagai latar belakang yang beragam.

Menghadapi revolusi dangdut sekarang ini, dia mengatakan dibutuhkan kreativitas dan kemampuan bermusik oleh musisi dangdut, lebih baik dari yang sebelumnya. Bila dulunya musisi dangdut Batam hanya sebatas bisa bermusik, setelah revolusi musisinya dituntut untuk berkemampuan lebih. Bila tak mampu mengikuti, bisa tergusur dan mati.

”Kalau saya lihat, musisi dangdut di Batam tidak begitu kreatif, hanya menunggu lagu-lagu dari Jakarta atau dari pop. Bila tetap seperti itu, musisi di Batam akan tetap menjadi musisi kampungan,” kritiknya.

Tradisi menunggu, menurutnya tidak bisa lagi dilakukan setelah revolusi dangdut. Musisi lokal harus bisa menciptakan nada-nada lagu baru untuk bisa eksis. Dampak dari keringnya kreatifitas itu, menurutnya baru terasa sekarang. Tetapi bila kering kreatifitas bisa diatasi, musisi dangdut akan naik pamor.

”Bukan tidak mungkin akan terbit pula grup Sonet 3 atau Sonet 4,” kelakarnya.

Syaltut dengan grup musiknya yang secara berkala mengadakan konser di beberapa tempat di Batam, mengatakan bahwa sejauh ini mereka masih menggunakan dangdut original dalam bermusik. Revolusi musik dangdut, masih belum diikuti sekarang ini, walaupun mau tidak mau mereka harus ikut dalam evolusi yang tercipta. Bagi Syaltut dan rekannya, revolusi dangdut lebih diharapkan ke arah persamaan derajat antara musisi dangdut dengan musisi lainnya.

”Kami harus mengikuti evolusi. Tidak ada lagi penyanyi yang bergaya norak dan bergaya seksi tidak pada tempatnya,” celetuknya.

Dengan revolusi, musisi Batam bisa membuat evolusi dan perubahan untuk menghadapinya. Revolusi yang dibawa itu, menurut Syaltut tidak hanya menyangkut revolusi pada musiknya saja, tetapi juga kelas pada pemain dan penikmat musik dangdut. Selama ini, walaupun dangdut telah merambah hotel dan tempat-tempat berkelas, tetapi penampilan musisinya tidak juga ada beda. ***




Tidak ada komentar: