Rabu, 11 Februari 2009

Amplop di Majelis Taqlim

(Catatan lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Entah ada angin apa, tiba-tiba saya dapat undangan memberi ceramah di majelis taqlim. Awalnya keberatan, karena memang tidak biasa menjadi nara sumber di majelis taqlim. Tapi setelah ketua mejelis taqlim menjeleskan formatnya, akahirnya saya bersedia. Mereka menginginkan agar saya mengurai tentang masalah psikologi yang dikaitkan dengan agama. Penyajian yang ditawarkan adalah interaktif atau ada sesi dialog.

Wah, tentu saja sangat menarik. Karena saya memang sudah terbiasa menjadi nara sumber di radio. Atau moderator di acara seminar tentang psikologi. Atau juga sudah langganan diwawancara media saat ada kasus terkait psikologi. Jadi, gak masalah kalau formatnya interaktif.

Acaranya dimulai usai shalat maghrib sampai masuk waktu shalat isya’. Menjelang waktu maghrib tiba sudah berangkat. Setelah agak lama menunggu ketua majelis taqlim, akhirnya dia muncul juga. ”Assalamu’alikum ustadz.” sapanya dengan ramah. ”Hah....saya dipanggil ustadz?” pikirku dalam hati agak terkejut. ”O...iya pak wa’alaikumsalam.....” jawabku sambil bersalaman.

Akhirnya kami masuk masjid menunggu kumandang adzan. Satu persatu jamaah datang. Ruang dalam masjid dipenuhi jamaah laki-laki. Dan di teras masjid dipenuhi jamaah perempuan.

Tiba-tiba saya teringat akan panggilan ustadz. Daripada ditahan-tahan, saya berbisik kepada ketua majelis taqlim ”Pak...gak usah dipanggil ustadz lah...” bisikku. ”Ah...gak apa-apa, harus diamini lho ustadz, jangan ditolak panggilan itu.” jawabnya serius walau sambil senyum-senyum.

Saya terdiam lagi, tapi tiba-tiba terlintas dipikiran...”Kalau ustadz berarti saya nanti dapat amplop...” pikirku agak nakal. Karena sering saya lihat, ustadz selesai memberi ceramah atau berkhutbah jum’at selalu disalami amplop oleh panitia masjid.

Tapi, gimana kalau nanti dikasih amplop beneran ya....? kalau ditolak gak enak. Tapi kalau diterima....kan di masjid seharusnya cari amal gak usah mengharap amplop. Aduh...kenapa sih harus berpikir seperti itu? tanyaku dalam hati. ”Ah....mudah-mudahan gak ada amplop-amlopan lah.” pikirku tegas agar perasaan itu hilang.

Untung adzan berkumandang, sehingga pikiran itu hilang sendirinya. Ketika tiba waktunya saya memperkenalkan diri. Selanjutnya mengurai topik yang dibahas. Alhamdulillah berjalan lancar. Jamaah sangat antusias mendengarkan dan bertanya. Sehingga sesi tanya jawab betul-betul berjalan hangat, khususnya dari ibu-ibu. Sampai-sampai waktu begitu tak terasa bergulir. Terpaksa dialog harus dihentikan karena sudah masuk waktu isya’.

Usai shalat isya’ berjamaah, saya bersalaman dengan seluruh jamaah laki-laki. Sebelum pulang masih ke kamar kecil dulu. Busyet....lagi-lagi saya teringat amplop. Mau langsung nyelonong pulang gak mungkinlah. Setelah berbincang-bincang dengan beberapa pengurus masjid, saya pamitan. Terakhir salaman dengan ketua majelis taqlim.

Ketika salaman dia sambil berbisik ”Ustadz, ini ada amplop mohon diterima ya ustadz...” bisiknya. ”Wah...kejadian deh.” pikirku dalam hati. Akhirnya saya berbisik ke dia ”Pak, gak usah lah, saya ihlas dan senang diundang” kataku dengan suara lembut. ”Mohon diterima ustadz, ini sudah memang dianggarkan kok.” sahutnya dengan bijak.

Akhirnya saya terima amplop tersebut dengan perasaan ihlas. Dalam perjalanan pulang, setelah agak jauh dari majelis taqlim, saya buka pelan-pelan amplop tersebut tentunya dengan perasaan ihlas juga. Alhamdulillah isinya Rp. 200.000. Lumayan untuk mampir ke warung membeli makanan kesukaan. Tapi, lagi-lagi pikiran nakalku mulai hitung-hitungan ”Coba setiap minggu dapat undangan di majelis taqlim, lumayan untuk nambah uang saku hehehe.” pikirku sambil makan sop daging sapi.

(20 Jan 2009)






1 komentar:

Anonim mengatakan...

jadi ketagihan ntar pak ustadz..he..he..he..3x