Rabu, 11 Februari 2009

Roh Budaya di Kota Alibaba Sindrom

Batam sebagai kota metropolis tidak disanksikan lagi perekembangan pembangunannya. Berbagai sarana dan prasarana penunjang kota metropolitan maju melesat mengikuti irama modernisasi. Denyut nadi perekonomiannya terus bergerak dinamis. Pembangunan Kota Batam menjelma sebagai kota impian.

Pesatnya pembangunan fisik Kota Batam mengingatkan pada Kota Bagdad yang terkenal dengan kisah seribu satu malam. Saking pesatnya, sampai-sampai ada kelakar kalau kota kelahiran Alibaba tersebut dibangun atas bantuan jin. Namun sayang, pesatnya pembangunan fisik tidak diimbangi dengan kualitas pembangunan mental.

Sindrom Alibaba ini menyebar di kota-kota besar dunia. Modernisasi global menjadi dalih utama. Ketidakseimbangan antara pembangunan fisik dan mental ini menyebabkan sendi-sendi budaya tidak terkontrol. Bahkan kropos dan lambat laun punah digeser arus budaya yang diciptakan karena tuntutan moderinasi dan westernisasi. Akibatnya, roh budaya dalam satu kota tersebut sangat kering. Menjadi kota yang kehilangan roh dan gersang jiwanya.

Roh, apabila diartikan secara sederhana ibarat sinyal televisi. Manakala tidak dihidupkan, maka sinyal akan berada di luar televisi. Sinyal masuk melalui energi cahaya yang dikendalikan oleh pemancar.

Kota yang sedang gersang rohnya ibarat televisi yang sedang dimatikan. Agar roh tersebut hadir ke jantung kota harus menghidupkan sendi-sendi budaya. Kota yang kering akan budaya sangat rentan menimbulkan gesekan-gesekan sosial.

Sekecil apapun budaya yang dimiliki oleh kota tersebut harus dikendalikan, dipupuk, dan disemarakkan. Sehingga cahaya-cahaya roh terus mengalir ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ini hanya merupakan bagian kecil dan sangat penting untuk menyeimbangkan dari pesatnya pembangunan fisik kota.

Masyarakat sangat membutuhkan itu. Kota yang tak berjiwa akan membuat gersang jiwa masyarakatnya. Jika jiwa masyarakat gersang akan gampang tersulut emosi, stress, dan rentan muncul penyakit masyarakat.

Mereka bekerja laksana mesin. Berangkat pagi pulang sore. Ada ruang kosong di hatinya yang terus mencari kesejukan untuk mengisinya. Budaya memiliki kekuatan besar untuk menyirami kegersangan roh dalam suatu daerah.

Batam membutuhkan cahaya untuk memancarkan sendi-sendi budaya agar terus masuk ke jantung roh kota. Memberdayakan budaya daerah suatu keharusan. Tidak jadi persoalan sekalipun dimulai dari persembahan serimonial.

Ibaratnya, pagelaran serimonial baik tarian, karya sastra, kompang, sampai pakaian dll merupakan cara pengumpulan serpihan-serpihan budaya yang ada. Asal terus dikembangkan dan bukan sekadar pageleran sambil lalu.

Dari situ jati diri budaya bisa eksis berdiri di antara budaya-budaya daerah lainnya. Gol yang diharapkan adalah membuat jiwa kota tidak terasa gersang. Aktivitas masyarakat tidak terasa penat karena hanya memikirkan materi. Melainkan ada kehidupan dalam jiwa kota melalui geliat budaya setempat. Di sinilah peran serta masyarakat dan pemerintah khususnya sangat dibutuhkan.

Sebenarnya, Batam sangat diuntungkan dengan keberagaman budaya daerah lain. Karena akan banyak cahaya budaya masuk ke sendi-sendi masyarakat. Sehingga budaya Melayu sebagai budaya lokal tinggal memayunginya. Tentu saja dibutuhkan power agar masyarakat Batam, khususnya generasi yang lahir di Batam merasa memiliki terhadap budaya setempat.

Kita bisa mencontohkan Jepang, begitu kuatnya eksistensi budaya di masyarakat. Sehingga arus modernisasi yang masuk sangat deras bisa disaring oleh kekuatan budayanya. Hal itu terjadi karena antara pembangunan mental dan fisik berjalan sangat seimbang.

Bahkan, pembangunan mental sudah ada dan tertanam sebelum teknologi di Jepang maju pesat. Kondisi seperti itu membuat kota-kota di Jepang tetap memiliki roh dan tidak gersang jiwa kotanya.

Tentu berbeda dengan Batam, kota yang sengaja dibuka untuk industrialisasi. Setelah industri berkembang baru kehidupan dan struktur sosial masyarakat tumbuh. Akibatnya, untuk membangun mental dibutuhkan waktu lama dan sulit mengimbangi arus industrialisasi.

Kita tidak perlu kecil hati. Karena eksistensi budaya di Batam sudah jelas. Selanjutnya, bagaimana terus membangun dan memberikan apresiasi ke masyarakat. Bisa melalui pegelaran seni budaya secara rutin, memasukkan ke kurikulum sekolah, mensosialisasikan agar menjadi pembiasaan di masayarakat.

Minimal masyarakat tidak merasa asing dengan berbagai aneka seni budaya yang ada. Dengan cara seperti itu, tidak mustahil kegersangan roh kota bisa teratasi. Apabila cahaya roh budaya masuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka Kota Batam tidak akan seperti televisi yang sedang dimatikan.

Sebab, melalui apresiasi budaya dapat memperhalus jiwa masyarakat. Mampu memberikan motivasi untuk berpikir bijak. Serta mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Budaya mendorong orang untuk menerapkan moral yang baik dan luhur dalam kehidupan. Juga menyadarkan manusia akan tugas dan kewajibannya sebagai mahluk tuhan, mahluk sosial dan memiliki kepribadian yang luhur.

Selain melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa juga mendorong penciptaan masyarakat modern yang beradab (masyarakat madani) dan memanusiakan manusia. Dengan budaya kita dapat memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Bukankah kita memiliki slogan ”Batam bandar dunia madani”? Semoga. (Sudah dipublikasikan di Harian Nasional Batam Pos)***


Tidak ada komentar: