Rabu, 11 Februari 2009

“Saya”

(Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa)

Coba Anda hitung berapa kali dalam sehari menyebut nama Anda dengan kata “Saya” ketika berbicara? Sekali, dua kali, sepuluh kali, beratus-ratus kali? Atau Anda lupa karena sudah tidak terhitung lagi?.

Kalau Anda bisa menghitung, bisakah untuk mengurangi menyebut-nyebut kata “Saya”?. Mungkin agak susah. Tapi percaya atau tidak dari hasil penelitian, orang sangat gampang menyebut kata “Saya” dalam setiap percakapan. Dalam sehari bisa berpuluh-puluh kali, bahkan ratusan menyebut “Saya” ketika berbicara dengan orang lain.

Kata “Saya” selalu diidentikkan dengan keegoan seseorang. Ketika sedang berbicara dengan orang lain, dirinya selalu ingin di depan. Itupun pada saat-saat yang dianggap benar. Tapi, dalam kesalahan atau kekalahan cendrung menyembunyikan “Saya” di balik ke-egoan. Dan tentunya “Saya” juga akan terus disebut walau dalam kapasitas pembelaan diri (Ego Devent Mekanism).

Kita harus sadar, salah satu kebiasaan jelek kita adalah “terlalu toleran terhadap kesalahan diri sendiri tapi terlalu berharap lebih dari orang lain”. Maaf kenapa tidak ditulis “salah satu kebiasaan saya” kok “salah satu kebiasaan kita”? Itulah gambaran betapa ego sangat reflek ketika berbicara antara ”Saya” ”Kita” ”Anda” ”Kami”. Ego bisa memilah-milah dalam menempatkan posisi agar selalu aman dari penilaian negatif.

Tak bisakah kita mengerem sejenak dengan memberi kesempatan kepada lawan bicara? Minimal bisa menyeimbangkan antara “Saya” dengan “Anda”. Ego terlalu cerdas. Sehingga sangat sulit akal sehat mengimbanginya. Hati yang begitu lembut terlalu arif memahami ego. Sehingga kata “Saya” dipandang sebagai wujud dari aktualisasi diri yang tidak perlu dipikirkan, apalagi dibahas.

Cara yang paling sederhana untuk mengerem laju ego adalah belajar menghitung. Iya…tak ada salahnya jika “Saya” “Kita” “Anda” mulai belajar menghitung. Berapa kali menyebut kata “Saya” dalam sehari?. Nah, coba setiap hari hitung. Selanjutnya dikurangi sedikit demi sedikit. Jika kata ”Saya” dipandang tidak perlu diucapkan, maka tidak usah dikeluarkan. Minimal untuk mengurangi polusi ucapan.

Terus lakukan itu setiap hari semampunya. Apakah bisa? Kalau tidak bisa tidak perlu dipaksakan. Biarlah ego mengalir apa adanya. Kan ada orang lain yang bisa menilai apakah kata ”Saya” yang diucapkan menunjukkan keegoan atau hanya sekadar kebiasaan saja.

Analoginya sangat sederhana, ketika kita menilai orang lain berarti diri kita juga sedang dinilai orang. Bahkan perkataan yang kita ucapkan merupakan bentuk penilaian terhadap diri sendiri. Orang lain tinggal melihat bahwa segala ucapannya menunjukkan pribadinya.
Kuncinya terletak pada kesadaran ketika menempatkan ego dalam diri kita. Karena setiap manusia memiliki ego yang bergerak sebagai motor aktualisasi diri. Pergerakan ego sangat dinamis. Bayangkan apabila kita tidak memiliki ego, hidupnya tak bergairah tanpa motivasi.

Belajar menghitung dengan mengurangi menyebut kata ”Saya” hanya sebagai penyeimbang saja. Karena saat berbicara ada orang lain yang perlu dipahami, posisinya sama dengan diri kita juga.

(30 Jan 2009, for my blog).





Tidak ada komentar: