Kamis, 03 Juni 2010

Tali Jam Tangan dan Rambut Panjang Sang Ibu

Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa

Kita sudah sangat sering mendengar cerita anak yang durhaka kepada ibunya. Sebut saja kisah si Malin Kundang. Atau kisah-kisah lainnya yang sering didramatisir. Juga, sangat beragam kita baca dan mendengar kisah ibu yang bersikap kejam ke anaknya.

Padahal, di realitas sangat banyak kisah ibu yang hebat hingga mendidik anaknya dengan pengorbanan dan kerja keras. Kasih sayang ibu sangat luar biasa, karena ibu adalah pribadi yang hebat. Juga, sangat banyak anak-anak yang selalu menunjukkan kasih sayang luar biasa kepada ibunya.

Saya memiliki cerita menarik yang mungkin bisa dijadikan tauladan bagi kita.

Di sebuah perkampungan ada seorang ibu yang hidup bersama anak gadisnya . Ibu tersebut sudah lama menjanda karena suaminya meninggal akibat penyakit. Semenjak suaminya meninggal, secara otomatis kondisi ekonominya sangat pas-pasan. Sang ibu hanya bekerja jualan kue di pasar. Selebihnya bekerja serabutan. Seperti mencuci pakaian, setrika pakaian milik tetangga.

Anak gadisnya baru berusia 16 tahun, atau duduk di bangku kelas I SMA. Ketika ayahnya meninggal, dia masih duduk di bangku kelas II SMP. Dia gadis yang dewasa. Pulang sekolah langsung membantu pekerjaan ibunya. Namun demikian, prestasi sekolahnya selalu menonjol.

Ayahnya tidak memberikan warisan berupa harta melimpah. Salah satu pemberian ayahnya hanyalah jam tangan yang tidak begitu mahal. Tapi, si gadis itu selalu memakainya. Ibunya selalu menasihati agar rajin belajar dan menjaga ahlaknya. “Jaga aurat dan ahlak ya nak, karena hanya itu harga diri keluarga kita bisa terjaga.” Demikian nasihat yang selalu ibunya sampaikan.

Sang ibu walau berusia setengah baya namun masih kelihatan cantik dan segar. Salah satu yang sangat dibanggakan adalah rambutnya yang indah dan panjang hingga melewati punggungnya. Banyak para tetangga memuji rambut indahnya. Sang ibu tersebut setiap hari selalu merawat dengan senang hati.

Pulang dari pasar, sang ibu heran karena putri semata wayangnya tidak pernah lagi memakai jam tangan. “Kenapa jam tangannya tidak dipakai lagi nak?” Tanya ibunya bijak. Dengan wajah sedikit sayu si anak menjawab, “Tali jamnya putus bu, tapi saya selalu membawanya ke mana pun pergi.” Jawabnya bijak. “Sabar ya nak, kalau sudah ada duit pasti ibu belikan.” Ucapnya sambil memandang wajah manis putrinya.

Walau hidup dengan ekonomi pas-pasan, sang ibu tidak pernah terlihat mengeluh. Begitu juga dengan anak gadisnya, tidak pernah minta macam-macam kepada ibunya. Tahu betul dengan kondisi ibunya yang harus banting tulang untuk kebutuhan sehari-harinya. Keduanya hidup dengan sangat-sangat sederhana.

Sang ibu selalu memikirkan tali jam tangan anaknya yang putus. Sudah berusaha mengumpulkan duit, tapi masih belum bisa juga membelikan. Karena terbentur dengan kebutuhan lainnya. Setiap hari ibunya memikirkan. “Kasihan anakku tak bisa memakai jam tangan pemberian ayahnya, gak ada yang bisa saya jual.”ucapnya dalam hati dengan lirih.

Karena pikiran itu terus membayangi, akhirnya dia berpikiran nekat. “Saya harus menjual rambut panjangku agar anakku bisa memakai jam tangannya kembali.” ucapnya dalam hati. Pikirannya makin gelisah antara iya dan tidak. “Apa nanti kata anakku.” Bisik perasaannya makin gelisah. “Ah…ini harus kulakukan asal anakku bahagia, kan nanti bisa panjang lagi.”tekadnya makin bulat.

Akhirnya hari itu sang ibu memangkas rambutnya dan menjualnya. Uang yang didapat langsung dibelikan tali jam tangan. Sangat senang hatinya mendapat tali jam tangan. “Anakku pasti senang !!” ucapnya dengan senyum mengembang.

Pada hari itu juga, secara bersamaan si anak pulang sekolah saat melewati toko melihat ikat rambut yang sangat bagus. Si anak langsung teringat dengan rambut indah ibunya. “Alangkah cantiknya ibuku jika memakai ikat rambut itu.” Pikirnya. Tapi dia bingung karena tidak punya uang untuk membelinya. Demi untuk membahagiakan sang ibu, dia langsung teringat dengan jam tangannya yang tidak ada talinya lagi. “Sebaiknya jam tangan ini saya jual saja agar bisa membeli ikat rambut itu.” Begitu pikiran yang terlintas. “Tapi, apa kata ibuku nanti.” Lagi-lagi pikirannya gelisah antara iya dan tidak.

“Akan saya jual saja agar ibuku senang, ibuku pasti bahagia memakai ikat rambut itu.” Ucapnya makin mantap menjualnya. Saat itu juga si anak langsung menjual jam tangannya dan membeli ikat rambut untuk ibunya. Dia pulang dengan senang hati dan senyum mengembang.

Di rumah, sang ibu menunggu anaknya pulang dengan tak sabar. Ingin sekali melihat anaknya senang dengan tali jam yang baru saja dibelinya. Tali jam itu terus dipegangnya. Sebaliknya, si anak di jalan ingin cepat sampai di rumah hanya ingin memberi ikat rambut yang baru saja dibelinya. Si anak berlari hingga sampai di depan rumahnya dia setengah berteriak, “Ibu….saya membelikan ikat rambut yang indah untuk ibu, pasti ibu makin cantik memakainya.” Kata si anak girang. Mendengar sayup-sayup suara anaknya, sang ibu makin tak sabar dan langsung membuka pintu keluar sambil memegang tali jam tangan.

Betapa terjkejut si anak begitu melihat rambut panjang ibunya sudah dipotong. Si anak memeluk ibunya sambil menangis sedih. “Ibu, kenapa rambut ibu dipotong?” Tanya anaknya dengan suara tangis terisak. Sambil mengelus-elus kepala anaknya, ibunya dengan suara parau karena menagis berujar. “Anakku, tadi ibu menjualnya karena ibu ingin sekali membelikan tali jam tangan.” Mendengar penjelasan seperti itu si anak makin menjadi menangis. Dengan bijak sang ibu berusaha menenangkan. “Sudahlah nak, tak perlu menangis seperti itu, ibu janji ketika panjang nanti tidak akan menjualnya lagi, ayo masuk dulu dan sekarang pasang tali jam tangan ini agar bisa dipakai lagi.” Ucapnya sambil menuntun anaknya ke dalam rumah.

Dengan kesedihan mendalam, si anak menjelaskan ke ibunya sambil masih menangis. “Ibu, maafkan saya, karena jam tangan itu sudah saya jual untuk membelikan ikat rambut untuk ibu.” Jelas si anak sambil memeluk tubuh ibunya erat-erat. Mendengar penjelasan dari anaknya, sang ibu kembali menangis sambil makin erat memeluk tubuh anaknya. Dia pun berucap, “Ibu bangga denganmu nak, ibu sangat memaafkan, ayahmu pasti bangga dengan kemuliaan ahlakmu dan kesih sayangmu kepada ibu.” Sahutnya dengan suara lirih sambil mengelus-elus punggung anaknya.

Cerita ini hanya imajinasi saya saja. Maafkan jika ada pendramatisiran cerita. Namun, bentuk kasih sayang antara ibu dan anak seperti itu masih sering kita jumpai. Walau tidak sama persis dengan cerita tersebut, tapi nilai pengabdian dan pengorbanannya sama hebatnya.

Tidak ada komentar: