(Catatan Anekdot Mahmud Syaltut Usfa)
Sore itu langit Kota Batam sedikit mendung. Di sebuah kawasan Jodoh nampak kedua laki-laki setengah baya sedang berbicara akrab. Penampilan keduanya jauh dari potongan orang kota. Dari logat bicaranya ternyata keduanya berasal dari daerah berbeda. Satu dari Madura dan satunya dari tanah Batak.
Gaya bicaranya medok sesuai asal daerahnya masing-masing. Dan lebih parahnya lagi, keduanya sama-sama hancur berbahasa Indonesia. Entah gak pernah sekolah atau memang gak biasa berbahasa Indonesia, kok berantakan betul ngomongnya.
Percakapan dimulai dari orang Madura dengan menanyakan pekerjaan temannya yang dari Batak itu. “Perbuatanmu di mana sekarang?” ujarnya memulai pembicaraan. “Oo…pekerjaan saya di panjaitan.” jawab temannya santai. Mendengar temannya kerja sebagai penjahit, orang Madura tersebut merasa senang. “Wah…kebetulan, celana saya robek, berapa ya tarifnya.” tanyanya lagi. Lagi-lagi dengan santai Si Batak menjawab “Bergantung robeknya, kalau cuma sedikit ongkosnya napitupuluan tapi kalau parah bisa pangaribuan.” jawabnya serius.
Si Madura tersebut sangat senang. Dia janji akan segera ke rumah temannya membawa celana yang robek. Tapi, dia tidak tahu tempat tinggal temannya sekarang ini. “Rumahmu di mana sekarang?” tanyanya. Dengan serius temannya yang asli Batak itu menjelaskan. “Rumah saya gak jauh dari sini, jalan sazja lurus dekat pasaribu..persis di sebalah tambunan-tambunan sampah….”
Belum selesai menjelaskan, teman Maduranya langsung memotong…”wah…kalau begitu jalannya banyak kenaikan?” sambutnya. “Iya…”jawab si Batak sambil melanjutkan..”Jalannya tidak hanya menaik…tapi juga manurung ke bawah, aku tinggal di rumah liar, makanya kalau ke rumah harus melewati pohan-pohan dan juga tobing-tobing bangunan yang belum selesai.” Jelasnya lagi sangat serius.
Dalam pembicaraan keduanya nampak sangat enjoy dengan bahasa amburadulnya masing-masing. Si Madura banar-benar penasaran alamat rumah temannya itu. Dia menceritakan kalau sekarang dia tinggal di daerah yang jauh dari kota. “Jadi sekarang kau tinggal di mana? Tanya Si Batak langsung menyambar. “Dari sini bisa naik busway.” Sahut Si Madura enteng.
“Tapi macam mana perjalanannya susah gak naik busway? Saya gak suka kalau berbutar-butar, apalagi aku pernah kejadian ada pencopet mau ngambil duit aku, untung ketahuan dan aku keluarkan pisau…eh…taunya pisau yang aku bawa sitompul, aku langsung lari sitanggang-tanggang.” Jelasnya serius sambil sesekali tersenyum geli.
Mendengar cerita temannya itu, si Madura berupaya mayakinkan kalau perjalanan ke rumahnya aman. “Jangan gentar, tidak berputar-putar…hanya kadang buswaynya penuh.” Sahutnya, sambil dia menceritakan pengalamannya naik busway. “Aku pernah naik busway penumpangnya penuh, aku sampai marah-marah ke sopirnya.” Katanya sambil berpikir kenangannya. “Memang kenapa rupanya kau marah-marah?” Sahut si Batak penasaran. Kemudian si Madura menceritakan kejadiannya…”Bagaimana gak marah…saya ini naik busway mulai kenaikan sampai keturunan tidak mendapat kedudukan…eh…sama sopirnya diturunkan di tanah air.” Jelasnya dengan nada sedikit emosi.
Mendengar pengalaman temannya seperti itu Si Batak malah tertawa. “Haha…jadi kau mulai naik sampai turun tidak dapat tempat duduk, terus sama sopirnya diturunkan di tanah yang becek…kasihan deh loe.” Sahutnya sambil terus tertawa. Si Madura lama-lama tersenyum juga mengingat pengalamannya.
Di ujung percakapan, si Madura mempersilahkan teman lamanya itu mampir ke rumahnya. “Aku juga tinggal di rumah liar tapi di bukit.” Ujarnya dengan nada mengajak. Si Batak menyambut senang hati “Wah…kalau begitu di tempat kau udaranya siregar.” Ucapnya yang diangguki setuju oleh si Madura.**
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar