Catatan Lepas Mahmud Syaltut Usfa
“Seorang pemimpin harus konsisten.” Kalimat seperti itu sering kita dengar. Sebab katanya, pemimpin yang tidak konsisten berarti plin-plan. Apa benar? Terus terang kalimat itu malah mengusik pemikiran saya. Karena konsisten kerap disalah artikan, sehingga penerapannya malah kaku. Bahkan membuat situasi menjadi kacau.
Coba kita pikir, Nabi Adam dikeluarkan dari surga bukan karena tidak konsisten. Tapi disebabkan tidak mampu bersikap bijak kepada istrinya, Hawa. Ketika Adam merasa kesepian, dia meminta teman. Kemudian Allah menciptakan Hawa yang diambil dari tulang rusuknya. Ini sebagai isyarat bagi Adam agar dirinya bijak kepada wanita. Atau dengan kata lain, menjadi pemimpin itu harus bijak.
Kala itu, Adam konsisten dengan pendiriannya untuk tidak makan buah khuldi. Tapi di sisi lain Hawa juga konsisten ingin memakannya. Karena Adam tidak bijak, maka terjadilah pelanggaran.
Begitu juga dengan setan. Diusir dari surga bukan karena tidak konsisten kepada Allah, melainkan disebabkan tidak bijak kepada Allah. Sehingga dirinya termakan kesombongan. Ketika disuruh sujud kepada Adam, setan berkata “Pantaskah aku sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah? Aku lebih baik dari Adam, karena aku diciptakan dari api dan dia dari tanah.” Betapa tidak bijaknya setan sehingga mengeluarkan kata-kata sombong seperti itu. Sampai sekarang setan konsisten, karena dia tidak bisa bijak. Akibatnya, kita malah jadi korban konsistennya setan.
Lain lagi dengan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketika Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih putranya (hanya lewat mimpi) dia bersikap sangat bijak. Disampaikan dengan cara dialog kepada Ismail. Di situlah bapak dan anak ini kecerdasan emosionalnya sangat matang. Ismail begitu bijak menyikapi perintah Allah. Bijak, telah mengantarkan sikap konsisten keduanya. Triggernya adalah keimanan.
Konsisten jika tidak diikuti dengan jalan bijak akan membuat situasi morat-marit, kaku, bahkan menjadi lelucon. Saya jadi teringat dengan ponaan yang masih berumur dua tahun. Jika ditanya, “Berapa usianya?” dengan tegas dia bilang “Ua (Dua)” jawabnya dengan lidah cedal. Tentu dia tidak tahu dari mana angka ‘dua’ didapat. Saya jadi berpikir, kalau dia konsisten sampai tahun depan bisa-bisa menjadi lelucon.
Sama seperti cerita seorang sufi bernama Nasruddin, ketika ditanya, “Berapa usia kamu sekarang?” Dengan tegas Nasruddin menjawab, “Usiaku 40 tahun.” Si penanya malah bingung, “Lho tahun kemarin kamu menjawab 40 tahun, kok sekarang tetap sama?” tanyanya heran. Nasruddin malah menjawab “Iya, sebab aku konsisten.” Ujarnya enteng.
Dalam menempatkan konsisten yang menjadi pengendalinya adalah ‘bijak’. Tanamkan rasa bijak terlebih dahulu, baru terapkan secara konsisten. Dengan ‘bijak’ maka konsisten bisa berjalan lentur. Seorang atasan yang hanya berbekal konsisten namun tidak bijak, hanya akan membuat anak buahnya kendor motivasinya. Bisa dirasakan, betapa ‘sumpeknya’ anak buah jika melihat atasan marah-marah karena alasan konsisten dengan keputusannya.
Lantas, bijak itu seperti apa? Saya tidak akan mendefinisikan. Pasti Anda lebih tahu jawabannya. Tapi, saya jadi teringat ketika masih kecil, sering melihat ibuku yang membuat dodol. Saat itu, ibuku tidak mau beranjak dari dapur karena harus menunggui dodol yang dimasak di tungku api.
“Lho, kenapa gak ditinggal saja?” pikirku saat itu. Saya sampai kasihan dengan ibuku jika mengingatnya. Karena sebentar mengaduk, sebentar dibiarkan. Hal itu terus dilakukan sampai dodol matang. Ternyata, setelah saya dewasa baru tahu kalau membuat dodol itu harus ‘bijak’. Karena jika terus diaduk, maka dodol akan lengket menyatu seperti bubur. Tapi apabila kurang ngaduknya, pasti dodol akan banyak tutul-tutulnya karena kurang matang.
Saya jadi berpikir, coba saja saat itu ibuku konsisten mengaduknya, pasti dodolnya menjadi bubur. Tapi sebaliknya, jika konsisten dibiarkan, pasti dodolnya berkerak. Mudah-mudan saya bisa menempatkan konsisten di atas jalan bijak.
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar