Opini Batam Pos (Written by Mahmud Syaltut Usfa S.Psi , Monday, 05 April 2010)
(Penulis adalah Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)
Definsi serta penerapan anak Taman Kanak-kanak diberikan pekerjaan rumah (PR) masih sering terjadi perbincangan serius. Bahkan perdebatan antara wali murid dengan orangtua siswa. Alasannya sangat klise, anak TK tidak boleh ‘dibebani’ dengan PR. Arugumennya, karena belajar di TK masih sebatas bermain dan bukan belajar formal.
Kita sudah tahu, pandangan selama ini Taman Kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di Taman Kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak. Kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Bahkan ada pandangan lebih ekstrim lagi, anak TK belum saatnya diajari membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Karena akan membebani otaknya. Akibatnya, anak menjadi ‘alergi’ dengan pelajaran setelah duduk di bangku SD. Sebenarnya, biang persoalannya adalah perbedaan dalam mendefinisikan ‘arti belajar’. Belajar kerap diistilahkan mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi.
Memberikan PR kepada anak TK dengan alasan sebagai upaya menciptakan kesadaran sah-sah saja. Tidak hanya itu, anak juga merasa memiliki tanggung jawab, bahkan punya eksistensi kalau dirinya sudah sekolah TK. Contoh, di sekolah keponakan saya (salah satu sekolah favorit di Pinang) setiap minggu diterapkan PR satu mata pelajaran.
Dia sama sekali tidak terbebani. Justru ketika diajak jalan-jalan masih sempat bilang “Tunggu dulu mau mengerjakan PR sebentar.” Bukan beban yang dirasakan, justru tertanam rasa tanggung jawab. Bahkan rasa bangga karena sudah sekolah. Jangan-jangan justru orangtua yang merasa terbebani?
Hanya yang menjadi persoalan adalah metodenya. Jika PR diberikan setiap hari, apalagi dengan target-target tertentu, pasti akan menjadi beban bagi anak. PR cukup sebagai tugas, bukan sebagai beban. Apalagi sampai diberi punishment (hukuman), jika tidak mengerjakan PR maka harus berdiri di depan kelas, misalnya.
Sebenarnya, yang menjadikan rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum adalah Teori psikologi perkembangan Jean Peaget. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Sehingga dipandang tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Jangankan ingin mencerdaskan anak, akhirnya malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka masuk SD.
Namun, model belajar konvensional di TK malah menjadi persoalan sendiri bagi orangtua saat ini. Karena untuk masuk sekolah di SD favorit harus melalui tes seleksi. Standarisasi tesnya pun sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, tes kemampuan bahasa inggris. Bayangkan, bagi anak yang ketika di TK belum dipelajari calistung, pasti tidak bisa mengerjakan tes.
Di sekolah kami misalnya, ada beberapa orangtua yang anaknya tidak lulus tes masuk mempertanyakan alasannya. Setelah kami jelaskan, mereka balik mempertanyakan, “Kenapa standarisasinya tinggi, bukankah wajar kalau anak baru lulus TK belum bisa membaca, menulis, dan berhitung?”.
Persoalan ini menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai diajarkan pada tingkat pendidikan SD. pada perkembangan terakhir, hal itu menimbulkan sedikit masalah. Ini sangat realitistis, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Rata-rata materi pelajaran kelas satu sudah diajarkan soal cerita, mengarang. Juga membuat analisa sederhana dari sebuah peristiwa. Apalagi seperti di sekolah kami yang mematok target prestasi menuju sekolah Islam bertaraf internasional.
Bisa dibayangkan, bagaimana bisa mencapai target tersebut jika seleksi awal tidak memenuihi standar. Sekali pun kurikuklum dan metode belajarnya bagus, guru-gurunya berkualitas, dan infastrukturnya lengkap namun inputnya lemah, maka akan kesulitan menghasilkan output sesuai dengan standar.
Akhirnya kami bisa memahami jika muncul kekhawatiran para orang tua. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak naik kelas”, “tidak lulus”, kini semakin menakutkan. Sebab akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Mau tak mau sekolah-sekolah TK harus berani melakukan inovasi metode belajar. Hingga akhirnya, metode belajar pakem yang konotasinya anak TK hanya belajar bernyanyi dan bermain lambat laun dinilai tidak efektif lagi.
Beberapa anak mungkin berhasil menguasainya, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu, wajar jika sekolah TK jika ingin maju harus terus berani dan cerdas melakukan pengembangan. Termasuk menerapkan PR selagi tidak dijadikan beban kepada anak.
Bagaimana jika anak yang usianya sudah memasuki wajib belajar namun belum bisa membaca?.
Jangan khawatir. Beberapa literatur menunjukan, bahwa tidak ada jaminan anak yang lebih dahulu bisa membaca akan lebih sukses di masa depan daripada mereka yang terlambat. Banyak tokoh sukses yang justru terlambat membaca. Tentu saja mereka tidak bisa menjadi patokan mutlak.
Di buku Right Brained Children in a Left Brained World disebutkan, tokoh-tokoh seperti Albert Einstein, George S. Patton, William Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. Anak-anak di Rusia misalnya, baru membaca di usia 7 tahun, tapi mereka cerdas-cerdas.
Melihat realitas seperti itu, tentu harus disikapi dengan bijak. Setiap pertemuan dengan guru dan Kepala TK pihak Dinas Pendidikan selalu mengingatkan agar tidak mengajarkan calistung. Tetapi tidak pernah melarang sekolah SD untuk melakukan tes kepada calon muridnya.
Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi sebagai bahan kajian bagi Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang kompeten. ***
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
1 komentar:
Casinos near Casino Lake Tahoe - JT Hub
The following five 강릉 출장샵 casino hotels are 출장마사지 near Casino Lake 의정부 출장안마 Tahoe: MontBleu, 아산 출장샵 Paradise Lake, South Lake Tahoe, Lake Tahoe, Lake Tahoe, South Lake Tahoe, and Lake Tahoe. 고양 출장마사지
Posting Komentar