Batam Pos, Sabtu, 11 Juli 2009
Mahmud Syaltut Usfa S.Psi
(Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam)
Tindak kekerasan guru terhadap siswa sering mewarnai lembar pendidikan kita. Termasuk di tingkat pendidikan dasar (SD). Banyak guru tidak sabar menghadapi ulah anak didiknya. Padahal, semua guru pasti ingin mendidik siswa-siswinya dengan baik. Tetapi menghadapi sikap, perilaku, dan kepribadian anak berbeda-beda membutuhkan kesabaran tinggi.
Kondisi yang merepotkan guru adalah ketika menghadapi anak kurang disiplin. Tapi mau ditegaskan malah tersandung dengan persepsi yang sudah melekat di pikiran kita “namanya saja anak-anak”. Pandangan seperti itu terkadang menjadi sebuah “toleransi” ketika akan menegakkan aturan kepada anak-anak. Akibatnya, sikap dan perilaku anak malah dalam posisi salah bentuk.
Terlebih menghadapi anak yang dicap sebagai “si nakal” di sekolah. Adakalanya orangtua serta guru serba salah ketika harus memberi sanksi atau hukuman. Karena khawatir mengarah kepada tindak kekerasan. Tapi jika secara lembut malah tidak membuat perilaku anak berubah.
Dalam mengendalikan perilaku anak ada dua figur penting yang mempengaruhi. Yaitu, figur orangtua dan guru. Keduanya saling mendukung dalam memberi energi postif terhadap emosi dan kognisi anak. Hal mendasar adalah menciptakan kepercayaan (trust) pada pribadi anak.
Cara yang paling sederhana membentuk kepercayaan adalah dengan sentuhan fisik. Ini sangat halus, lembut, sederhana tapi membutuhkan keihlasan. Melalui sentuhan akan tercipta ikatan emosional, sehingga terbentuklah trust. Dari kepercayaan akan timbul kelekatan emosional (attachment).
Orangtua sangat penting membiasakan sentuhan, minimal sebelum anak berangkat sekolah. Bersalaman kemudian memberi ciuman (kecupan) merupakan pembiasaan yang sangat bermakna.
Ada hasil penelitian yang spektakuler mengenai pengaruh ciuman seorang ibu. Seorang anak yang diberangkatkan ke sekolah oleh sang ibu dengan kecupan sayang, ternyata memberi dampak luar biasa terhadap prestasinya. Kecupan tersebut mampu meredam kemarahan untuk berkelahi di sekolah daripada mereka yang diberangkatkan oleh baby sitter (pembantu).
Sangat disayangkan apabila orangtua tidak sempat melakukan itu dengan alasan tidak ada waktu. Apalagi semuanya diserahkan kepada pembantu, dan di sekolah dipandang hanya menjadi tanggung jawab guru.
Begitu juga sebaliknya, guru harus intens memberi sentuhan kepada anak didiknya. Mulai menyambut dengan salaman ketika anak tiba di sekolah. Satu persatu kepada siswa. Bukan sebaliknya, siswa yang menyambut guru kerena sang guru datangnya terlambat. Anak pasti sangat senang menyambut guru tapi akan lebih bangga lagi apabila disambut guru dengan salaman.
Sentuhan akan mengalirkan ikatan emosional. Apabila setiap hari dilakukan, maka akan menyambungkan ikatan kepercayaan. Model sentuhan lain yang juga sangat sederhana tapi memiliki makna dalam adalah dengan mengelus-elus punggung anak. Sentuhan ini mampu memberi rasa percaya diri, tanggung jawab, ketenangan serta semangat ke anak.
Cara lain adalah dengan membelai kepala. Dengan melakukan belaian membuat anak merasa dihargai, mendapat kepercayaan dan tidak merasa dipersalahkan. Sentuhan yang juga sangat sederhana dilakukan ke anak adalah mendekap kepalanya ke dada sebelah kiri. Ketika anak merasa bersalah, menangis dan down, dekaplah erat-erat sampai merasakan dengup jantung. Seketika anak akan “bernostalgia” saat berada di dalam rahim ibunya. Akan merasa tenang dan aman. Sehingga mampu menghilangkan rasa cemas, takut dan marah.
Tidak musthail, jika sentuhan sederhana tersebut diterapkan mampu meredam tindak kekerasan guru terhadap siswa. Kekuatan sentuhan sangat dahsyat. Sudah banyak hasil penelitian membuktikan pengaruhnya.
Seorang psikolog Eropa pernah melakukan penelitan terhadap dua simpanse. Simpanse yang satu tidak penah dilus-elus, dibelai dan diajak berkomunikasi. Sedang satunya setiap hari dibelai, dielus-elus, diberi sentuhan fisik dan diajak ‘bicara”. Hasilnya, ada perbedaan sangat mencolok. Simpanse yang tidak pernah diberi sentuhan fisik menjadi liar, garang dan ganas. Tapi sebaliknya, yang diberi sentuhan dan kasih sayang menjadi sangat penurut dan patuh kepada pemiliknya.
Seorang Australia memiliki pengalaman lain yang cukup unik. Katanya, sapi yang diperah susunya dengan menggunakan tangan si peternak (diperah secara manual) lebih banyak mengeluarkan susu daripada sapi yang diperah dengan mesin pemerah.
Begitu dahsyatnya pengaruh sentuhan ini. Jangankan terhadap manusia yang memiliki elemen psikologis sempurna, kepada hewan saja pengaruhnya luar biasa!. Rasa percaya anak yang sangat besar membuat mereka gampang diarahkan.
Sekalipun diberi sanksi saat melakukan kesalahan tetap tidak akan menyalahkan guru. Dalam dirinya tidak akan muncul rasa benci, takut (trauma) kepada guru. Melainkan timbul kesadaran bahwa dirinya diberi sanksi karena kesalahannya, bukan karena guru membenci dirinya!.
Sangat berbeda dengan guru yang tidak memiliki ikatan emosional kepada anak didiknya. Kepercayaan sangat rapuh. Apabila guru memarahi akan dinilai sebagai guru yang galak. Jangan heran jika akhirnya anak menjadi bandel, selalu melawan. Bahkan, jika dimarahi akan mengulang lagi perbuatannya.
Ketika guru malarang anak dengan kalimat ”jangan” justru ditanggapi sebagai tantangan. Kalimat ”jangan” dijadikan kesempatan untuk mendapat perhatian. Contoh, ketika anak dilarang naik pohon ”jangan naiki pohon itu!” anak bukan turun, malah naik lebih tinggi lagi.
Di sinilah pentingnya membangun”trus” terlebih dahulu dengan fondasi ikatan emosional, selanjutnya baru diberi teguran atau sanksi apabila melakukan kesalahan agar perilakunya terarah.
Dalam membangun attachment tak perlu mengganggu pekerjaan di sekolah. Cukup dengan memanfaatkan sebaik mungkin waktu luang yang ada bersama anak didik. Memberi sentuhan bisa dilakukan setiap saat. Guru, yang tidak mau menyempatkan memberi sentuhan akan menciptakan jarak emosional. Apalagi jika anak dibuat merasa segan bertemu guru sama halnya menjauhkan rasa kepercayaan.
Sentuhan fisik adalah bahasa cinta yang paling mudah digunakan tanpa syarat, sebab orangtua atau guru tidak perlu mencari kesempatan khusus ataupun alasan apabila hendak melakukan kontak fisik. Bahasa sentuhan tidak terbatas pada pelukan dan ciuman saja, tetapi segala jenis kontak jasmani. Semoga bermanfaat.***
Selanjutnya......