Esai Mahmud Syaltut Usfa (Telah dimuat di Batam Pos, Minggu 8 Februari 2010)
“Aku berdiri atas nama kata-kata
Berbaris di garis depan nurani
Berteriak pada hati
Memeras kegelisahan
Sekali pun tirani menyeret lidahku”
Sepenggal syair yang saya buat di atas hanyalah salah satu luapan ekspresi jiwa, betapa mendalam kata-kata memaknai suara hati.
Sungguh luar biasa kekuatan kata-kata dalam suatu syair. Lembut tapi deras mengalir bagai air, menyebar bagai debu yang siap menerjang ke seantero jagad publik. Pada zaman Orde Baru penyair masih dipandang sebagai “duri” yang banyak mengkritik pemerintah. Banyak penyair yang dibungkam karya-karyanya. Bahkan, mereka harus siap dijebloskan ke penjara. Tak heran kalau akhirnya muncul penyair-penyair idealis, berani, dan bersuara jujur dari hati nuraninya. Bagi yang tidak berani, harus ihlas mengubur karya-karyanya.
Kekuatan tulisan mereka lahir dari hati nurani, bukan sekadar berlandaskan emosional. Juga bukan lahir dari sebuah konspirasi untuk menzalimi penguasa. Idealis kokohnya bersumber pada keteguhan hati. Syair memang subjektif namun objektif dalam memotret realitas.
Penguasa yang merasa “diusik” sangat geram, karena para penyair idealis dinilai terlalu lancang dan banyak mulut. Berbagai cara dilakukan untuk membungkam “celotehan” syairnya. Misalnya menawarkan harta serta kedudukan. Jika bergaining tidak mempan, ujungnya adalah rekayasa pembunuhan.
Praktik pembunuhan kepada para panyair sering kita dengar. Misalnya, pada masa Orde Baru menimpa penyair Wiji Thukul dari Solo yang hilang tak tentu rimbanya. Almarhum WS Rendra juga langganan berurusan dengan tirani penguasa.
Teror terhadap para penulis dan penyair memperlihatkan kekuatan kata yang tidak bisa diremehkan. Kata dalam kehidupan yang oleh Napoleon Bonaparte pernah disebut sebagai lebih berbahaya daripada bedil. Tidak hanya di Indonesia, praktek begini pun juga terjadi di berbagai negara. Misalnya, penikaman di tengah siang bolong terhadap sastrawan Naguib Mahfouzdi di sebuah jalan Kairo ketika sedang kembali ke rumahnya.
Kekuatan sastra dan kata juga kembali menampakkan diri ketika misi delapan penulis ke daerah otonom ditahan oleh pemerintah Israel. Ketika pengarang Portugis, Saramago, yang turut dalam delegasi tersebut membandingkan Ramallah dengan Auschwitz, pernyataan yang kemudian dikenal dengan "Peristiwa Saramago".
Kekuatan kata dan sastra ini pun nampak dari pembunuhan Cak Durasim, pemain ludruk dari Surabaya oleh pemerintah militerisme Jepang pada masa Perang Dunia II karena ucapan seniman ludruk itu:
"pagupon umahe doro/melu nippon tambah sengsoro". (Ikut Jepang tambah sengsara)
Kejadian-kejadian di atas menunjukkan besarnya pengaruh kata dan sastra. Pada saat ini hampir tidak pernah terdengar kekuatan syair yang “menggigit kuping” pemerintah. Sejak terbukanya pintu reformasi terkesan kritikan penyair sudah tumpul. “Kalau hanya mengkritik pemerintah tak perlu suara penyair, tukang becak saja berani” begitu sindiran masyarakat saat ini.
Kelahiran reformasi membuat para penyair ibarat burung perkutut yang dilepas dari sangkarnya. Ketika masih dalam kandang suaranya dipuji habis-habisan. Sangkarnya terjaga, tubuhnya dirawat, dan makanannya diperhatikan. Tidak perlu susah-susah cari makan, hanya modal suara merdu dijamin dieluk-elukkan, dimanjakan sang majikan.
Tapi begitu pintu kebebasan dibuka lebar-lebar, suaranya sudah tak semerdu dulu lagi. Sama saja dengan burung-burung lainnya. Tidak ada yang menyanjung, tepukan gempita sudah tak terdengar lagi. Jangan harap makanan akan dihantar, silahkan cari sendiri di tengah luasnya hutan.
Sekarang rangkaian kata-kata hanya sebuah seni. Pejabat yang dulu sering dikritik, malah sekarang juga asyik membuat syair tentang keadilan. Era sudah berubah !! Begitu pandangan yang paling tepat saat ini. Para penyair perlu mengorganisasi diri, agar syair menjadi lebih efektif lagi dalam menciptakan pendapat umum yang bebas. Dari sini kita perlu melihat peranan seniman yang berdaulat di hadapan kekuasaan mana pun.
Kita tentu sangat sepakat “Syair bukan hanya soal kritik”. Namun, sebagai seniman pastinya memiliki kepakaan dalam memotret realitas kehidupan. Juga tidak hanya memotret kebijakan pemerintah yang salah kaprah, tapi juga memotret tentang cinta, jiwa, serta seluk beluk hati manusia.
Syair bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Ada kekuatan yang bersumber dari kesucian hati. Kejujuran adalah modal pokok. Syair tetaplah kata-kata dahsyat. Tidak akan lenyap dari peredaran zaman apa pun. ***
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar