Sabtu, 13 Maret 2010

Ketika Sang Malam Menyandarkan Cinta

(Catatan Hati Mahmud Syaltut Usfa)

Cinta mengisahkan sejuta suka. Tapi, sejuta luka juga kerap mengiris hati. Tatapan cinta seruncing busur panah Rahwana, dan setajam pedang Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Bila kebahagiaan menghampiri membuat jiwa mabuk kepayang. Terkadang diri harus disingkirkan. Sebaliknya, ketika hati terluka, diri terasa hina bagai sampah terbuang di mata dunia.

“Datanglah untuk tidak terbuang
Malang hati di ambang sengsara
Tak elok membuang rasa saat hati teriris
Cinta memuliakan diri, bukan menistakan”

Banyak kisah cinta yang sudah melegenda di dunia. Sebut saja kisah Qais dan Laila, Sampek Engtay, Romeo & Juliet, dan seabrek kisah romantis lainnya. Belum lagi yang datang pada zaman berbeda. Semua kisahnya adalah legenda lara hati dalam perjalanannya. Sementara yang berujung bahagia kadang luput dari legenda zaman.

Cinta tak akan binasa sekalipun zaman berubah warna. Kesetiaan adalah kunci hidupnya cinta. Allah yang mendatangkan cinta sebagai mawaddah werahmah. Kita sebagai hamba wajib menjaga keluhuran cinta.

“Wahai yang Maha Pengasih
Raja Diraja Para Pecinta
Engkau yang menganugerahkan cinta
Aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja “Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa, sehingga, sekali pun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.”

Cinta adalah proses. Butuh ketegasan mengungkapkannya. Berbelit-belitnya cinta karena kuatnya unsur subjektif. Sekalipun tanda-tanda sudah sangat jelas, tetap saja hati risau mengungkapkan dengan kata tegas. Apa sih susahnya mengatakan “Aku cinta padamu”. Kita hanya menunggu jawaban “Iya” atau “Tidak” maka semua akan selesai. Karena cinta adalah kesepakatan. Tapi nyatanya tak semudah itu!! Justru prosesnya yang membuat perjalanan cinta menjadi indah, walau harus rumit.

“Saat cinta datang siapkan pedang di sayapnya agar bisa menghunus kegelisahan”

Dimulai dari rasa. Bisa pandangan, sikap, rasa simpati, pertemanan, atau bermula secara kebetulan. Bermacam latar belakang bisa melahirkan rasa cinta. Selanjutnya muncul getaran hati. Kadang mata tak melihat tapi hatinya menatap. Telinga bagai tak mendengar tapi hatinya menyimak.

“Getaran itu bukan nada hati biasa
Menjalar guncangkan rasa
Hati berdetak teramat dahsyat
Lidah membisu terkunci perasaan
Hanya hati yang berjalan menuntun gelisah”

Cinta ada manakala kejujuran tersadar. Saat hadir serahkan pada logika untuk meluruskan perasaan. Jika tidak segera diluruskan, siap-siaplah kehilangan kesempatan. Cinta butuh ketegasan, tidak bisa terus menerus menyimpannya dalam terangnya hati. Bisa-bisa semua yang terang akan kembali ke ruang gelap.

Betapa berat memulai jika perasaan terus menerus menghitung logika. Terbukalah!! tak perlu menjaga gengsi siapa yang harus memulai. Bermain kata-kata hanya akan menghambarkan perasaan cinta. Apalagi hanya berharap dari permainan kata.

“Saat kata-kata berbaring di antara tumpukan harapan
Hati tak henti-hentinya mengelus kesabaran

Syairku sudah berlabuh di ujung do’a
Mungkin saja sudah terhempas diterjang risau

Entah di mana nadanya
Mungkin saja pergi bersama gelisah”

Apalah artinya cinta itu hadir jika harus disembunyikan di ruang kegelapan. Padahal di ruang hati sangat benderang menyambut datangnya kebahagiaan. Kegelisahan dan menyembunyikan kejujuran adalah sebuah penyiksaan hati. Takdir terkadang harus disalahkan karena dipandang tak berpihak pada hati. Padahal, jika hasrat tak mampu ditundukkan hati, akan menjadikan lupa akan hakikat hidup kita sendiri.

“Pada detik ini lidahku tak mampu mengucapkan “Aku jatuh cinta padamu” tapi pada detik kemarin qalbuku berulang-ulang berucap “Aku jatuh cinta padamu”.

Aku bukan Qais yang mampu menjadikanmu Laila. Aku bukan Romeo yang sanggup mewujudkanmu Juliet. Aku hanya laki-laki yang punya hati. Cinta bisa datang dan pergi kapan saja walau tak dikehendaki. Aku bukan Qais, juga bukan Romeo, tapi perasaan cintaku setahta dengan sang legenda cinta itu.






Tidak ada komentar: