Opini Batam Pos, Ditulis oleh Mahmud Syaltut Usfa S.Psi, Rabu, 19 May 2010
Hidup harus dinamis. Kita bisa dinamis apabila ada keinginan kuat untuk berubah ke arah lebih baik. Perubahan laksana gerak air di sungai. Selalu mengalami pergerakan ke arah perubahan. Bahkan, di dalam kehidupan ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan. Sekarang ini banyak pemimpin atau calon pemimpin mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan. Salah satu harapannya bisa melakukan perubahan terhadap bawahannya. Dan akhirnya berdampak perubahan pada instansi atau perusahaan.
Seorang yang berambisi menjadi pemimpin kerap terlalu berlebihan megampanyekan diri. Isu yang selalu diusung adalah perubahan. Terkadang terlalu kelakar, ingin merubah ini dan itu, sampai-sampai yang sudah benar juga ingin dirubahnya. Silahkan saja, itu memang hukum dalam kampanye. Asal, jangan terlalu bermimpi untuk merubah orang lain tanpa mau merubah diri sendiri. Apalagi dalam skala besar. Perlu diingat, perubahan sosial takkan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian.
Melakukan perubahan dibutuhkan motivasi kuat serta konsistensi tinggi terhadap diri sendiri. Mustahil mampu merubah orang lain jika tak sanggup merubah diri sendiri. Di sinilah perlunya inferiority, yaitu menantang dirinya untuk maju, membentuk kembali, bahkan mengubah hidupnya. Biasanya saat muncul motivasi tersebut, maka akan lahir trigger. Trigger (pemicu) ini memiliki peran penting sebagai pemberi semangat melangkah menuju perubahan. Misalnya dengan terus berpikir positif
”Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak,” Muncul kepercayaan tinggi kalau dirinya pasti bisa berubah, ”Saya pasti bisa!! Semangat!!” Dan berbagai kalimat-kalimat pemicu lainnya.
Saya jadi teringat tulisan di sebuah pemakaman di Inggris, kalimat yang sangat dalam maknanya. Kalau diartikan secara bebas begini artinya:
”Saya pernah memiliki cita-cita menjadi presiden, agar bisa melakukan perubahan di negeriku. Tapi, ternyata negeriku sudah mengalami kerusakan sangat parah. Tak mungkin mampu dilakukan perubahan. Akhirnya kuturunkan cita-citaku menjadi gubernur. Dengan harapan bisa melakukan perubahan di provinsi. Sayang sekali, aku rasanya tak mungkin mampu karena di provinsi juga mengalami kerusakan parah.
Terpaksa cita-citaku kuturunkan ingin menjadi wali kota. Harapannya bisa segera merubah kotaku yang makin tak tertata. Lagi-lagi kotaku sangat parah kerusakannya. Aku takkan mungkin sanggup merubahnya. Akhirnya citaku-citaku kuturunkan lagi untuk melakukan perubahan di keluargaku. Sama juga, keluargaku sangat berantakan. Sulit bagiku melakukan perubahan. Dengan terpaksa kuturunkan lagi cita-citaku. Aku hanya bercita-cita melakukan perubahan pada diri sendiri.
Akhirnya aku berpikir, andai saja dari dulu bercita-cita merubah diri sendiri, pasti bisa melakukan perubahan di keluargaku. Dan akhirnya bukan tidak mungkin aku mampu merubah kotaku. Juga sangat mungkin aku bisa merubah provinsi. Bahkan, bukan sesuatu yang mustahil pada akhirnya aku juga bisa merubah negeriku”.
Luar biasa kalimat tersebut. Jika kita betul-betul berniat melakukan perubahan ternyata sangat mudah sekali. Tidak perlu menunggu memiliki jabatan. Cukup dimulai dari sendiri. Sederhana sekali bukan? Melakukan perubahan harus dilandasi sebagai kebutuhan. Bukan sekadar keinginan. Apalagi hanya sebagai pemanis belaka. Kebutuhan menjadi satu dimensi penting dari kepribadian. Kebutuhan dapat digolongkan, bisa agresif, pasif atau dipelihara. Kebutuhan yang digerakkan termasuk kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai otonomi dan untuk memelihara tatanan.
Kebutuhan menjadi suatu dimensi penting dalam kepribadian seseorang terhadap kemampuan melakukan perubahan. Paling tidak, memiliki kepribadian yang inovatif. Dengan ciri, muncul kebutuhan sangat besar terhadap otonomi dan keteraturan, pemahaman sendiri yang memungkinkannya tegas terhadap orang lain, kebutuhan yang sangat besar untuk memelihara dan memikirkan kesejahteraan orang lain maupun kesejahteran dirinya sendiri.
Hal ini sangat berbeda dengan kepribadian otoriter. Kepribadian otoriter membayangkan lingkungan sosialnya kurang teratur dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tak yakin bahwa ia dinilai oleh lingkungan sosialnya. Ia membayangkan kekuasaan lebih sebagai fungsi dari posisi yang diduduki seseorang, ketimbang sebagai fungsi prestasi yang dicapai seseorang.
Kuncinya adalah mengkoordiner suatu keinginan kuat sehingga membentuk suatu sikap ke arah lebih baik. Sekarang ini banyak pemimpin dengan cemerlang melakukan perubahan terhadap bawahannya. Namun, tak mampu merubah mental dirinya sendiri. Akibatnya, muncul kasus korupsi, skandal perselingkuhan, dan sebagainya. Bahkan, tak mampu melakukan transformasi mental saat jabatannya harus merosot. Ini akibat perubahan tidak dilakukan secara sistematis terkait kebutuhan pribadinya. Kesadaran triggernya begitu lemah.
Pada intinya, jika kita menginginkan suatu perubahan harus dilakukan secara kesadaran penuh. Sehingga menjadi kebutuhan pribadi sendiri. Kalau hanya sibuk menuntut orang lain berubah, maka akan membuang kesempatan bagi diri sendiri. Apalagi perubahan hanya sebatas serimonial belaka, sangat mustahil bisa melakukan perubahan secara besar.
Salah satu gagalnya melakukan perubahan pada diri sendiri disebabkan terlalu sibuk menuntut orang lain berubah. Kesibukan tersebut akhirnya mengantarkan pada sikap atoriter, dan anarki absolut. Sikap seperti itu membuat seseorang terlalu toleran terhadap kesalahan dirinya sendiri, namun menuntut lebih dari orang lain.
Semoga kita termasuk orang yang terus memiliki semangat melakukan perubahan pada diri sendiri. Dengan memulai dari hal terkecil dan sederhana, bukan mustahil akan mendapatkan manfaat besar. Menjelang pilkada gubernur ini, kita berharap memiliki pemimpin yang mampu melakukan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan sebatas pengakuan kata-kata selama kampanye. Karena keberhasilan merubah dirinya akan menjadi tolak ukur dalam melakukan perubahan pada orang lain. Insya Allah. ***
*Psikolog dan Praktisi Pendidikan di Hang Nadim Malay School Batam
Sekolah rega
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar