Sabtu, 22 Mei 2010

Rel Kereta Api dan Kegagalan Keluarga Berencana

Catatan Ringan Mahmud Syaltut Usfa

Pemerintah terus berupaya mensukseskan program Keluarga Berencana (KB). Dulu ada semboyan KB yang sangat terkenal ‘Dua Anak Cukup’. Tapi belakangan, motto promosi tersebut berubah ‘Dua Anak Lebih Baik’. Ini merupakan upaya pemerintah menyadarkan masyarakat akan pentingnya keluarga berencana.

Berbagai alasan disampaikan. Semasa orde baru KB sempat menjadi pro kontra. Bahkan, ada yang berpandangan radikal kalau KB merupakan wujud jahiliah modern. Alasannya, membunuh calon anak manusia. Namun, seiring dengan waktu dan sosialisasi dari pemerintah akhirnya pandangan seperti itu bisa diminimalisir. Dan sampai sekarang sudah tidak terdengar adanya perdebatan lagi.

Sosialiasi hingga kini terus dilakukan. Tidak hanya di perkotaan. Di desa-desa juga terus dilakukan penyuluhan secara intens. Tapi sayang, upaya pemerintah tersebut tidak semua berjalan mulus. Bahkan, di beberapa daerah di pedesaan gagal total. Karena mereka tidak mau dipusingkan dengan KB. Katanya ribet, mau ‘ngeseks’ aja harus pakai kondom, spiral, minum obat. “Orang sudah kebelet kok diatur-atur dengan prosedur segala, keburu croot.’ Begitu kira-kira komentar mereka.

Saya memiliki cerita. Tidak usah terlalu dipikir apakah ini kisah nyata atau tidak. Nikmati saja, paling tidak sebagai hiburan.

Di satu daerah ada dua desa yang sangat berdekatan. Sebut saja desa A dan desa B. Di desa A program Keluarga Berencana berjalan sangat sukses. Angka kelahiran bisa ditekan hingga 50% dari sebelumnya. Sehingga di desa A tersebut masyarakatnya tertata dan kesejahteraannya meningkat tajam.

Berbeda dengan desa B. Program Keluarga Berencana bisa dibilang gagal total. Padahal, penyuluhan demi penyuluhan terus dilakukan secara intens. Bahkan, lebih sering dibanding desa A. Para petugas lapangan sampai-sampai kebingungan menemukan akar permasalahannya.

Para penyuluh lapangan akhirnya melapor ke atasannya. Setelah dilakukan meeting, maka diputuskan akan menggandeng kalangan kampus (para dosen dan mahasiswa) untuk mencari solusinya. Dari kalangan kampus meminta melakukan observasi di lapangan. Setelah disekapati waktunya, akhirnya tim kampus dengan penyuluh KB berangkat ke lokasi.

“Lihat, desa ini sama dengan desa A, pendidikan dan tingkat ekonomi mereka sama, mereka sama-sama petani.” Jelas penyuluh KB kepada tim kampus.

Namun, tim kampus tidak puas begitu saja. Mereka terus berkeliling di desa tersebut dan sesekali melakukan wawancara ke warganya. Tak sengaja, tim kampus melihat lintasan kerteta api yang membentang di tengah-tengah desa A. Secara reflex, analogi ilmiahnya muncul. “Pasti ini yang menjadi biang keladinya.” Ujar tim kampus ke penyuluh KB. “Hah…!! Maksud bapak apa?’. Sergahnya dengan nada heran. “Mari kita buktikan dengan melakukan wawancara ke seluruh warga.” Ujar tim kampus menjawab penuh optimis.

Setelah dilakukan wawancara ke seluruh warga desa A ternyata betul sekali. Lintasan rel kereta api di desa itu menjadi kendala utama gagalnya program Keluarga Berencana. Dari hasil wawancara, jawaban warga rata-rata sama.

Mereka menjawab, “Setiap pukul 3 malam kereta api melintas di desa ini pak, saya dan istri pasti terbangun karena suaranya keras. Kami mau tidur lagi sudah tidak bisa. Dan lagian, kalau tidur lagi kuatir telat pergi ke ladang. Karena jam 4 kami harus ke ladang. Dari pada nganggur menunggu jam 4, lebih baik kami melakukan hubungan intim dulu.” Begitu rata-rata jawaban dari penduduk desa tersebut.